Awalnya mengantar surat menjadi mengantarkan cinta seumur hidup..
Sore itu aku sedang sibuk melayani pembeli di warung Bu Ratih. Tiba-tiba, aku melihat seorang pemuda tampan memanggilku. Ternyata itu Raden, teman lama ku sejak SD. Aku dan Raden sekolah angkatan tahun 1977.
"Hai, Rani! Apa kabar?" tanyanya dengan senyum cerah.
"Alhamdulillah, kabar baik. Kapan datang, Den?" jawabku dengan sedikit tersenyum.
"Sudah dua hari ini. Oh ya, Ran, ini ada surat untukmu dari Rusly, kakakku," katanya sambil menyerahkan surat itu.
"Mmm... letakkan saja di meja, nanti kalau senggang aku baca," jawabku, karena saat itu warung sedang ramai.
"Sip, dah! Setelah dibaca, dibalas ya, Ran! Oh ya, rokoknya satu bungkus, Ran. Nih, kembaliannya buat kamu aja," ucap Raden sambil menyerahkan uang 1 lembar uang sepuluh ribu rupiah lalu pergi meninggalkan warung. Aku hanya tersenyum dan mengangguk, sambil memperhatikan surat yang diletakkan di meja.
Raden adalah adik dari Rusly yang keempat, dan dia memang sedang berada di kampung untuk menjenguk ibunya. Aku tahu bahwa Rusly meminta tolong Raden untuk mengantar suratnya kepada ku, tapi Raden sepertinya tidak ingin terlibat lebih dalam dan hanya membantu mengantarkan surat itu.
Aku sudah bisa menebak isi surat Rusly, dan aku tidak berniat untuk membalasnya. Rusly memang terkenal sebagai playboy, dan aku tidak ingin terjebak dalam hubungan yang tidak serius dengannya. Aku akan membiarkan surat itu tidak terbaca dan tidak membalasnya, berharap bahwa Rusly akan mengerti dan tidak mengganggu ku lagi.
Seiring berjalannya waktu, aku dan Raden semakin sering bertemu dan berbincang. Kami menjadi lebih dekat, dan aku mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan kami. Raden rupanya juga merasakan hal yang sama, dan suatu hari dia menyatakan perasaannya kepadaku.
"Rani, sepertinya aku mulai suka sama kamu," ucapnya dengan penuh harap. Aku tahu bahwa Raden adalah orang yang baik, tapi aku juga ingin memastikan bahwa perasaannya itu tulus.
"Raden, kamu pasti sudah tahu jawabannya. Aku tidak akan menerima kamu sebagai kekasihku jika tidak ada komitmen yang jelas. Jika kamu sungguh-sungguh menyukai aku, kamu harus menikahiku. Namun, jika itu hanya untuk main-main, lebih baik urungkan niatmu," jawabku dengan tegas.
Aku ingin melihat apakah Raden benar-benar serius dengan perasaannya, atau hanya sekedar ketertarikan semata. Dan aku menunggu jawabannya dengan penuh harap.
Rupanya Raden memang serius dengan ucapannya. Malam itu, aku pulang mengaji dari mushola dekat rumah, dan saat tiba di depan rumah, tiba-tiba ada bunga mawar yang jatuh di depanku. Aku merasa sedikit takut, tapi aku mencoba memberanikan diri dan berteriak, "Siapa di sana? Halo, apa ada orang? Jangan iseng, ya!"
Aku menunggu jawaban, tapi tidak ada suara yang menjawab. Aku hanya mendengar suara daun yang bergesekan dengan angin. Aku merasa sedikit penasaran, siapa gerangan yang melempar bunga mawar itu? Apakah itu Raden? Aku tidak bisa menahan senyumku, karena ternyata aku masih memikirkan ucapan Raden waktu itu.
Tidak lama kemudian, ada suara yang membalas dari atas pohon mangga. "Ini saya, Raden. Maaf ya, udah bikin kamu takut..." Aku merasa sedikit lega ketika mendengar suaranya, dan aku tidak bisa menahan senyumku. "Raden, apa yang kamu lakukan di atas pohon?! Turun sini!" kataku dengan nada yang masih terkesan penasaran dan sedikit geli. Aku menunggu dia turun dari pohon mangga itu, sambil memandang ke atas dengan rasa penasaran yang semakin besar.
Raden turun dari pohon mangga dengan senyum malu-malu di wajahnya. Aku tidak bisa menahan senyum saat melihatnya, mengingat bagaimana dia dulunya hanya mengantar surat untuk ku dari Rusly, tapi sekarang dia yang berani menyatakan cinta kepada ku. Ya, cinta memang tidak mengenal waktu dan tempat, dan aku merasa sedikit terharu dengan gesture romantis yang dia lakukan.
"Sedikit lucu ya?" kataku sambil tersenyum, dan Raden membalas senyumku dengan mata yang berbinar.
"Raden sudah ada di depan ku, ia pun mengucap salam. 'Assalamu'alaikum, Rani.'
'Wa'alaikumsalam,' jawabku dengan sedikit senyum. 'Sedang apa kau malam-malam begini di atas pohon?' tanyaku lagi, sambil memandanginya dengan rasa penasaran.
Raden tersenyum dan menjawab, 'Aku sedang menunggu kamu, Rani. Aku ingin melihat kamu pulang dari mengaji dan... aku ingin memberikan kamu bunga ini.' Katanya sambil menyerahkan bunga mawar yang tadi dilemparnya ke arahku.
Aku pun tersenyum "Terima kasih, Raden. Kamu membuatku terkejut," kataku dengan senyum.
Aku terkejut dengan pertanyaan Raden yang begitu tiba-tiba dan romantis. "Mmm, aku ingin mengatakan sesuatu kepada mu, Rani. Mau kah kamu menikah dengan ku, walaupun hari ini saya hanya membawa sekuntum bunga mawar, tapi saya sangat bersungguh-sungguh ingin menikahi mu dan saya janji akan membuat mu bahagia."
Aku merasa hatiku berdebar kencang, dan aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Hati ku mulai berdebar kencang, karena mungkin aku pun mempunyai perasaan yang sama dengan Raden. Aku akui memang aku sudah tertarik dengan Raden setelah beberapa kali pertemuan kita. Siapa yang tidak tertarik dengan lelaki tampan dan rajin bekerja? Ia laki-laki yang tidak pernah menyerah dengan keadaan, apa pun ia kerjakan.
Aku memandangnya dengan serius, lalu bertanya, "Boleh kah saya tanya satu hal? Kamu punya apa untuk meyakinkan saya?" Aku ingin tahu apakah Raden benar-benar serius dengan perasaannya, atau hanya sekedar ketertarikan semata.
Raden tersenyum, lalu menjawab dengan percaya diri, "Aku punya cinta yang tulus untukmu, Rani. Aku tidak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku tawarkan, kecuali diriku sendiri. Aku siap untuk bekerja keras dan menjadi suami yang baik untukmu." Aku melihat kesungguhan di matanya, dan aku merasa bahwa Raden benar-benar serius dengan perasaannya.
Aku terharu dengan kata-kata Raden yang penuh harapan dan kesungguhan. "Aku ingin membangun rumahtangga yang bahagia denganmu, Rani. Akan kubangun istana impian kita bersama. Mungkin saya belum mapan ataupun sukses, tapi setidaknya saat ini saya punya usaha warung kecil-kecilan. InsyaAllah bisa mencukupi kebutuhan kita nanti. Jika kamu mau menikah dengan ku, kita akan kelola bersama nantinya."
Aku melihat visi masa depan yang Raden gambarkan, dan aku merasa bahwa kita bisa saling melengkapi. Aku tidak mencari kekayaan atau kemewahan, tapi aku mencari seseorang yang memiliki hati yang baik dan kesungguhan untuk membangun kehidupan bersama. Dan Raden tampaknya memiliki semua itu.
Aku tersenyum, lalu mengangguk perlahan. "Aku setuju, Raden. Aku mau menikah denganmu." Aku melihat senyum bahagia di wajah Raden, dan aku tahu bahwa aku telah membuat pilihan yang tepat.
Setelah itu, aku ajak Raden masuk ke dalam rumah untuk bertemu kedua orang tua ku. "Jika kamu memang serius ingin menikah dengan ku, temui orang tua ku. Masuklah dulu untuk bertemu bapak dan ibu," kataku kepada Raden.
Raden mengangguk dan membalas, "Baiklah, Rani." Kami berdua pun masuk ke dalam rumah, dan aku memanggil kedua orang tua ku. "Assalamu'alaikum, Pak... Bu... ini ada yang mau bertemu," kataku dengan suara yang sopan.
Orang tua ku keluar dari kamar, dan aku bisa melihat rasa penasaran di wajah mereka. "Ada apa, Nak? Siapa yang mau bertemu?" tanya Ibu dengan nada yang ramah.
Aku tersenyum, lalu memperkenalkan Raden. "Ini Raden, Bu. Dia teman SD-ku yang ingin menikahiku." Aku melihat reaksi orang tua ku yang sedikit terkejut, tapi mereka berusaha untuk tetap tenang dan menyambut Raden dengan hangat.
Mas Raden menyalami Bapak dan Ibu dengan sopan, lalu kami semua duduk di ruang tamu. Bapak memandang Raden dengan serius, lalu bertanya, "Ayo kita duduk dulu, memangnya mau menyampaikan apa, Mas Raden?"
Raden mengangguk, lalu memulai pembicaraan dengan tenang dan santai. "Saya datang ke sini hari ini untuk menyampaikan keinginan saya untuk menikahi putri Bapak dan Ibu, Rani. Saya sudah mengenal Rani sejak lama, dan saya sangat menyukainya. Saya berjanji akan menjaga dan membuat Rani bahagia. Semoga Bapak dan Ibu dapat memberikan restu untuk kami." Ucap Raden kepada bapak dan ibu."
Aku bisa melihat Bapak dan Ibu saling bertukar pandang, lalu Bapak kembali memandang Raden dengan serius. "
"Sebelumnya nak Raden kami senang kamu memiliki niat baik untuk meminang putri kami. Namun, kami perlu tahu lebih lanjut tentang latar belakangmu dan rencana hidupmu.Kami ingin memastikan bahwa kamu siap untuk bertanggung jawab atas putri kami. Cecar bapak kepada Raden, karena bapak ingin memastikan putri satu-satunya mendaptkan jodoh yang baik.
"Alhamdulillah,pak.., saat ini saya memiliki usaha kecil-kecilan, walaupun masih menyewa tempat, insya Allah saya bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga kami nantinya. Saya juga terus berusaha untuk mengembangkan usaha saya agar bisa memberikan yang terbaik untuk putri bapak dan ibu. Saya sadar masih banyak yang perlu diperbaiki, tapi saya berjanji akan bekerja keras untuk memberikan yang terbaik bagi putri Bapak dan Ibu."
"Kalau begitu, boleh saja kamu menikahi putri saya. Sekarang saya serahkan sama Rani, karena Rani lah yang akan menjalaninya. Bagaimana Ran, apa kamu setuju?" Tanya bapak kepada ku untuk membuat keputusan sendiri.
"Bapak, Ibu, saya sudah mengenal Raden cukup lama, dan saya percaya dia akan menjadi suami yang baik. Saya setuju untuk menikah dengannya." jawabku dengan pertimbagan yang matang.
"Raden...aku menerima lamaranmu. Tolong ajak orang tua dan keluarga kamu untuk datang ke rumah kami untuk membicarakan lebih lanjut tentang rencana pernikahan kita." Pinta ku kepada raden.
"Baiklah, Ran. Aku akan datang lagi besok lusa dengan orang tua dan keluarga ku untuk melamar kamu secara resmi. Aku akan memberitahu Bapak dan Ibu ku sebelumnya, agar mereka bisa mempersiapkan segalanya."
"Raden...obrolan kali ini kita sudahi. Ini sudah larut malam, sebaiknya kamu pulang saja agar tidak jadi omongan tetangga. Karena tidak baik seorang pria bujang berkunjung malam-malam ke rumah gadis. Kami tunggu kedatanganmu beserta keluarga besok lusa." Ucap ku kepada raden.
"Iya aku paham,Ran . Aku akan pulang sekarang. Aku akan datang lagi besok lusa dengan orang tua dan keluarga ku. Terima kasih atas penerimaanmu, Ran. Aku akan menantikan hari itu. Terimakasih juga bapak dan ibu, saya pamit". Raden beepamitan sembari menyalami tangan bapak dan ibu.
Tibalah hari yang dinantikan. Raden datang dengan kedua orang tuanya dan keluarga, membawa banyak barang bawaan dan cincin emas sebagai simbol komitmen mereka.
"Selamat datang, Raden, Bapak, Ibu, dan keluarga. Kami sudah menantikan kedatangan anda semua. Silakan masuk dan beristirahat sejenak. Kami telah menyiapkan beberapa hidangan, mari silakan disantap. Jangan sungkan, ya...Kami berharap semua merasa nyaman di sini".
Setelah para tamu selesai menyantap hidangan, suasana menjadi lebih santai dan akrab. Bapakku kemudian memulai pembicaraan tentang rencana pernikahan dan prosesi pertunangan. Raden dan keluarganya tampak antusias membahas detail-detail acara.
Hari itu, aku dan Raden secara resmi bertunangan dengan prosesi tukar cincin.
Prosesi itu menandai komitmen kami berdua. Setelah itu, kami sepakat untuk menikah satu minggu kemudian. Semuanya berjalan lancar dan penuh kebahagiaan.
Hari pernikahan akhirnya tiba. Prosesi pernikahan berlangsung dengan sederhana namun penuh makna di rumah orang tua ku. Suasana dipenuhi dengan kebahagiaan dan haru, disertai isak tangis bahagia dari keluarga dan kerabat yang hadir, menandai awal baru dalam hidup kami.
Bapak kemudian memberikan wejangan kepada Raden, "Nak, Bapak hanya ingin berpesan, jagalah Rani dengan segenap cinta dan kasih sayangmu. Dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan ketulusan. Kami hanya menginginkan kebahagiaan untuknya. Jika nanti kamu merasa tidak bisa lagi bersama, kembalikan dia pada kami dengan cara yang baik-baik."
Setelah menikah, aku ikut Raden merantau ke kota untuk membantu mengurus warungnya. Awalnya, ada seorang rewang yang membantu Raden, tapi setelah kami menikah, Raden meminta aku untuk mengambil alih tugas-tugas di warung. Aku dengan senang hati membantu, tapi Raden malah yang lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah.
"Yang penting kamu makan, tidur, mandi, dan bahagia aja," katanya dengan penuh cinta. Hari-hari kami lalui dengan penuh kebahagiaan, walaupun belum dikaruniai anak. Cinta dan kasih sayang kami semakin erat setiap hari.
Menginjak tahun kedua pernikahan, aku hamil anak pertama. Awal kehamilan memang penuh dengan ngidam dan mual, tapi Mas Raden sangat perhatian dan sabar merawatku. Namun, saat kehamilanku memasuki usia 7 bulan, Mas Raden meminta aku untuk tinggal bersama ibunya di kampung.
Aku sedikit terkejut dengan permintaannya, tapi aku memahami keinginannya untuk membuatku lebih nyaman dan terjaga selama masa kehamilan. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk tinggal bersama ibu mertua, sementara Mas Raden tetap di kota untuk mengurus warung.
Kami tiba di rumah mertua setelah 6 jam perjalanan menggunakan bis sinar j*y*. Mas Raden menitipkan aku kepada ibunya dengan penuh kasih sayang. "Bu, saya titip Rani di sini ya. Supaya nanti ada yang membantu mengurus bayi setelah lahiran. Saya akan transfer uang seminggu sekali untuk kebutuhan Rani dan Ibu."
Aku merasa sedikit sedih karena harus berpisah dengan Mas Raden, tapi aku memahami keinginannya untuk kebaikan kami berdua dan bayi yang akan lahir. Ibu mertua menyambutku dengan hangat dan penuh kasih sayang, membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Setelah semuanya siap, Mas Raden berpamitan untuk kembali ke kota. Dia tidak bisa meninggalkan warungnya terlalu lama, apalagi sekarang dia sudah tidak mempekerjakan rewang lagi. Menurutnya, gaji yang biasa digunakan untuk membayar rewang lebih baik ditabung untuk masa depan kita bersama. Aku memahami keputusannya, dan aku merasa bangga karena dia begitu bertanggung jawab dan berencana untuk masa depan kita. Dengan hati yang berat, aku melepasnya pergi, menanti hari ketika kita bisa bersama kembali.
Dua hari di rumah mertua terasa seperti dua tahun. Aku sering menangis karena merasa tidak diterima dengan baik. Ibu mertua tidak menyukai kehadiranku dan memperlakukan aku seperti pembantu. Aku tidak diizinkan memegang uang, bahkan uang yang dikirim suamiku pun diambil olehnya. Makananku pun sangat sederhana, hanya nasi sisa dengan lauk garam.
Setiap kali ibu menyuruh ku melakukan pekerjaan rumah dengan nada tinggi dan kata-kata yang menusuk hati, aku hanya di anggap beban keluarga
"Kamu itu cuma numpang di sini, jadi bantu ibu menumbuk padi ini!" teriak Ibu mertua.
Aku hanya bisa menangis, perasaan sedih dan kesepian memenuhi hari-hariku. Perutku sering kram karena stres, tapi aku tidak berani meninggalkan rumah mertua, aku masih menunggu suamiku.
Aku merasa sangat kecewa dan sedih ketika mengetahui bahwa Mas Raden telah mengirimkan uang untukku, tapi ibu mertua yang mengambilnya. Ketika aku bertanya tentang uang itu, ibu mertua malah membentakku dan mengatakan bahwa aku tidak perlu memegang uang karena semua kebutuhan sudah terpenuhi. Aku merasa tidak dihargai dan tidak dipercaya.
Aku hanya ingin tahu bahwa Mas Raden peduli padaku dan mengurus kebutuhanku, tapi ternyata semuanya dikendalikan oleh ibu mertua. Aku merasa terjebak dan tidak memiliki kontrol atas hidupku sendiri. Keinginan untuk bertemu Mas Raden semakin kuat, aku ingin memastikan bahwa dia tahu tentang semua ini dan bisa membuat semuanya menjadi lebih baik.
Ahirnya aku di bantu tetangga ibu mertuaku. Aku sangat berterima kasih kepada tetangga yang baik hati itu. Namun, aku tidak berani meninggalkan rumah mertua tanpa izin dari Mas Raden. Aku hanya meminta untuk menitipkan surat, dan dengan hati yang berat, aku menuliskan semua yang aku rasakan. Aku berharap Mas Raden akan segera membacanya dan datang menjemputku.
Aku menulis surat dengan hati yang berat:
"Mas Raden, pulanglah dan jemput aku. Aku di sini sangat tidak betah. Ibu mu tidak menyukaiku dan aku diperlakukan tidak baik. Uang yang kamu kirimkan tidak sampai padaku, ibu mu yang mengambilnya. Aku hanya makan nasi dengan garam saja, dan perutku sering kram. Aku khawatir tentang keadaan bayi kita. HPL masih sebulan lagi, aku sangat membutuhkanmu saat ini. Tolong, Mas Raden, jemput aku dari sini."
Dan alhamdulillah, keesokan harinya Mas Raden datang menjemputku. Aku tidak bisa menahan air mata bahagia ketika melihatnya. Semua kesedihan dan kesulitan yang aku alami di rumah mertua seketika terobati dengan kehadiran Mas Raden. Aku merasa aman dan dicintai. Dengan hati yang penuh haru, aku langsung memeluk Mas Raden dan bersyukur karena dia ada di sampingku.
Mas Raden tidak banyak bicara, dia langsung meminta aku untuk pulang dan berpamitan kepada ibunya.
"Bu, saya datang untuk menjemput Rani. Sepertinya Rani akan melahirkan anak kami di kota saja. Kami akan merawat anak kami berdua. Jika Ibu ingin bertemu cucu, silakan main ke kota," katanya dengan tegas.
Aku merasa lega ketika Mas Raden memegang tanganku dan membawaku pergi dari rumah mertua. Kami meninggalkan kesedihan dan kesulitan di belakang, menuju awal baru yang lebih baik. Dengan penuh harapan, aku memandang ke depan, menanti masa depan bersama Mas Raden dan bayi kami.
Aku merasa sangat beruntung memiliki suami seperti Mas Raden. Dia sangat bertanggung jawab dan menyelesaikan masalah dengan tenang, tanpa menyakiti hati ibunya. Aku bangga menjadi istrinya, karena dia telah menunjukkan bahwa dia mampu menjadi pemimpin keluarga yang baik dan bijaksana. Aku merasa yakin bahwa aku telah membuat pilihan yang tepat dalam memilihnya sebagai pasangan hidup. Bersama Mas Raden, aku merasa aman, dicintai, dan dihargai.
Setelah 3 minggu di kota, akhirnya aku melahirkan anak pertama kami di Klinik Sayang Ibu dan Anak, yang dirawat oleh Bidan Sofi yang sangat baik dan profesional. Aku merasa lega dan bahagia ketika mendengar suara tangisan anak kami yang pertama kali. Mas Raden sangat setia mendampingi aku selama proses persalinan dan sangat gembira menyambut kelahiran anak kami. Kami sangat bersyukur dan bahagia memiliki anak yang sehat dan lucu.
"Selamat bapak ibu, anaknya perempuan, sehat dan cantik," kata Bidan Sofi dengan senyum hangat.
"Alhamdulillah, terimakasih ya Allah. Terimakasih, Bu Sofi," jawab Mas Raden dengan penuh rasa syukur.
"Sama-sama, Pak Raden. Tolong dijaga dengan baik pola makan dan tidur Bu Rani, karena itu mempengaruhi kelancaran ASI-nya. Jangan sampai stres atau baby blues, ya," pesan Bidan Sofi dengan penuh perhatian.
Aku merasa lega dan bahagia mendengar kata-kata Bidan Sofi. Mas Raden memegang tanganku erat dan tersenyum, menunjukkan rasa syukur dan cintanya. Kami berdua sangat bersemangat untuk merawat anak kami yang baru lahir.