---
Senja di Ujung Percakapan
Ada dua cangkir kopi yang kini sudah dingin di meja itu.
Sisa percakapan masih menggantung di udara — seperti awan yang enggan pergi meski langit sudah gelap.
Aku dan dia duduk berhadapan, tapi rasanya seperti sedang duduk di dua dunia yang berbeda.
Dia tersenyum samar.
Senyum yang dulu pernah membuatku tenang, tapi kini terasa asing, seperti sisa kenangan yang dipaksa hidup kembali.
“Aku capek, bukan karena kamu,” katanya pelan.
Kalimat itu jatuh seperti hujan yang tak bisa kuhindari.
Aku ingin marah, tapi yang keluar hanya napas panjang — sisa sabar yang entah sejak kapan menipis.
Kami dulu sering tertawa di bangku taman dekat rumah.
Bicara tentang masa depan seolah dunia ini milik berdua.
Tapi seiring waktu, tawa itu makin jarang terdengar.
Yang tersisa hanya jeda panjang, dan tatapan yang tak lagi bertemu di tengah.
Orang-orang bilang cinta itu cukup jika sama-sama berjuang.
Tapi nyatanya, tidak semua perjuangan punya arah yang sama.
Dia ingin tenang, aku ingin dipahami.
Dia butuh jarak, aku butuh kepastian.
Dan di antara dua kebutuhan yang saling bertabrakan, kami pelan-pelan kehilangan hal yang dulu paling sederhana — saling mendengarkan.
“Jadi ini akhir, ya?” tanyaku akhirnya.
Dia tidak menjawab, hanya menatap senja yang memantul di jendela.
Aku tahu, diamnya bukan tanda ragu, tapi tanda selesai.
Di luar, suara motor, anak-anak bermain, dan aroma gorengan sore ikut menyelinap.
Lucu, ya? Dunia tetap berjalan seperti biasa, seolah tak ada yang pecah di antara kami.
Mungkin memang begitulah cinta di dunia nyata — tak selalu diakhiri dengan tangisan, kadang hanya dengan hening yang panjang dan kopi yang sudah dingin.
Ketika ia berdiri dan pergi, aku tak mencoba menahan.
Aku hanya menatap punggungnya menjauh, lalu berbisik dalam hati,
“Terima kasih sudah jadi rumah, meski cuma sementara.”
Dan di bawah langit jingga yang perlahan pudar, aku sadar:
kadang, cinta tidak benar-benar hilang — ia hanya memilih diam di sudut waktu yang tak bisa dijangkau lagi. 🌙
---
---
Senja di Ujung Percakapan — Sudut Pandang Dia
Aku tidak pergi karena berhenti mencintai.
Aku pergi karena cinta yang kupunya sudah tidak lagi membuatmu bahagia.
Kadang aku masih memutar percakapan terakhir kita di kepala — tentang dua cangkir kopi yang dingin, tentang hening yang terlalu panjang untuk dipecahkan.
Kau menatapku dengan mata yang dulu jadi tempat pulangku, tapi malam itu, aku melihat lelah di sana.
Bukan karena aku tak mencoba, tapi karena mungkin aku sudah bukan tempat yang nyaman lagi bagimu.
Aku masih ingat awalnya.
Kau tertawa di bawah hujan, menatap langit seperti dunia ini milikmu sendiri.
Aku jatuh cinta bukan karena senyummu, tapi karena caramu percaya bahwa segalanya bisa diperbaiki asal saling bertahan.
Tapi ternyata, aku tidak sekuat itu.
Aku bisa bertahan, tapi tidak bisa pura-pura bahwa semuanya masih sama.
Kau selalu bilang aku terlalu tenang, terlalu diam,
padahal di dalam kepalaku, ribut sekali.
Ada banyak hal yang ingin kujelaskan, tapi setiap kali mencoba bicara, aku takut semua malah jadi luka baru buatmu.
Jadi aku memilih diam — bukan karena tidak peduli, tapi karena tidak ingin menyakitimu lebih jauh.
Ketika aku bilang “aku capek, bukan karena kamu,” aku sungguh-sungguh.
Aku capek berusaha jadi seseorang yang kau butuhkan, padahal aku sendiri sedang kehilangan arah.
Dan malam itu, saat kau bertanya “Jadi ini akhir, ya?”
aku ingin menjawab tidak.
Tapi lidahku kelu.
Karena aku tahu, kalau aku bertahan, kita berdua hanya akan saling melukai lebih lama.
Sekarang, setiap kali melihat senja, aku selalu ingat kopi dingin di meja itu.
Aku membayangkan kamu duduk di tempat yang sama, mungkin sendiri, mungkin sudah dengan seseorang yang bisa membuatmu tertawa lagi.
Aku tidak cemburu, sungguh.
Aku hanya berharap — kamu bahagia dengan cara yang dulu tak bisa kuberikan.
Cinta, ternyata, bukan soal siapa yang tinggal lebih lama.
Tapi siapa yang berani pergi, ketika tahu dirinya bukan lagi tempat yang benar untuk pulang.
Dan jika suatu hari kita bertemu lagi, di jalan atau mungkin di antara keramaian kota,
aku harap kamu menatapku dengan tenang —
karena di antara semua hal yang tak bisa aku simpan,
kamu tetap satu-satunya yang tak pernah benar-benar hilang. 🌧️
---
---
Senja di Ujung Percakapan — Bagian 3: Pertemuan yang Tenang
Sudah bertahun-tahun sejak sore itu.
Musim berganti, hidup terus berjalan, dan aku pun perlahan belajar menata hari tanpa bayanganmu di dalamnya.
Aku tidak tahu apakah waktu benar-benar menyembuhkan, tapi setidaknya ia menenangkan — membuat luka tidak lagi tajam, hanya terasa samar di tepian ingatan.
Hari itu aku mampir ke kedai kopi kecil di dekat kantor.
Tempatnya baru, tapi aromanya anehnya terasa akrab.
Lalu aku melihatmu.
Duduk di sudut, mengenakan kemeja abu muda, matamu masih sama: hangat tapi teduh.
Kita saling menatap sebentar,
dan dunia, untuk sepersekian detik, terasa diam.
Kau tersenyum kecil — bukan senyum yang menanyakan kabar,
tapi senyum yang mengatakan “aku baik-baik saja.”
Aku membalasnya dengan senyum yang sama.
Lucu, ya? Setelah semua kata yang dulu sulit diucapkan, ternyata diam pun kini bisa jadi bahasa yang paling jujur.
Kita bicara sebentar, hanya hal ringan: pekerjaan, cuaca, sedikit tentang hidup.
Tak ada kalimat tentang masa lalu, tak ada tanya “kenapa dulu begini” atau “apakah masih mungkin.”
Semua sudah lewat, tapi bukan berarti hilang.
Hanya tersimpan rapi, seperti buku usang yang tak lagi dibaca tapi juga tak pernah dibuang.
Aku memperhatikan caramu berbicara.
Ada kedewasaan yang tidak kutemukan dulu, ada tenang yang baru.
Mungkin begitulah cinta — ia tumbuh bahkan setelah tidak lagi bersama.
Ia tetap hidup, hanya berganti bentuk.
Sebelum pergi, kau sempat berkata pelan,
“Dulu aku sering takut kalau ketemu kamu lagi bakal sakit. Tapi ternyata enggak.”
Aku tersenyum. “Mungkin karena kali ini kita nggak lagi menunggu apa-apa.”
Kita berpisah di depan pintu kedai, tanpa janji untuk bertemu lagi.
Tapi aku tahu, pertemuan itu sudah cukup —
cukup untuk menutup cerita yang dulu berhenti di tengah jalan.
Dan malam itu, ketika aku menatap langit dari jendela kamar,
aku merasa ringan.
Bukan karena aku sudah melupakanmu,
tapi karena akhirnya aku bisa mencintaimu tanpa harus memiliki lagi.
Kadang cinta tidak mati.
Ia hanya berubah menjadi sesuatu yang lebih tenang —
seperti senja yang tak lagi membakar langit, tapi tetap indah sebelum malam datang. 🌤️
---