"Hei! Aman?!" Beberapa teman, lebih tepatnya senior, menghampiri mejaku, di bar malam itu.
Aku terjingkat seketika menoleh, "Hmm!" anggukku dengan kedua alis terangkat, menyapa sopan pada mereka yang selalu ada menjadi teman, sahabat baik, terkadang menjelma menjadi ibu yang menyiapkan makanan atau menjadi ayah dengan petuah-petuah aneh yang sering keluar dari bibir kering mereka.
Malam itu, ah tidak, itu sudah dini hari, sudah hampir jam tiga pagi. Tapi aku masih enggan untuk pulang. Dan entah kenapa mereka selalu menemukanku di tempat dimana aku sebenarnya ingin bersembunyi.
Beruntungnya, mereka sepertinya saat itu tahu, aku sedang tidak ingin bersuara, bercerita ataupun bercengkrama. Kami hanya duduk melingkari meja, tanpa percakapan sedikit pun, menikmati isi kepala kami masing-masing, ditemani alunan musik yang sudah kupesan sebelumnya.
"Hei! Aku bosan, sudah satu jam lebih, lagu itu terus yang diputar, suasana hatiku yang baik, mendadak buruk karenanya!" protes seorang pengunjung lain sambil menggebrak meja barista.
Dua petugas berbadan tegap, badannya dua kali lebih besar dariku, bergegas menghampiri pria mabuk itu. "Tenang dan duduklah, lagu itu sudah ada yang memesannya, jadi terimalah atau kau harus membayarnya tiga kali lipat!" bentak sang petugas keamanan.
Pria mabuk yang tak ku kenal itu semakin murka. "Siapa? Memangnya siapa dia sampai mendapatkan keistimewaan itu?! Berapa dia bayar?!"
"Pelanggan VVIP kami. Tolong tenanglah, kami mengijinkanya karena tak pernah ada yang peduli dengan lagu apapun yang kami sajikan." Seorang manager keluar dari sarangnya, setelah sebelumnya melempar senyum hormat ke arahku.
Sontak keributan itu membuat teman-teman ku menatap tajam ke arahku, melemparkan gelengan kepala yang waktu itu kuartikan sebagai ungkapan kesal namun tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan ku.
Hm, begitulah, hidupku tidak mudah, tapi selalu ada kebetulan yang akhirnya menguntungkan posisiku.
Aku tertawa kecil membalas tatapan kesal teman-temanku, lalu menenggak cepat sisa minuman ku. "Aku hanya ingin memamerkannya, bukankah mereka harusnya merasa beruntung karena mendengarnya lebih dulu dibandingkan orang lain?" ucapku penuh kesombongan.
Tak ada sahutan, mereka hanya memenuhi gelas semua orang, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sambil menyerukan ucapan perdamaian. "Cheers! Mari kosongkan gelas, minum sampai habis!"
Keributan di meja bartender pun berakhir. Entah apa yang ditunjukkan manager muda itu, tapi ia benar-benar mampu membuat si protes menurut dan mengaku kalah.
"Kau senang?" tanya salah satu seniorku kemudian.
Aku tertawa kecil, lalu bangkit membungkukkan badan, sebagai ucapan terimakasih dengan penuh hormat. "Terima kasih, senior!" kelakarku dengan tatapan sedikit mulai kabur, dan badanku yang mulai terasa berat.
Aku kembali melempar tubuhku ke sofa empuk di salah satu meja VVIP, lalu melonggarkan kancing kemeja yang sudah kupakai sejak pagi untuk bekerja. "Aku takut, perasaan itu datang lagi," ucapku mengambang, setengah sadar kupaksakan untuk berbicara.
"Takut dia bernasib sama seperti yang sebelumnya?"
"Aku rasa itu tidak mungkin, bukankah penatua itu tak lagi mengatur hidupmu?"
Kumainkan pinggiran gelas kosong dengan jemariku, "Aku takut, aku akan kehilangan ingatanku lagi," akhirnya tanpa sadar aku berkata jujur.
Entah kenapa saat itu, semua kawan-kawanku menghela napas dalam waktu yang hampir bersamaan, termasuk aku sendiri.
"Aku takut pada akhirnya aku melupakan wajah ayah yang telah menghabiskan semua uang ibuku, lalu tiba-tiba menyapanya." salah satu temanku menyahut.
"Aku takut melupakan bahwa aku pernah bahagia, ibuku, adik-adikku, semua orang!" imbuh yang lainnya.
Lalu satu lagi temanku, mengeluarkan dompetnya, menunjukkan beberapa coretan di dalam dompetnya. "Lihatlah, aku juga takut tiba-tiba lupa dimana rumahku, dan nomor bankku, itulah sebabnya kutulis begitu banyak salinan disana!"
"Benar, kita semua hidup hanya mengikuti keinginan untuk hidup, tanpa tahu bagaimana menghadapi rasa takut itu."
"Kalian sudah lebih lama hidup bila dibanding denganku, akan lebih menyakitkan kehilangan lebih banyak lagi ingatan, bukan?" tanyaku kemudian. Entah kenapa melihat mereka, ada getir lain merambat dalam benakku.
"Kau ... Kau hanya takut melupakan wanita itu kan? Kau masih terlalu muda, tapi kau hidup berdapingan dengan rasa bersalah yang hanya kau sendiri yang bisa mengatasinya. Tapi lihatlah, kau masih hidup hingga sekarang, itu artinya keinginanmu untuk hidup, keinginan untuk bersenang-senang, suatu saat akan membantumu berdamai dengan rasa bersalah itu, bukan melupakannya."
"Benar, kau bukannya melupakan dia, tapi sesuatu yang menyenangkan mungkin hanya menggesernya sedikit demi sedikit."
"Aku tahu sulitnya menjaga kenangan itu tetap ditempatnya, tapi jangan membiarkan dirimu terus tenggelam. Kau baru saja mulai berdiri lagi setelah lama menyembunyikan diri, tetaplah di jalur yang sudah kau buat!"
"Benar! Saat ini, kau hanya sedang membiasakan diri, untuk yang kedua kali."
"Jangan terlalu percaya pada kami, usiamu masih setengah dari kami, tapi setidaknya kau boleh bergantung pada orang-orang tua ini, kami akan terus mengikutimu!"
"Hm, meski kami tidak janji akan selalu ada di sisimu, kita bukan sedang berkencan! Ah... Aku tiba-tiba merinding!"
Hm, kami bahkan tak memiliki aliran darah yang serupa, tapi mereka, orang-orang tua yang kesepian itu, selalu menjagaku. Selalu berhasil membuatku kembali menemukan pintu tempat tinggalku. Memang benar, aku tak sepenuhnya mempercayakan semua hal, terkadang mereka sangat menyusahkan. Tapi kami cukup bisa digolongkan dalam kategori 'saling bergantung dan saling mencari'.
Tak jarang, kekasihku yang baik itu harus mengalah jika para pria tua itu memgambil banyak waktuku. Beruntung, wanita cantik yang selalu memanjakan lidahku dengan masakan enaknya itu, memiliki hati yang sabar, dan senyum manis yang selalu membuatku merasa cukup. Hm, dia juga punya tempat sendiri bukan berarti mengganti atau menggeser dia yang sudah pergi dan dia yang sengaja ku minta pergi.
"Menyesal itu manusiawi, aku bahkan sering menyesal pada hal-hal kecil, seperti pagi ini, kenapa aku tidak langsung mencuci tempo hari, sial sekali pagi ini aku kehabisan —"
Kami bersorak kompak karena tahu apa benda yang akan disebutkan temanku itu, kemudian tertawa bersama menghabiskan waktu hingga hampir pagi.