Mencari tahu siapa dalang dibalik penemuan jasad adikku yang terkubur dihalaman belakang rumah.
***
Pada tahun 1867, pagi-pagi sekali aku sudah terbangun untuk pergi sekolah, karena hari ini adalah jadwal ku piket kelas.
Setelah sudah rapih mengenakan pakaian yang sopan untuk bersekolah, aku lalu berjalan keluar kamar.
Di dapur aku mengambil satu butir telur untuk dimasak, biasanya aku memasak dua telur untuk adikku juga.
Tetapi 1 bulan ini, 3 hari yang lalu saat aku menanyakan kemana Rina karena sudah 1 bulan aku tidak melihatnya bapakku bilang kalau adekku Rina sedang menginap di rumah nenek.
Saat aku ingin mengambil nasi di bakul betapa kagetnya aku melihat tanah Merah di atas nasi.
Dengan marah aku berlari ke arah kamar bapak dan ibuku, saat tanganku hendak mengetuk terdengar suara desahan dari dalam.
Aku menahan mual mendengar itu, aku segera kembali kedapur lalu memakan ceplok telur itu dengan satu suapan.
Dengan bergegas aku pergi menuju sekolah.
Di sekolah aku selalu menjadi bahan bully anak-anak yang lain, ini semua karena ibuku.
Ibuku terlihat gila makannya mereka semua meledek ku, bahkan tak jarang adikku bercerita sambil menangis, dia bilang bahwa diejek mempunyai seorang ibu yang sakit jiwa.
Aku selalu mengadu kepada bapakku agar memberi anak-anak itu peringatan, tetapi dia tidak peduli, yang dirinya pedulikan hanya istrinya saja.
Bapakku sangat mencintai istrinya bisa disebut itu adalah cinta mati, tetapi cinta itu membuatku muak.
Terkadang mereka tidak segan-segan melakukan hubungan intim di kamar mandi dengan pintu yang terbuka.
Aku pernah melihatnya, ku lihat wajah ibuku yang tersenyum lebar seperti orang gila saat bapakku melakukannya dari belakang.
Aku sungguh muak dengan keluargaku, aku berharap mereka semua mati dan aku hidup bahagia dengan adikku.
"Dew ayo pulang atuh pulang bareng, aku tungguin kamu piketnya." Ajak Ayu temanku satu-satunya di kelas.
Aku menggeleng "Kamu duluan aja Yu, aku mau jemput adikku, sudah 1 bulan gak ketemu rasanya aku sudah kangen banget sama dia."
Ayu terbelalak matanya, lalu cepat-cepat dia menjawab "O-oh, ya-yaudah kalau gitu, a-aku pamit ya Dew." jawab Ayu gugup yang membuatku sedikit bingung.
Setelah selesai bersih-bersih, aku lagsung pergi dari sana dan jam sudah menunjukkan pukul 16:15.
Sepedahku membawa diriku pergi menuju rumah nenek, aku ingin menjemput adikku yang berusia 12thn.
"Assalamu'alaikum nek." aku menyalami punggung tangan keriput nenekku, punggung tangan yang ingin aku bahagiakan.
"Waalaikumsalam, eh kamu main Dewi, sudah lama sekali kamu tidak main ke rumah nenek." Ucap nenekku, wajahnya tersenyum tetapi langsung berubah menjadi bingung, dia seperti mencari-cari sesuatu di belakangku.
"Kenapa nek?" tanyaku yang juga melihat kebelakang.
"Mana Rina? tumben gak sama kamu."
DEG...
Jantungku hampir mencelos mendengar ucapan nenekku, dengan kaku, leher kuputar agar mengahadap kearah nenekku.
"Ap-apa maksud nenek? bu-bukannya sudah 1 bulan Rina tidur di rumah nenek?" tanyaku dengan suara yang lemas.
"Hah? kamu ngomong apa Dewi?"
Ucapan nenek membuatku lemas, detak jantungku berdetak 3x lebih cepat dari biasanya.
Aku panik, cemas, khawatir dan takut, bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan adikku.
Disaat aku sedang panik, ibu-ibu berteriak dari arah belakangku.
"NEK BIDAH... CUCUMU RINA...." Teriak ibu-ibu itu.
Perasaanku sudah tidak enak mendengar teriakan tersebut apalagi dalam kalimat nya mengandung kata RINA adikku.
Ibu-ibu tuh sudah berada di sampingku, wajahnya dipenuhi oleh banyak keringat bahkan nafasnya ngos-ngosan.
Aku mengenal dengan baik siapa ibu-ibu itu, dia adalah bu Yeni tetanggaku sekaligus ibunya Ayu.
"Kenapa Yen?" tanya nenekku.
"A-anu Ri-rina, aku sedang main kerumah anakku terus di telpon sama suamiku katanya ada mayat ditemukan dibelakang rumahnya Kusnadi."
"Bi....Bi-bibi bohong kan?" tanyaku dengan suara terbata-bata.
"Oh gitu,yauda aku kesana." Ucap nenekku yang suaranya terdengar ramah.
Tanpa berkata apa-apa lagi aku segera pergi menaiki sepedaku menuju rumahku, meninggalkan tatapan heran dari nenekku dan bu Yeni.
Jarak dari rumah nenekku ke rumahku lumayan jauh, harus melewati sawah yang luas serta pohon bambu yang seram.
Ditambah rumah di sana sudah semakin dikit karena terus di gusur oleh beko.
Sekuat tenaga aku menggoes sepedaku, matahari sudah semakin rendah, aku harus cepat-cepat sampai ke rumah.
Dari kejauhan aku melihat sudah banyak orang berkumpul di rumahku, dengan sekuat tenaga aku menambah kecepatan goesan sepedaku.
Brak..
Aku membanting sepedaku, menerobos kerumunan lalu melihat bapakku sedang menangis sedangkan ibuku tertawa tidak jelas.
Bapak yang melihatku segera memelukku, sepertinya dia baru pulang bekerja terlihat karena masih mengenakan topi anti barang jatuh (topi banguna).
"Kamu yang sabar ya nak....Adikmu sudah meninggal." ucapan bapakku yang membuat tubuhku sangat lemas.
Aku melepaskan paksa pelukan dia, lalu berjalan menuju dalam rumahku yang juga di penuhi oleh warga, di sana terlihat tubuh adikku yang sedang di angkat.
Mataku terbelalak menyaksikan itu, tubuh kurus dan wajah cantik adikku terlihat seperti mayat.
Seketika badanku jatuh ke tanah, air mata yang sedari tadiku tahan karena masih tidak mempercayai feeling ku ini kemudian jatuh membasahi pipiku.
"ARGHHHHHH......huhuhu....ARGHHHHHHHH.."
Jeritan tangis yang keluar dari mulutku membuat warga yang mendengarnya juga ikut menangis.
Salah satu warga yang ada di sana segera merangkulku, dia menenangkanku sambil terus mengusap-ngusap punggung ku.
"Yang sabar ya Dewi, bibi juga sedih dengan kematian Rina, Rina anak yang baik tapi kenapa nasibnya begitu malang."
Perkataan bibi itu sama sekali tidak terdengar olehku, aku langsung berlari kearah tubuh adikku yang sudah berada di atas kantung mayar berwarna oren.
Dengan tangan gemetar aku mengelus pipi adikku yang kotor dengan tanah, hatiku hancur lebur saat itu juga, rasanya duniaku telah runtuh.
Adik yang ku besarkan dari kecil, yang aku suapi ketika lapar dan adik yang bermain denganku kini telah tiada.
"Arghhhhhhhhh.....Rinaaa..... Kenapa
Ya alla kenapa kau tega sekali mengambil nyawa adikku yang masih kecil, kenapa tidak kau ambil saja nyawaku ini ya allah..."
Aku menangis tersedu-sedu, hingga tubuh adikku di bawa oleh polisi.
Aku dan kedua orang tuaku ditanyakan beberapa pertanyaan.
Bapakku menjawab dengan lancar sedangkan ibuku cengengesan tidak jelas.
"Nak Dewi jawab pertanyaan saya ya, apa nak Dewi mencurigakan seseorang sebelum ini?" tanya polisi tersebut.
Aku yang masih sangat syok tidak bisa menjawab apa-apa,pikiranku masih belum bisa bekerja.
Beberapa jam telah berlalu para tetangga yang berkerumun sudah pada pulang semua.
Setelah berganti baju aku mulai menyalakan setiap lentera di rumah ini.
Sedangkan bapakku sedang memasak makanan untuk makan malam.
Saat makan pikiranku masih kosong, nasi dan tempe goreng tidak aku sentuhnya sama sekali.
Pluh
Pluh
Pluh
Pluh
...
Ibuku yang gila menyemburkan nasi dari mulutnya ke wajahku, aku tidak marah karna itu sudah biasa terjadi.
Bahkan ibuku juga pernah memukul kepalaku dengan piring kaca ketika sedang makan.
"Dewi makanlah, nanti kau bisa sakit." ucap bapakku.
Dengan terpaksa aku memakan satu potong tempe, lalu meminum air putih 3 tegukan dan pergi menuju kamar.
Walaupun mereka orang tuaku, aku merasa sangat tidak nyaman di tamba ibuku yang gila.
Dulu saat aku lahir ibuku tidak gila, tetapi saat Rina berumur 3 tahun dia mulai gila, aku gak tau karna apa.
Saat masuk ke dalam kamar, aku melihat baju-baju adikku yang tergantung rasanya hatiku mulai sedih.
Tanpa terasa aku tertidur saat menangis, lalu terbangun saat hari masih malam.
Ayam jantan terus berkokok, membuatku ku agak merinding, saat aku ingin tertidur kembali terdengar suara desahan dari kamar bapak dan ibuku, suara itu sangat keras ditambah suara tertawa ibuku.
Aku benar² geram dibuatnya, walaupun ibuku itu gila setidaknya bapakku yang masih waras berduka atas kematian Rina.
Saat sedang berfikir itulah, aku mulai menyadari kejanggalan.
Kenapa pada saat aku menanyakan Rina tiga hari yang lalu ayahku bilang bahwa Rina sedang pergi ke rumah nenek dan kemungkinan menginap? pikiranku mulai melayang-layang dengan degup jantungku yang berdetak cepat.
"Apa jangan-jangan bapak yang bunuh Rina?" Pikirku.
#Hari 1 pasca kematian Rina
Pagi hari telah tiba, aku sengaja tidak pergi kesekolah, selain karna males aku masih dalam keadaan berduka.
Di dapur saat sedang membuat teh, tidak sengaja mataku melihat kearah ranjang pakaian kotor, aku baru ingat kalau baju itu belum di cuci selama 1 minggu.
Aku segera berjalan kearah pakaian kotor itu lalu merogoh-rogoh kantong baju dan celana bapakku.
"Astaghfirullah." Tiba-tiba ibuku berdiri di belakangku dengan senyuman anenya.
"A-ada apa bu?" Tanyaku.
"Rina mati. Rina mati." Ucap ibuku berulang kali.
"Bu apa ibu tau siapa yang bunuh Rina?" Tanyaku kepada ibuku, aku memegang pundak ibuku berharap dia mengatakan sesuatu.
"Anu Rina, bunuh, itu...Rina,bunuh sa..sama."
"Dewi, sedang apa kamu?"
Sontak jantungku copot mendengar suara bapak dari belakang tubuh ibu.
Karna sedang fokus ke ibu aku sampai tidak menyadari kalau bapak pulang kerumah.
"Ngapain kamu sama ibu?" tanya bapak sambil berjalan mendekat ke arah kami.
"Ng-ngga ngapa-ngapain kok pak." jawabku gagap, aku segera pergi dari sana dengan tangan yang menggenggam jepitan rambut Rina.
Di kamar aku melihat kembali jepita rambut itu.
"Inikan jepitan yang aku belikan untuk Rina." Gumamku, lalu mataku melihat noda merah yang sudah kering di body jepitan tersebut
"Noda apa ini?" Aku lalu menjilat jariku dengan sengaja dan mengusapkan jari yang basah kearah jepitan Rina.
Ternyata noda mera itu bisa luntur dan kini menempel di jariku, tanpa ragu sedikit pun aku mencium noda itu.
"HOUEKKKK...Huek....Najis bau banget." Pakik diriku, aku sangat yakin 100% bawa noda merah itu adalah darah.
Aku segera menyimpannya kedalam kotak lalu menaruhnya di atas meja belajar.
Aku duduk dikasur, tatapanku kosong sedagkan kepalaku sudah di penuhi oleh adegan-adegan yang membuat air mataku mengalir kembali.
Aku kembali menangis saat mengingat kematian adikku, aku gak bisa hidup tanpa dia, aku sayang banget sama adikku, dia keluargaku satu-satunya.
Aku memukul-mukul dadaku, rasanya gak bisa bernafas karena sesak di dalam dada.
#Hari ke 2 pasca kematian Rina
Aku tidak berangkat ke sekolah lagi, bapakku mengetuk pintu kamarku lalu masuk kedalam.
"Dewi bangun, ayo makan." Ucap bapakku, sambil menepuk punggungku.
"Iyaa." dengan ketus aku menjawab lalu bangkit dari tempat tidur.
Aku duduk di meja makan bersama ibuku yang gila, kali ini dia menempelkan ludahnya ke pipiku.
"Buk cukup! Aku jijik tau gak?" bentak diriku sambil mengelap pipiku dengan baju.
"Dewi jangan gitu sama ibuk," Ucap Bapak sambil menaruh piring lauk di atas mejak
"Hari ini makan ceker ayam ya." Lanjutnya mengatakan menu makan pagi.
Aku lagsung melihat ke arah piring, betapa syoknya aku ketika ceker itu sudah di kerubungi oleh belatung.
"Huek....Ih apaan sih pak!!!! Makanan banyak belatungnya di taruh di meja. Buang sana." teriakku sambil menutup mulut jijik.
"Belatung? belatung dari mana Dewi?" kata bapakku.
Aku menunjuk kearah piring ceker yang di belatungi "Itu loh pak, masa bapak gak liat sih?" Ucapku.
Aku dapat melihat bapakku yang menarik nafas panjang "Yasudah kalau kamu tidak mau makan, tapi jangan lupa minum vitamin yang di kulkas." ucap bapakku.
Aku lalu langsung lari keluar rumah, rasanya sungguh tidak betah tinggal bersama mereka, apalagi denga ibukku bisa-bisa aku gila.
Aku berjalan jauh, melewati rumah demi rumah dan bertemu dengan banyak ibu-ibu dan nenek-nenek sedang menyapu teras rumah.
Karna semalaman hujan terus, pagi ini tercium bau tanah yang sangat harum dan segar.
Kakiku membawaku menuju tpu, aku berjalan di atas tanah yang basah dengan sendal yang tipis.
Aku berjongkok di samping kuburan adikku, tanganku meraba tanah dan nisan adikku yang dikalungi bunga melati yang sudah kering dan sangat kayu, seperti bunga yang sudah lama.
"Dek....Kakak kangen sama kamu... "
"Maafin kakak karena gak bisa apa-apa saat kamu di bully....Maafin kakak karna gak ada di saat kamu di bunuh....." aku menangis dengan nafas yang berat.
"Hiks....Dek....kakak merasa sangat bersalah sama kamu...Harusnya di saat ibu gak bisa jaga kamu dan bapak yang gak peduli sama kamu, kakak bisa ada di samping kamu terus, jaga kamu agar orang lain gak bisa nyakitin kamu."
"Kakak pernah janjikan sama kamu, nanti saat kakak lulus sekolah, kakak akan bawa kamu keluar dari rumah itu...Kakak akan...Kerja yang rajin dan punya banyak uang untuk bahagiain kamu....Sama nenek.." Aku mengusap air mataku yang terus mengalir di pipi.
"Ta-tapi...kenapa.....Kamu ninggalin kakak hiks hiks hiks....Dekk..... Kakak kangen sama kamu....hiks hiks..."
Aku menghapus air mataku, lalu berjalan kearah kebun untuk mengambil bunga yang sengaja ditaman di sana.
Aku memetik 30 bunga lalu menaburkannya di atas kuburan adikku "Bunga-bunga ini menggambarkan betapa beratnya hari-hari kakak tanpa kamu."
#Hari ke 3 pasca kematian Rina
Aku duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu, hanya diam sambil terbengong, terkadang ibuku menarik-narik rambutku tetapi tidak kencang.
"Dewi.....gi...la...jang....Jangan, se-sedih." ucap ibuku, tangannya menghapus air mata yang tiba-tiba saja keluar dari mataku.
"Kok basah." gumamku.
Hingga sesaat kemudian hidungku mencium bau busuk, baunya sangat busuk hingga membuatku sedikit mual.
"Bu....nyium bau busuk gak?" tanyaku kepada ibuku yang sedang memainkan rambutku.
Seakan mengerti, ibuku menggelengkan kepalanya tetapi aku tidak percaya, karena bau ini benar-bener menusuk hidung.
"Masa gak kecium sih buk, ini bau banget loh." Keluhku padanya, lalu aku berjalan mengikuti bau busuk yang tercium hidungku.
Bau itu menuntunku menuju halaman belakang rumah, tepat sekali aku berdiri ditanah tempat mayat Rina ditemukan.
Bau busuk itu berasal dari bawah tanah, aku yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di bawah tanah ini.
"Dewi"
DEGH...
Tubuhku mengampul saat sebuah tangan tiba-tiba memegang pundakku, dengan jantung yang hampir copot aku membalikkan tubuh.
Dapatku lihat tubuh bapakku yang besar dan badannya yang tinggi menatapku dengan heran.
"Ngapain kamu sore-sore di halaman belakang rumah?" tanyanya.
"A-aku cuma....Ngikutin bau busuk yang berasal dari sini." sengaja aku bilang seperti ini, aku ingin melihat bagaimana reaksinya.
Bapakku memasang wajah bingung, dia lalu menggerak-gerakan hidungnya seperti sedang mencium sesuatu.
"Mana...Bapak gak nyium bau apapun." ucap Bapakku.
"Bapak jangan bohong, orang jelas-jelas aku nyium bau busuk kok." jawabku ngotot.
"Gak ada Dewi, kamu jangan halu...Sudah ayo masuk, sudah mau malam."
Bapak lalu merangkulku untuk masuk kedalam rumah, sampai di dalam bapak memberiku vitamin.
"Minum ini, biar tubuh kamu sehat..." Aku mengambil vitamin itu lalu menaruhnya di mulutku.
"Sudah kamu tidak usah sekolah lagi." ucap bapakkku.
Aku yang memang malas dengan pembullyan di sekolah pun hanya bisa mengangguk patuh.
Lalu aku berjalan menuju kamar mandi untuk melepehkan vitamin yang diberikan oleh bapakku, aku sangat curiga dengannya.
Tak lama azan magrib berkumandang, aku segera keluar dari kamar tidur menuju kamar mandi, niat hati ingin mengambil air wudhu tetapi saat aku mulai tahap mencuci muka tiba-tiba saja air itu berubah menjadi warna merah yang bau sekali.
Lalu tiba-tiba terdengar juga suara bayi menangis sangat keras dan suara seorang wanita muda yang sedang menangis.
Bergegas aku segera pergi dari sana sambil berteriak memanggil bapakku yang berada di dalam kamar bersama ibukku.
Ku gedor-gedor sangat keras pintu kamar bapakku agar dia segera membukanya.
Setelab pintu terbuka dengan suara yang terbata-bata dan perasaan yang sudah ketakutan, aku menceritakan semua kejadiannya.
Tetapi respon bapakku seakan tidak percaya "Ngigo kamu ini, mana ada air yang bisa berubah jadi darah," jawab bapakku sambil menatap wajahku.
"Udah gitu di sekitar sini juga gak ada yang habis melahirkan." lanjut bapakku.
Aku yang jengkel pun segera menarik tangan bapakku untuk mengeceknya sendiri, biar matanya melotot ketika melihat air yang mengamlir dari bambu berganti menjadi darah.
"Loh kok." Aku terkaget saat melihat air itu berwarna putih bersih, bahkan tidak tercium bau apapun dari air tersebut.
"Tuhkan, udah Dewi kamu gak udah cari perhatian kaya gitu sama bapak, sana kamu ambil wudhu terus berdoa sama allah." ucap bapakku
#Hari ke 4 pasca kematian Rina
ibukku dan aku sedang duduk santai di teras rumah, aku yang duduk dikursi kayu sedangkan ibukku duduk ditanah sambil mencongkel-congkel tanah.
Tak lama Ayu datang, dia tidak masuk ke dalam halaman rumahku hanya berdiri di depan pagar kayu saja.
"Dewi" panggil Ayu.
Aku segera menghampirinya, ku lihat tangannya membawa semangkuk sop kentang, dia lalu memberikannya padaku.
"Ini buatmu dari ibukku."
Aku dengan suka rela menerimanya, lalu aku izin masuk ke dalam rumah untuk mengganti mangukuk milik Ayu.
Setelah ku pindahkan sup itu dan mencuci bersih mangkuknya, aku segera keluar lagi menemui Ayu.
"Dew kok bau banget bangke ya, kamu cium gak sih?" Ucap Ayu sambil menerima mangkuk tersebut dari tanganku.
"Ka-kamu juga nyium Yu?" tanyaku kaget.
"Iya, soalnya ini bau banget."
Setelah itu Ayu pun pergi, karena setelah ini mau ke rumah Suryo untuk mengerjakan tugas kelompok.
Aku berjalan pelan menuju kursi kayu yang tadi aku duduki, pikiranku melayang kemana-mana.
Omongan bapakku yang bilang tidak mencium bau busuk terus bergema dikepala, sedangkan Ayu teman baikku hari ini mengatakan kalau dia mencium bau busuk.
"Jadi bapak berbohong padaku?" ucapku.
Setelah berfikir cukup lama, aku pun memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Langkah kaki ku bawa menuju halama belakang rumah, asal dari bau busuk itu.
Ku buka pintu kayu yang terhubung dengan halaman belakang, sambil menutup hidung dengan baju aku berjalan ke tempat mayat Rina ditemukan pertama kali.
Mataku mecari-cari sesuatu disekitar sana, lalu kulihat pacul milik bapakku yang pojokan.
Ku gali tanah tersebut dengan pacul itu, setelah cukup dalam mataku melihat sebuah tangan yang terkubur di sana.
Jantungku terus berdetak tak karuan, tangan yang menggenggam pacul bergetar hebat sampai tanpa sadar aku melepaskan genggaman tersebut.
Ku mundurkan langkahku sekitar 2 meter dari tempat lengan ditemukan, lalu tiba-tiba terdengar suara wanita yang menangis dengan pilu dari arah pohon mangga besar.
"Si-siapa?" panggilku, tetapi aku tidak berani untuk milihat ke arah pohon mangga itu.
Aku memilih untuk masuk kembali kedalam rumahku dan menutup pintu belakang dengan rapat.
Brak
Suara bantingan terdengar dari kamar mandi, membuatku spontan lagsung menoleh kearah kiriku.
Tetapi di dalam kamar mandi tidak ada siapaun, dan terlihat batok air yang bergerak-gerak di lantai seperti habis terjatuh.
"Astaghfirullah astaghfirullah astaghfirullah." aku berzikir sambil lari kearah depan rumah.
Nafasku sudah tersegal-segal serta peluh keringat yang membanjiri seluruh badanku.
Aku memutuskan untuk menunggu bapakku pulang di teras rumah, tak berani untuk masuk kedalam lagi.
Aku takut.
Jam lima sore bapakku sudah balik, segera aku menceritakan kejadian tadi siang kepadanya.
Kali ini bapakku membentakku "Tidak ada apa-apa di rumah ini Dewi, apa kamu pikir Rina sedang gentayangan hah?"
"DEWI GAK BOHONG BAPAK!!!" tanpa sengaja aku juga membentak bapakku.
Plak
Satu tamparan mendarat di pipiku rasanya panas sekali, baru kali ini aku ditampar oleh seseorang, dan seseorang itu adalah bapakku sendiri.
Dengan tangan yang gemetar dan mata menatap tajam bapakku, aku berkata "Bapak yang sudah bunuh Rina." ucapku penuh penekanan, air mata yang kutahan perlahan mengalir.
"Ngomong apa kamu Dewi? apa kamu tidak meminum vitamin mu?" jawab bapakku.
Aku tak meladeni ucapanya, dengan amarah yang memuncak aku lalu mengatakan semua kejanggalan yang telah aku temukan terhadap bapakku.
"Bapak gak usah bohong, aku tau semuanya, bapak yang telah membunuh Rina kan? aku nemuin jepitan rambut yang aku belikan untuk Rina dikantung celana bapak 4 hari yang lalu, terus tentang bau bangkai yang aku bilang kemarin bapak juga berbohong, nyatanya tadi siang Ayu ke sini dan dia juga mencium bau bangkau tersebut, tapi kenapa bapak malah pura-pura tidak mencium bau itu?" Aku menjelaskan panjang lebar, ku jeda kalimatku untuk sekedar mengambil nafas.
Mataku yang tajam dapat melihat wajah terkejut sekaligus sedih bapakku, aku tak mengerti apa yang dia sedihkan, mungkin dia sedih karena sebentar lagi akan masuk penjara.
"Terus sekarang bapak malah menamparku karena menemukan tangan seseorang yang terkubur dihalaman belakang rumah, jawab pak, siapa lagi yang bapak bunuh? berhari-hari aku dihantui oleh arwah Rina pak, aku takut dan entah kenapa aku merasa bersalah, tetapi bapak orang yang telah membunuhnya malah bebas berkeliaran tanpa rasa bersalah." Aku menghentikan ucapanku, air mata sudah banjir dipipiku.
"Dewi......Tega sekali kamu menuduh kalau bapak yang telah membunuh Rina? anak kandung bapak sendiri."
Suara bapakku terdengar bergetar, bahkan saat ini matanya yang sudah keriput pun meneteskan air matanya.
Aku cukup terkejut melihat pemandangan itu, karena bapakku ini jarang sekai menangis, bahkan pertama kali ku lihat bapakku menangis adalah saat ibukku menjadi gila lalu yang kedua pada saat kematian adikku.
Tetapi tangisnya yang sekarang berbeda, bapakku terlihat menahan kekecewaan dalam tangisannya, dia menutup wajanya dengan satu tangan sedangkan tangan lainnya memukul-mukul dadanya.
"Dalam mimpi tak pernah sekalipun bapak membayangkan untuk membunuh anak kandung bapak sendiri." ucap bapakku.
"Gak usah akting pak, itu gak mempan buat Dewi." Jawabku yang masih kekeh menuduh bapakku.
Bapakku lalu menurunkan tangannya yang menutupi wajahnya, matanya merah dengan tatapan sayu.
"Kamu ikut bapak, bapak akan buktikan kalau kamu salah Dewi."
Bapakku menarik lenganku secara paksa menuju dalam rumah, langkahnya sangat cepat membuatku sedikit terseret dibuatnya.
"Lepas pak, bapak mau bunuh aku juga?" bentakku sambil memberontak.
Sampai di dapur, bapakku langsung membuka pintu belakang yang sudah aku kunci, dia melempar tubuhku ketanah tepat berada di samping galian yang tadi siang aku gali.
"Liat pakai matamu itu Dewi, apa kamu melihat tangan di sana?" Teriak bapakku.
Aku segera melihat kearah galian, dan mataku mendapati sarung tangan lusuh di dalam lubang galian itu.
Deg
Deg
Deg
Deg
Jantungku berdegup kencang, jelas sekali tadi siang yang aku lihat adalah tangan milik seseorang tapi kenapa sekarang malah berubah menjadi sarung tangan.
"Bo-bohong, ba-bapak pasti sudah menyembunyikan tangan itu la-lalu menggantinya dengan sarung tangan kan?" aku berdiri, dengan suara gemetar aku berbicara.
"Astaghfirullah Dewi, sadar Dewi." bapakku menarik rambutnya seperti orang prustasi.
"Kamukan lihat sendiri bapak baru pulang, kalau kamu mau berfikir, kapan bapak bisa mengganti tangan itu dengan sarung tangan sedangkan bapak baru saja pulang kerja lewat pintu depan." ucap bapakku, suaranya terdengar lelah.
"NGGAA! BAPAK PASTI BOHONG, AKU NEMUIN SENDIRI JEPIT RAMBUT YANG PENUH DENGAN NODA DARAH DI KANTUNG CELANA BAPAK DAN BAPAK BERBOHONG KEPADAKU TENTANG RINA YANG MENGINAP DI RUMAH NENEK!!!!!!!" Aku teriak, amarahku sudah berada di ambang batasannya, bahkan tanganku yang menunjuk wajah bapakku sampai bergetar.
"Bapak berbohong karena..." Bapakku menjeda ucapannya, matanya sedih sekali menatap kearahku, bahkan bibirnya sampai bergetar tidak sanggup untuk berbicara.
"Kenapa bapak diam?!!!! ayo, pembelaan apa lagi yang akan bapak ucapkan."
Bapakku memegang kedua pundakku yang bergetar, dia lalu membuka mulutnya.
"Kamu sakit Dewi.....Kamu sakit, bapak terpaksa berbohong karena tidak ingin membuatmu menjadi sedih lagi karena meninggalnya Rina satu bulan yang lalu."
"Apah?!!!" jantungku seolah berhenti bertedak, satu bulan yang....lalu?
Tiba-tiba semua ingatan tentang kematian Rina empat hari yang lalu tertimpa dengan ingatan satu bulan yang lalu, aku yang mengingat momen tersebut menjadi tidak kuat, kepalaku terasa sakit sekali seperti samua rambutku dicabut secara paksa.
"ARGHHHHH....SAKITTT.....RINAAA TOLONG KAKAK...." Aku berteriak sambil memegangi kepalaku, lalu satu detik kemudian semuanya berubah gelap dan aku tak sadarkan diri.
.
.
.
.
— 𝙋𝙤𝙫 𝙖𝙪𝙩𝙝𝙤𝙧
Di rumah Dewi yang sederhana sudah dipenuhi oleh para saudara dan tetangganya, serta guru Dewi dan beberapa siswa laki-laki di sekolah juga datang ke sana.
Mereka ingin melihat keadaan Dewi, sudah 15 jam Dewi tak sadarkan diri dan hanya terbaring lemah di atas kasurnya.
"Kusna...Apa kau tau kalau anakmu itu sakit mentalnya?" tanya nek Bidah (neneknya Dewi, ibu kandung Kurnadi ayah Dewi).
"Saya tau buk, Dewi juga tau kalau mentalnya terganggu bahkan dia juga saya ajak untuk berobat ke rumah sakit, tetapi kalau tidak salah 8 hari yang lalu tiba-tiba dia menanyakan dimana keberadaan Rina, adikknya." Jelas Kusnadi kepada ibuknya.
Para saudara dan tetangga yang berkumpul di ruang tamu rumah Dewi pada menyimak percakapan tersebut.
"Terus kamu jawab apa?" tanya nek Bidah.
"Saya jawab kalau Rina sedang menginap di rumah ibuk." jawab Kusnadi yang membuat nek Bidah beristighfar.
"Maaf buk, saya tidak bermaksud jahat, saya pikir bagus kalau Dewi telah melupakan Rina yang telah meninggal secara tidak wajar karena dibunuh oleh pamannya, tetapi saya tidak menyangkak bahwa Dewi akan membuat skenario sendiri dikepalanya," Jelas Kusnadi.
Nek Bidah pun mulai mengerti kenapa saat itu tingkah Dewi sangat aneh saat berkunjung ke rumahnya.
"Sepertinya dia m mengartikan sendiri ucapanku." Ujar nek Bidah.
"Apa maksud ibu?" tanya Kusnadi.
"Kalau tidak salah 6 hari yang lalu Dewi datang seorang diri kerumahku, aku bertanya di mana Ayu, kenapa dia tidak datang bersamanya, tetapi tingkahnya malah naeh, seperti orang kaget." jelas nek Bidah.
"Betul itu." kali ini bu Yeni yang berbicara. "Waktu Dewi datang ke rumah nek Bidah, aku juga ada di sana dan tingkahnya aneh banget, padahal aku hanya memberitahu kalau tukang sayur sudah sudah datang tetapi reaksi Dewi seperti orang yang baru saja mendengar kabar yang sangat buruk." ujar bu Yeni, wajahnya cukup serius menatap satu persatu para warga yang menyimak.
"RINAAAA TIDAKKK."
Terdengar suara teriakan dari dalam kamar Dewi, Kusnadi dan nek Bidah buru-buru lari menuju kamar tersebut.
"Dewi, kamu sudah sadar nak."
Melihat neneknya, Dewi yang panik pun segera memeluknya, dia menangis di dipelukan neneknya, ingatan asli tentang pristiwa kematian Rina sudah kembali.
Rasanya dunianya hancur, ternyata Rina sudah pergi begitu lama dari dalam hidupnya, dan dia yang merasa bersalah karena tidak dapat menjaga adiknya lalu mengalami sakit mental yang berkepanjangan.
Hatinya serasa remuk, keluarga satu-satunya yang peduli satu sama lain, yang selalu ada di sampingnya dan selalu menyemangatinya ketika sedang sedih malah direnggut nyawanya oleh pamannya sendiri.
Rina meninggal karena ketauan hamil anak dari pamannya, pamannya yang gelap matapun tega membunuh Rina di kamar mandi rumah ini, saat itu bapaknya sedang mengantarkan ibuknya untuk berobat kejiwaan lalau menitipkan kedua anaknya kepada adik laki-laki nya karena rumah mereka paling dekat.
Tetapi siapa yang menyangka, bahwa Rina dan pamannya itu telah menjalin hubungan asmara secara diam-diam bahkan sampai mengandung.
Melihat dari latar belakang Rina, sepertinya dia membutuhkan kasih sayang seorang ayah dalam hidupnya, karena ayahnya sendiri tidak bisa memberikan, makan dia menyari pelampiasan dan ternyata pamannya itu mampu memberinya kasih sayang.
Tetapi karena pamannya yang gelap mata dan terdapat iblis di dalam dirinya, dia tega manfaatkan sifat polos Rina untuk memuaskan nafsunya.
Dan Dewi yang tidak ada dirumah, malah sibuk bermain denga teman-temannya disekokah tidak mengetahui kejadian naas tersebut.
Dia sangat-sangat membenci dirinya saat itu, bahkan dia juga membenci bapaknya dan ibuknya yang tak bisa diandalkan.
Selama ini, setelah ibuknya menjadi gila, bapaknya tidak sudah tidak terlalu peduli dengan Dewi dan juga Rina, makannya Dewi sangat bergantung dengan Rina dalam menjalani hari-hari yang yang melelahkan ini dan Rina pun sebaliknya sangat bergantung dengan kakaknya.
Setelah kepergian Rina, Dewi seperti hilang arah, ibuk gila yang selalu megangguannya dan bapak yang tidak peduli padanya serta teman-teman sekolahnya yang selalu membullu dirinya membuat Dewi semakin terpuruk.
Dia pun jadi sering melamun, menghayal sendiri juga berbicara ngelantur dengan menyebut-nyebut nama Rina.
Di dalam pelukan neneknya, Dewi terisak, dia berkali-kali meminta maaf kepada Rina karena telah gagal menjadi seorang kakak.
"Maafkan kakak ya dek, kakak janji kalau ada kehidupan kedua kakak akan membuat kamu bahagia sampai kamu tidak tau apa artinya kesedihan." batin Dewi untuk Rina sang adik tercinta.
𝘚𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪.
𝘊𝘦𝘳𝘱𝘦𝘯 𝘣𝘺: 𝓫𝓲𝓷𝓽𝓪𝓷𝓰 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓳𝓪𝓾𝓱 𝓭𝓲 𝓪𝓷𝓰𝓴𝓪𝓼𝓪 💫