Tempat itu adalah sebuah jalan beraspal selebar tiga meter yang sepertinya telah diguyur hujan.
Aku sedang menyantap bacang ketika Mrs. Lita menceramahiku tentang nilai matematikaku yang hanya 200. Dia berkata bahwa aku mungkin memiliki masalah akhir-akhir ini. Aku mengiyakannya, tapi, aku juga bilang bahwa aku tidak begitu mempermasalahkan masalahku itu. Aku berpikir bahwa itu bukanlah faktor dari kemerosotan nilaiku.
Beliau lalu menyuruhku untuk mendaki lereng bukit—atau bukan—di sebelah kiri jalan. Aku lalu melakukannya. Ada semacam bekas pendakian di lereng yang tidak begitu tinggi tapi cukup terjal itu. Setelah aku sampai di atas, aku bertemu dengan dua adik kelasku.
Ketika aku menengok ke bawah sana, jalan beraspal yang tak segitu lebar itu telah berubah menjadi aliran sungai deras yang membentang selebar 50 meter. Aku dan adik kelasku yang lebih tinggi dariku berada di bagian paling atas yang ternyata adalah sebuah sawah.
Adik kelasku yang berambut hitam panjang berada di lekukan bukit yang tidak begitu bawah. Adik kelasku yang satu lagi memberiku sebuah ponsel untuk memotret temannya yang berada di bawah sana.
Aku melakukannya, dan, pemandangan yang tertangkap kamera ponsel itu benar-benar membuatku terkesima.
Bukit dan lembah yang dipenuhi pepohonan rindang, warna merah muda sebagai bunga cerah yang bermekaran itu muncul dari sela-sela hijaunya pepohonan. Aliran deras sungai yang kecokelatan itu menjadi air terjun yang diapit oleh dua batuan besar nan perkasa.
Mereka lalu turun ke bawah sana untuk menyebrangi sungai yang dua kali lipat lebih lebar dari sebelumnya, dengan arus air yang begitu deras—dilihat saja sudah begitu mengerikan. Aku bergerak ke bawah, lalu memperhatikan mereka turun dan bertemu air sungai.
Aku merengek, "Bagaimana kita akan menyebrangi ini?"
Jujur saja, aku paling malas bertemu dengan sungai di dalam mimpi.
Aku kemudian melihat teman sekelasku di sana, turun ke sungai yang kedalamannya mencapai lehernya. Dengan ragu, aku pun memutuskan untuk melakukannya juga. Ternyata airnya tidak sederas yang aku kira ketika melihatnya dari dekat.
Ketika aku dengan perlahan menjatuhkan diriku ke dalam air, aku sedikit terperanjat karena, karena … memang dalam. Well, aku agak malas menggambarkan detailnya bagaimana, karena aku sudah lupa. Pokoknya, air sungai yang bagai kopi cappuccino itu sampai menyentuh daguku.
Setelah beberapa saat, kami sampai di seberang sungai. Di sana tampak seperti pelabuhan, atau apa, karena, banyak orang—yang tampak sangat kumal—berkumpul di sebuah bangunan kecil tanpa dinding.
Aku sepertinya terpisah dengan yang lainnya, karena, aku mendapati diriku berkeliling ke sana kemari mencari seseorang. Mungkin saja aku mencari sampai ke tengah sungai, karena, tiba-tiba saja aku berlari menuju bangunan itu untuk menghindari hujan yang datang secara tiba-tiba.
Ada satu bangunan yang lebih besar dan setidaknya terlihat lebih baik dari bangunan kecil sebelumnya. Bangunan itu terlihat seperti pendopo. Di pinggirnya, ada sebuah jalan kecil selebar dua meter yang dipenuhi orang-orang kumal itu.
Aku berlari kecil sambil membungkukkan badan (sebagai ungkapan permisi) melewati orang-orang dengan air sepanjang lutut yang cukup menghambat. Entah apa yang dilakukan orang-orang itu, mereka hanya terduduk dengan air kotor yang membasahi tubuh bagian bawah mereka.
Ada suara gemuruh mengerikan yang membuat siapa saja ingin bersembunyi. Mungkin karena itulah … aku juga mencari tempat yang lebih aman.
Kemudian, aku mendapati diriku berada di pasar kumuh dengan orang-orang yang tak kalah kumuh dari sebelumnya. Aku masih mencari seseorang.
Aku tetap mencari seseorang.
Setelah tak berselang lama, aku akhirnya menemukan seseorang yang aku kenal—meski, entah dia yang aku cari atau bukan, aku tidak tahu.
“Babang Rimba!!” seruku.
“Woeyy!!” ia menyahut.
Dia segera menghampiriku dan merangkul bahuku. Aku tampak seperti anak kecil jika dibandingkan dengan badannya yang tinggi besar itu. Dia hanya mengenakan kaos kutung berwarna putih dan mungkin celana hitam.
Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi, aku tahu itu dia. Entah kenapa aku memanggilnya begitu, maksudku, beliau memang mungkin memanggil dirinya seperti itu, tapi aku tidak. Maksudku—
Dia bersama seseorang yang tidak aku kenal, tapi, aku mengingat satu nama, yaitu … Irfan. Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak kenal siapa Irfan itu. Namun itulah yang aku ingat. Mungkin itu adalah nama orang itu, atau … aku tidak tahu.
Aku berjalannya beberapa saat. Yah, sebut saja begitu, karena aku tidak tahu—maksudku, aku tidak ingat detail lainnya.
Setelahnya, aku mendapati diriku berada di kakus yang terbuat dari anyaman bambu yang memiliki dua pintu sekaligus—di sebelah kiri dan kanannya.
Aku mengintip dari sela-sela dindingnya—yang, kau tahu, anyaman bambu. Di luar, seseorang yang tidak aku kenal dengan pisau di tangannya menunggu untuk menyerang!
Dia memegang pisaunya bagai seorang yang penuh dendam kesumat. Lalu, aku segera keluar dari pintu sebelah kiriku sesaat sebelum orang sinting itu menghunjamkan pisaunya ke dinding yang kalah tipis dari triplek itu.
Sepertinya ada pertikaikan antara aku dan orang itu. Ah, benar! aku rasa, orang itu perempuan.
Mungkin aku melakukan Hiraishin no Jutsu tanpa kegegalan setelahnya karena aku mendapati diriku berada di sungai … hmm, kau tahu, sebuah tanah berbatu dan sedikit berair di tengah sungai? Nah, aku berada di tempat seperti itu. Dengan lumutan hijau yang berbentuk seperti ulat-ulat yang menempel ke batu-batu di bawahku.
Aku merasakan sensasi aneh ketika kakiku menyentuhnya.
Seseorang lalu menghampiriku, dia sepertinya seorang wanita tua yang berpakaian seperti penyihir dalam kartun. Kami duduk agak berjauhan di batu, dengan tubuh wanita yang ingin membunuhku tadi yang sudah menjadi Jari Sukuna versi dewasa di belakang kami. Oh, kau tidak tahu jari Sukuna, ya? Itu adalah sebuah istilah yang aku berikan untuk—ah, nanti aku akan menulisnya di #Dreamstory selanjutnya.
Dia sepertinya memberi nasehat tentang hidup yang tidak aku ingat karena sepertinya aku tidak begitu mendengarkannya.
Aku hanya termenung, menatap aliran sungai yang dengan tenang mengalun, mengikuti arusnya. Seperti hidup manusia, yang selalu mengalir mengikuti arus. Pasti melalui berbagai hal sebelum akhirnya bertemu … dengan kematian.
Catatan kaki:
• Hiraishin no Jutsu: Jurus teleportasi ayang Minato dari satu tempat ke tempat lain yang sudah ia tandai dengan kunai.
• Kakus: Semacam WC, yang letaknya terpisah dari rumah/bangunan utama.
(Bonus)
• Dreamstory adalah koleksi ceritaku, yang ditulis berdasarkan mimpi yang aku alami. Ya, mimpi dalam tidur!
#Dreamstory_susyiisana