Pagi ini Jeno mengurus lukisan “Bat Country” miliknya yang sudah dipesan oleh seseorang.
Ia saat ini sedang berada di tempat sang kawan, untuk memberi pigura pada lukisannya supaya tampak rapi dan lebih estetik.
Rumah bergaya modern minimalis yang didominasi warna putih dan kayu ini serta ada taman hijau di sisi beranda, tak lupa lampu-lampu taman turut menghiasi taman kecil milik rumah sang sahabat ini.
Saat ini Jeno dipersilakan masuk ke dalam rumah yang langsung menghadap taman belakang. Di sana terdapat kolam ikan koi yang dipercaya membawa keberuntungan oleh kaum Tionghoa.
Suara gemericik air yang berasal dari kolam tampak menenangkan, mata Jeno sedikit terasa berat karena tenggelam dalam suasana nyaman. Tubuhnya ia sandarkan di sofa minimalis berwarna cokelat susu.
Di tambah semilir angin yang sesekali meniup poni milik Jeno, membuat pemuda itu betah berlama-lama di rumah milik sang sahabat.
“Woi, Jeno! Yee, malah tidur lagi lu, lu pikir rumah gue hotel apa?” kata Yangyang sambil memandang Jeno sinis.
“Villa sih, kata gue. Rumah lu enak, Yang, adem bener suasananya, beda kali sama yang punya rumah. Auranya negatif, bikin panas ati,” balas Jeno dengan sedikit sarkas.
“Mulut lu minta disumpelin sambal rujak kayanya. By the way, lu niat amat bikin nih lukisan? Sebelumnya lu nggak pernah bikin beginian, biasanya sketsa wajah orang?” tanya Yangyang.
Tangannya sambil sibuk memasangkan pigura untuk lukisan Jeno.
“Pesanan, Bos. Dia berani bayar mahal ke gue, ya gue kudu totalitas dong, katanya pengen pemandangan kota, tapi dia nggak mau yang biasa. Kudu lain daripada yang lain, ya gue buat deh, tuh lukisan,” jelas Jeno.
“Pemandangan kota sih, pemandangan kota. Tapi kalau kaya gini, orang yang lihat juga bulu kuduknya bakalan merinding disko. Untung gue udah biasa nangani lukisan lu,” ujar Yangyang.
“Yang penting lain daripada yang lain, Yang,” balas Jeno.
Sret! Suara pigura yang digeser untuk tempat lukisan beradu dengan dinginnya lantai rumah. Lukisan Jeno mulai dipasang.
Tangan Yangyang bergerak dengan terampil mengerjakan lukisan Jeno, sedang Jeno sendiri tengah menyeruput segelas cocktails strawberry di rumah Yangyang.
“Lu lihat deh. Strawberry itu warna merahnya bagus, ya?” Jeno kembali membuka suara, “merah!”
Mata Jeno menatap strawberry cocktails itu dengan matanya yang berkilat-kilat penuh kesenangan dan memandang cairan berwarna merah itu dengan senyuman penuh arti.
Yangyang melirik melalui ekor matanya, tangannya masih senantiasa bekerja merampungkan lukisan Jeno yang sebentar lagi selesai.
“Sinting!” komentar Yangyang.
Jeno memejamkan matanya sebentar, meresapi rasa strawberry cocktails yang mengalir membasahi kerongkongannya. Lidahnya mencecap rasa cocktails yang terasa begitu nikmat di indra pengecapnya.
“Jen, lu okay? ... masih waras? ... ngomong anjir, kobam lu?!” Yangyang sedikit berteriak. Pasalnya ia melihat Jeno memejamkan mata setelah meminum cocktails.
“Lee Jeno!” teriak Yangyang.
“Apasih, anjir! Gue denger ya, belum tuli!” Jeno balas berteriak.
“Lagian lu dipanggil nggak nyaut. Gue kira lu mati anjir!” sarkas Yangyang sambil menatap sinis. “Nih, lukisan lu jadi.”
Tubuh Jeno menegak ia bangun dari sofa. “Thanks, bayarannya gue tf ya?”
Jeno mengotak-atik ponselnya, seketika bunyi notifikasi memecah keheningan.
Ting!
“Masuk, Mas Jeno. Xie-xie, yak?” ujar Yangyang dengan mata berbinar-binar sambil menatap layar ponsel yang menampilkan notifikasi.
Jeno berpamitan dari rumah Yangyang. Dengan mobil pick up warna hitam, ia mengendarai dengan kecepatan sedang, gedung-gedung tinggi tampak berlarian mengejar Jeno di bawah teriknya matahari.
Jeno terus berkendara sembari bersenandung Brompton cocktails dari Avenged Sevenfold.
Hingga tak terasa waktu seakan menelan jalan yang telah dilalui Jeno dan pada akhirnya sampai di rumah pemesan lukisan Bat Country itu.
Brak! Pintu mobil tertutup, saat Jeno keluar dari mobilnya. Jeno lantas ia mengangkut lukisannya dan memencet bel rumah sang pemesan.
“Ada apa ya, Mas?” tanya seorang security sambil menatap Jeno curiga.
“Paket yang punya rumah, Pak,” jawab Jeno.
Security itu lantas tersenyum, “Oh, lukisannya ya, Mas. Mari masuk. Tuan Mark Lee ada di dalam kok.”
Security itu menyuruh Jeno masuk menggunakan mobil pick up-nya. Tampak halaman rumah yang luas dan megah dengan air mancur model patung Yunani sebagai spotlight-nya.
Rumahnya begitu besar bergaya eropa.
Sesampainya di beranda, Jeno dipersilakan masuk. Sambil menunggu sang tuan yang sedang dipanggilkan.
Mata Jeno tidak bisa diam, terus bergerak ke sana ke mari. Decakan penuh kekaguman terpancar jelas di binar matanya.
“Ini rumah apa White house Amerika, gede amat?” gumam Jeno.
Di sekitar halaman saja tadi terdapat patung-patung dewa-dewa Yunani kuno. Sepertinya pemilik rumah ini menyukai kisah-kisah dewa-dewa Yunani.
“Sudah puas mengagumi rumah saya?” tanya sebuah suara. Jeno sedikit terlonjak.
“Saya Mark Lee, pemilik rumah ini. Di mana lukisannya?”
Jeno menyerahkan lukisan Bat Country-nya pada Mark. Mark melihat lukisan itu dengan pandangan yang tidak didefinisikan.
“Bat Country?” beo Mark.
Jeno hanya diam tanpa ekspresi, matanya mendadak kosong meski tadi terlihat berbinar seolah berbicara mengagumi keindahan rumah Mark Lee.
Melihat Jeno yang terdiam seribu bahasa dengan pandangan kosong Mark menatapnya dengan intens. Tatapannya mampu menembus raga Jeno.
“Jadi, Jeno Lee. Bisa Anda jelaskan maksud lukisan ini?” tanya Mark lagi.
Helaan napas berat terdengar, keluar dari tipis, kemerahan milik Jeno.
“Anda bilang, Anda ingin lukisan pemandangan kota dan harus lain daripada yang lain. Bukankah itu, juga termasuk pemandangan? ...”
“... pemandangan bukan hanya soal landscape keindahan kota, pemandangan kota menurut saya adalah apa yang terjadi di dalamnya, bagaimana kehidupan di kota itu, itu arti pemandangan untuk saya ...”
“... di lukisan ini, terlihat bagaimana orang-orang terlihat menderita mencari keadilan yang dulu sempat bergema, tetapi keadilan itu perlahan tenggelam layaknya matahari. Tenggelam karena ditelan habis oleh keegoisan seseorang, keserakahan beberapa oknum. Hingga menciptakan adanya penindasan dan peperangan, serta pertumpahan darah bagi mereka yang tidak berdaya ..."
“... hilangnya rasa empati dan moralitas yang terus tergerus, membuat segelintir manusia menjadi gelap mata. Dan menjadikan manusia yang lemah tidak memiliki kesempatan untuk hidup,” jelas Jeno.
Sedikit banyak Mark merasa terpukau dengan penjelasan panjang Jeno. Mata tajam milik Mark menatap Jeno dengan intens, seakan menginvasi setiap inchi wajah dan pahatan yang sempurna seseorang di depannya ini.
“Penjelasan yang cukup membuat saya terkesan. Saya suka dengan pemikiran kamu,” kata Mark, “baiklah, ini uangnya, kamu bisa cek lagi kalau merasa belum yakin.”
Jeno menatap koper berisikan pundi-pundi won, itu. Kemudian ia maju dan menerimanya, tak lupa pula ia mengucapkan terima kasih.
Setelah urusannya dengan Mark selesai, Jeno bergegas pulang, ia berpamitan dengan Mark, tetapi ...
“Jeno, saya tahu kamu bukan pemuda biasa, jiwamu dan hatimu seolah berbicara lewat lukisan itu ... sungguh menarik,” kata Mark dengan senyum miringnya.
Langkah Jeno menjadi terhenti dan tubuhnya mendadak kaku seketika.