Masih di malam yang sama, detak jarum jam yang bergerak setiap detiknya seakan menjerit menyuruh sang tuan yang masih tenggelam dalam sketsanya untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Srak! ... srak! ... srak! Bunyi goresan pena khusus yang menari-nari di atas kertas, turut bersekongkol memecah keheningan malam, melukis sebuah garis demi garis yang membentuk objek sosok menawan.
Pemuda berwajah serupa Samoyed itu mengulum senyum saat tangannya sedang memberi nyawa sebuah pena untuk menciptakan sebuah mahakarya. Ingatannya kembali berkelana mengenang pertemuan singkat penuh makna bagi Jeno.
Waktu itu di sebuah taman kota angin menggoyangkan dedaunan menari-nari ke kanan dan ke kiri. Aroma bunga pertanda musim semi menyeruak dalam indra penciuman.
Rumput-rumput pendek berwarna hijau membentang luas sepanjang taman, Jeno yang terduduk dan termenung di sebuah bangku terlihat memejamkan mata di tengah ia membuat sketsa burung yang menari gagah di udara.
“Gambaran yang bagus,” suara seseorang menyentak kesadaran Jeno yang tengah termenung dengan mata terpejam.
Jeno segera menegakkan tubuhnya, menoleh mencari ke arah sumber suara yang mengusik ketenangannya.
“Ya?” tanya ulang Jeno sambil menaikkan satu alisnya kala menatap seseorang.
“Itu,” tunjuk orang itu pada lukisan burung yang dilukis oleh Jeno. “Gambaran kamu bagus, kelihatan hidup.”
Jeno mengangguk paham, dia merendah sambil mengibaskan tangannya. “Ah, ini cuma gambar biasa, anak SMP juga bisa gambar ini. Jangan berlebihan,” katanya.
“Masa, sih? Ah, kamu kayanya kalau anak SMP nggak mungkin bisa gambar burung sedetail itu, deh,” kata orang itu, “boleh duduk di sini?”
“Boleh aja, ini tempat umum. Aku bukan yang punya taman,” jawab Jeno sambil sedikit bergeser memberi ruang untuk orang itu duduk.
“Makasih,” ujarnya sambil tersenyum manis pada Jeno. Yang hanya dibalas anggukan singkat. Waktu seakan berhenti bagi Jeno saat orang di sampingnya itu tersenyum manis. Jantungnya serasa berhenti sepersekian detik.
Belum pernah Jeno melihat senyum seseorang secantik dan semanis ini. Dan seseorang yang di sampingnya kini ... Jeno bertaruh jika sinar mentari di sore hari itu masih kalah cerah dengan senyuman seseorang yang berada di sampingnya.
“Oh, iya. By the way, balik lagi ke lukisan kamu, nih. Elang kamu kaya kelihatan hidup banget, detail bulu-bulu burungnya mulai dari bagian kepala, badan, sampai kaki kamu gambar dengan detail setiap garisnya ....”
“... mungkin kalau dikasih sedikit warna orang nggak akan ngira kalau gambar, pasti mereka pada ngira itu potret asli,” ujarnya memberi komentar pada setiap inchi gambar Jeno.
Jeno terkekeh, hal itu membuat seseorang di sampingnya itu memiringkan kepalanya dan menaruh telunjuk, serta ibu jarinya di dagu dengan ekspresi bingung. “Kamu kenapa, kok ketawa?” tanyanya.
“Nggak papa, lucu aja lihat kamu,” jawab Jeno. Ia menatap orang itu sebentar, lalu kembali menatap gambarannya lagi, “kamu kurang teliti. Gambar ini tuh masih banyak kekurangan.”
“Eung?” orang itu menatap Jeno bingung. “Bagian mana coba? Aku lihat udah oke, kok.”
“Ha-ha-ha ...,” tawa Jeno menyembur, pemuda itu tidak bisa menahan tawanya.
“Ihh! ... kamu ngetawain aku?” marah orang itu.
“Sorry, aku nggak maksud. Aku ketawa karena ekspresi wajah kamu itu lucu kaya anak TK,” ucap Jeno saat tawanya mereda.
“Sini aku tunjukkin kenapa gambar ini kurang sempurna,” Jeno menarik pelan tangan orang tersebut supaya lebih mendekat ke arah dirinya. “Coba kamu lihat kakinya, kaki elangnya itu nggak presisi. Itu masih besar kecil.”
Pemuda di sampingnya itu mengangguk mengerti. “Ah, iya. Ternyata kamu jeli banget, ya? Emang, deh. Kalau udah bakat dan emang jiwanya itu, yang kelihatannya udah sempurna di mata orang, ternyata masih kurang sempurna,” katanya.
“Andai aku kaya kamu, yang bisa gambar sebagus ini,” lanjutnya lagi.
“Kalau kamu mau, aku bisa kok ajarin,” tawar Jeno.
“Seriusan?!” tanya orang itu sambil menatap Jeno dengan mata berbinar. Lagi-lagi Jeno mengangguk mengiyakan.
“Mau gambar apa?” tanya Jeno.
“Bunga, boleh?” pinta orang itu.
Jeno mengangguk ia menuntun tangan kanan pemuda itu dari samping kiri, sehingga mau tak mau tangan Jeno melingkar di punggung sang pemuda itu.
Menciptakan garis dari goresan demi goresan yang diciptakan oleh pensil dengan sangat hati-hati.
Sinar mentari bersinar cerah sore itu, angin yang berembus membelai lembut kulit keduanya. Suara tawa anak-anak yang berlarian di taman seolah menjadi melodi pengiring kebersamaan dan kedekatan mereka sore itu.
Hingga senja datang seakan mengingatkan kedua pemuda itu harus mengakhiri kebersamaan mereka hari itu. .
“Yeay, gambarnya jadi. Cantik banget mawarnya!” pekik pemuda itu senang.
Jeno tersenyum, ia menyobek kertasnya agar pemuda itu bisa membawa pulang gambar yang ia inginkan tadi.
“Nih, bawa pulang,” ucap Jeno sambil memberikan kertas bergambar bunga mawar.
“Eh, beneran boleh?” tanyanya.
“Boleh dong. Ini, kan kamu yang minta,” jawab Jeno dengan senyumnya.
“Makasih, ya! Oh, udah sore, aku harus balik, nih!” kata orang tersebut.
“Mau diantar sekalian?” tawar Jeno.
“Eh, nggak perlu. Aku bawa sepeda, kok. Omong-omong kita belum kenalan dari tadi, siapa nama kamu?” tanya orang itu pada Jeno.
“Namaku Jeno, Lee Jeno,” jawab Jeno.
“Kenalin, namaku Renjun. Huang Renjun, salam kenal Jeno. Kalau gitu aku pulang dulu ya, Jen. Dadah!” ujar Renjun sambil melambaikan tangan pada Jeno. Yang tentu saja dibalas juga oleh Jeno.
“Huang Renjun, nama yang cantik. Secantik orangnya,” gumamnya dalam kesendirian di taman yang mulai sepi pengunjung itu.
***
“Huang Renjun,” gumam Jeno, “entah kenapa sampai sekarang aku nggak bisa menghapus senyum cantikmu dan sifat ceriamu dari ingatanku.”
Jeno terkekeh sambil melanjutkan sketsanya dalam keheningan malam yang sunyi di studio. Sambil memutar ingatan tentang Renjun yang menari-nari luwes di ingatannya.