Mentari bersinar di ufuk timur. Jarum jam berjalan tanpa kompromi hingga menunjukkan pukul 7. Jeno, laki-laki itu melangkah pulang dengan pakaian yang sama seperti malam tadi.
Namun, penampilannya terlihat acak-acakan serta wajah bantal yang begitu kentara. Dirinya juga berbau anyir, lantaran semalam melakukan sesuatu. Seperti sudah biasa melakukannya.
“Ahh, sial! Mana baunya amis banget lagi. Lupa nggak mandi. Ahh, terserahlah, palingan dia juga udah berangkat kerja,” gumam Jeno.
Klek! Pintu terbuka, Jeno langsung masuk begitu saja tanpa mengucapkan salam. Kenapa harus? Toh, ini juga rumahnya. Mengucapkan salam pada tamu yang menumpang itu juga tidak perlu dilakukan.
“Jeno, kamu dari mana aja. Kenapa semalam nggak pulang?” suara Jaemin yang terdengar dari ujung tangga.
“Ngapain nanya-nanya?”
“Aku nanya karena aku khawatir, Jen. Semalam Om Donghae sama Tante Tifanny telepon nanyain kamu, aku terpaksa bohong sama mereka dan bilang kamu udah tidur makanya nggak aktifin ponsel,” jelas Jaemin.
“Ngomong apa ngibul, sejak kapan mereka nanyain aku? Kan, sekarang kamu yang anak mereka, nggak usah ngarang cerita, deh. Ini bukan lagi ngerjain tugas bahasa. Ribet amat jadi orang, hobi kok ikut campur,” balas Jeno sedikit menusuk hati Jaemin.
“Aku ngomong gitu, karena aku peduli sama kamu, Jen. Dan aku nggak ngibul. Orang tua kamu khawatir sama kamu. Karena mereka hubungi kamu beberapa kali nggak diangkat. Tante Tifanny sampai cemas nanyain kamu ke mana?”
“Peduli?” beo Jeno terkekeh hambar, “lu bilang lu peduli sama gue? Peduli yang gimana? Yang rebut semua perhatian orang tua gue sampai berakhir bandingin pencapaian gue sama elu, gitu. Apa itu yang namanya peduli?”
“Aku nggak pernah rebut perhatian Om Donghae sama Tante Fanny dari kamu, Jeno. Kamu salah paham,” kata Jaemin.
“Halah, nggak usah ngelak lu. Nyatanya lu seneng, kan dapat pujian dari orang tua gue dan secara nggak langsung buat gue jadi anak yatim piatu pasif. Lu seneng, kan? Kalau lu emang peduli sama gue, gue minta lu angkat kaki dari rumah ini sekarang, ngerti lu?!” Jeno memberi peringatan pada Jaemin, setelahnya pemuda itu masuk ke kamarnya. Tak lupa ia membanting pintunya dengan keras.
“Mama, apa kehadiran Nana cuma membawa luka bagi orang lain, kenapa Jeno benci banget sama Nana?” gumam Jaemin dalam isak tangisnya.
Jaemin mengusap kasar air matanya dan menulis satu memo yang ia tempelkan pada piring yang tersaji di meja. Kemudian, ia mulai pergi bekerja, meninggalkan Jeno di rumah sendirian.
Jeno sendiri sedang mengamati langit-langit kamar. Ia ingat betul peristiwa di mana Na Siwon ayah Jaemin meninggal dunia karena kecelakaan yang menimpanya. Saat, itu mungkin merupakan pukulan telak bagi seorang Na Jaemin, karena ia hanya hidup sebatang kara di dunia ini.
Lee Donghae, ayah Jeno yang merupakan kakak dari Lee Yoona ibu dari Jaemin sudah berpulang saat ia melahirkan Jaemin ke dunia. Karena merasa kasihan, Donghae mengajak Jaemin untuk tinggal di rumahnya, keputusan itu langsung saja diiyakan oleh istrinya Tifanny, mereka bermaksud menambah teman untuk Jeno agar tidak kesepian.
Awalnya semua terasa biasa saja, tetapi lambat-laun entah disadari oleh Donghae dan Tifanny atau tidak, perhatian mereka beralih pada seorang Na Jaemin. Jaemin dengan otak cemerlangnya berhasil meraih prestasi dalam bidang akademiknya. Meskipun pada kenyataannya prestasi itu masih kalah dengan sang sepupu, Jeno yang bahkan memperoleh nilai jauh lebih tinggi di atas Jaemin, bahkan Jeno menjadi lulusan terbaik dan wisudawan terbaik saat masih kuliah.
Akan tetapi, entah mengapa justru Jaemin yang mendapatkan pujian dari orang tuanya, sedang anaknya sendiri diabaikan.
“Enak kali ya, jadi yatim piatu kaya Jaemin,” katanya pada langit-langit kamar, “ha-ha-ha ....”
“Pasti gue dapat perhatian kaya Jaemin. Uhh, senangnya.”
“Apa gue habisi dulu ya, Si Tua Donghae sama istrinya. Baru gue tendang si Jaemin?” monolognya.
Kakinya beranjak turun dari ranjang bertujuan untuk membersihkan diri sekaligus mencuci pakaiannya yang masih tercium bau anyir hasil perbuatannya semalam sehabis berkumpul dengan teman-temannya.
Sekitar satu jam lebih akhirnya Jeno keluar dari kamarnya. Ia ingat bahwa ia belum sarapan pagi ini.
Ia melangkah menuju dapur dan memasak sarapan untuk dirinya sendiri. Sebenarnya, ia melihat jika ada sepiring nasi goreng di meja makan, tetapi ia tak sudi menyentuhnya karena ia tahu itu buatan Jaemin.
Lagipula dia juga bisa memasak, jadi untuk apa Jaemin repot-repot, membuatkannya nasi goreng. Mau cari perhatian, kah?
Pagi ini Jeno membuat sesuatu yang simpel untuk sarapan, yaitu. Sandwich dengan isi telur dan sedikit saus tomat, tak lupa dengan segelas susu cokelat.
Derit kursi terdengar menggema seiring dengan tarikan tangan Jeno yang membuat kursi bergerak mundur. Jeno mendudukkan pantatnya dengan nyaman di sebuah kursi dan menyantap sarapan paginya dengan tenang.
“Habis ini gue urus pewarna dulu, lah. Nasi gorengnya ntar gue kasih ke buntelan gembrot itu. Udah numpang nggak tahu diri pula, gue alergi bulu kucing, dia malah bawa tuh makhluk seenaknya,” Jeno menggerutu.
Usai menghabiskan sarapannya, ia membawa piring berisi nasi goreng buatan Jaemin dan menuangnya di mangkuk milik kucing peliharaan Jaemin.
“Nih, sarapan dari majikan lu. Makan sana!” ucap Jeno menatap kucing gembul milik Jaemin. Masa bodoh jika kucingnya itu akan jatuh sakit karena menyantap nasi goreng.
“Gue pergi dulu, lu jangan cari masalah, jangan pup sembarangan, kalau lu sampai pup sembarangan gue gilas lu, ngerti?” peringat Jeno.
Setelahnya Jeno pergi keluar membawa barang yang ia butuhkan.