"Buka… hmm… biar aku ajari kamu merasakan puncaknya."
Doktor tampan berjongkok tepat di depan benda terbelah berwarna pink muda, dia melebarkan kedua kakiku lalu mendekati bibirnya ke belahan di depan.......
Aku menggigit gigi dengan erat, menahan diri, tapi mataku tetap tertuju pada bayangan suamiku yang tercermin di pintu ruang pemeriksaan.
Aku tidak akan membiarkan suamiku tahu… bahwa sepupu dokternya adalah cinta pertamaku…
Dan aku juga tidak akan pernah membiarkannya tahu… rahasia bagaimana sepupunya membuatku hamil…
**
"Ugh!" Suara lenguhan panjang terdengar memenuhi ruang kamar saat Andi menyelesaikan permainannya.
"Enak," ucap Andi, merasakan nikmat yang tiada tara.
Namun berbeda dengan Febby yang tidak merasakan klimaks sama sekali. Wajahnya menyiratkan kekecewaan mendalam.
"Sudah keluar, Mas? Kok cepet banget, ngga sampai satu menit. Perasaan baru masuk." Febby mengeluh sambil menghela napas panjang.
Sudah sering dia mengatakan kalau dia tidak pernah puas dengan permainan suaminya. Dia juga tidak pernah merasa ada yang keluar dari bagian inti tubuh, yang menandakan dia belum mencapai puncak. Namun, Andi seolah masa bodo. Yang penting nafsunya tersalurkan.
"Aku lelah. Tadi itu aku udah berusaha untuk lama, tapi malah keluarnya cepet." Selesai melampiaskan hasrat, Andi berbaring di sebelah istrinya tanpa merasa bersalah sama sekali.
Raut kesal dan kecewa terlihat jelas di wajah Febby, yang selama dua tahun menjadi istri sah Andi.
Selama dua tahun itu dia tidak pernah merasakan klimaks saat berhubungan dengan suaminya. Kenikmatan hanya dirasakan oleh Andi, bahkan Andi tidak pernah membuatnya nyaman di atas ranjang.
Andi juga kurang perhatian, hanya memikirkan diri sendiri. Pernikahan dua tahun terasa semakin hambar bagi Febby. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan. Toh Febby yang memilih laki-laki itu menjadi suaminya dan mereka sedang menjalani program kehamilan.
Ya, Andi dan Febby sudah didesak oleh kedua orang tua mereka agar secepatnya memiliki anak, tetapi sampai detik ini tidak ada tanda-tanda Febby mengandung buah cinta mereka.
"Kamu mau langsung tidur, Mas?" tanya Febby pada suaminya yang baru saja pulang kerja dan meminta dilayani. Selesai dilayani, Andi berbaring di ranjang sambil memejamkan mata.
"Iya, aku ngantuk. Kamu masak makan malam aja dulu. Kalau udah mateng semua, bangunin."
Febby menghela napas panjang, turun dari ranjang lalu memakai pakaian satu per satu.
Matanya melirik Andi yang terlelap, padahal baru saja kepala suaminya itu bersandar ke atas bantal.
Tidak ada ucapan terima kasih. I love you. Atau gombalan yang keluar dari mulut Andi, membuat Febby merasa tidak dicintai sama sekali.
"Mandi dulu dong Mas, masa langsung tidur."
"Hem," sahut Andi datar.
Selesai memakai pakaian, Febby melangkah mendekati pintu lalu keluar. Sedangkan Andi sudah jauh mengarungi mimpi.
Langkah kaki Febby dihentikan oleh ibu mertua di ambang pintu dapur. Wanita paruh baya itu menatap wajah menantunya yang lesu sambil mengerutkan kening.
"Kamu kenapa, Feb?"
"Ngga apa-apa Bu," jawab Febby, pelan, melanjutkan langkah kakinya mendekati kulkas.
Ratih mengikuti Febby ke dapur, membantu menantunya menyiapkan bahan makanan.
Sejak kemarin wanita paruh baya itu menginap di rumah kontrakan dua kamar tersebut.
Satu bangunan rumah yang baru dua bulan ditempati itu berada di komplek perumahan Melati. Rencananya Andi ingin mencicil rumah yang mereka tempati sekarang agar tidak bayar kontrakan lagi.
"Suami kamu mana, Feb?" tanya Ratih.
"Mas Andi tidur, Bu. Katanya capek," jawab Febby seraya mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas dua pintu.
Beberapa jenis sayur dan ikan segar dia letakan di dekat wastafel untuk dibersihkan.
"Kamu udah konsultasi lagi ke Dokter Kandungan?" tanya Ratih pada menantunya.
"Udah, Bu, katayna aku sama Mas Andi harus sering minum vitamin biar subur. Aku udah dikasih resep vitamin itu. Semoga aja ada kabar baik bulan depan."
"Amin," ucap Ratih. "Selain berkonsultasi ke dokter, kamu juga harus pergi ke dukun beranak. Atau ke mana kek. Biar kamu cepet isi."
"Udah, Bu, tapi emang dasarnya belum dikasih aja. Kalau memang belum rejekinya, ya mau gimana lagi."
"Kalau gitu, coba kamu konsultasi ke dokter lain. Misalnya ke dokter Dirga. Dia sepupunya Andi. Siapa tahu dia bisa bantu kalian. Kasih saran apa untuk membantu mempercepat kehamilan kamu."
Febby terdiam. Sebenarnya sudah beberapa kali mereka gonta-ganti dokter, tetapi tidak ada perubahan sama sekali. Beberapa dokter juga menyarankan untuk memeriksa kesuburan satu sama lain, namun Andi selalu menolak dan mengatakan kalau dia sehat.
Sementara, selama berhubungan Febby tidak pernah merasa puas. Bahkan durasinya hanya sebentar, tidak sampai tiga menit langsung keluar.
"Lebih baik kamu coba dulu saran ibu," ucap Ratih yang selalu mendesak Febby agar cepat hamil.
Andai kehamilan bisa dibeli, Febby akan membelinya agar bisa secepatnya memberi gelar ayah pada sang suami.
"Kalau kamu ragu, mending komunikasikan dulu sama Andi. Biar kalian lebih yakin. Ibu sih percaya sama dokter Dirga. Banyak kok pasien dia yang berhasil hamil."
Febby menghela napas panjang. "Nanti aku coba bicarakan sama Mas Andi. Kalau dia mau, besok aku dan Mas Andi ke tempat praktek dokter itu."
Ratih tersenyum, "Nanti alamatnya ibu kasih ke kamu. Kamu dan Andi langsung ke sana aja. Nanti ibu bikin janji biar kalian ngga antri."
"Iya, Bu, makasih."
Saat sedang berbincang, Andi datang mendekati kedua wanita di dapur. Pria yang memiliki tinggi 170cm itu duduk di depan meja makan dengan lesu.
"Bikinin aku kopi," katanya memerintah Febby.
"Tunggu sebentar, Mas. Aku lagi masak."
"Ck! Aku maunya sekarang!" Andi mengeraskan suaranya, membuat Febby terhenyak kaget.
Ratih dan Febby saling tatap, ibu mertuanya itu memutar bola mata meminta Febby menurut saja.
"Biasa aja dong, Mas, jangan marah begitu," sahut Febby kesal.
"Kamu ini. Suami minta kopi malah nanti-nanti. Utamakan melayani suami dulu, baru yang lain! Gimana, sih!" cecar Andi memarahi Febby.
Ratih hanya diam, tak membela menantunya ataupun menasehati Andi. Baginya pemandangan seperti itu sudah biasa terjadi. Dia pun mengalami di rumah.
"Sabar, Mas." Terpaksa Febby menunda masakannya dan membuat kopi untuk Andi yang sudah tidak sabar.
Dengan perasaan kesal, Febby meletakkan kopi hitam pesanan suaminya ke atas meja. "Mau apa lagi, Mas? Sekalian aja, aku mau masak."
Andi melotot, menatap istrinya seperti ingin menelan hidup-hidup. "Kamu ngga iklhas?"
"Bukan ngga ikhlas, Mas, aku kan cuma nanya sama kamu. Kamu mau apa lagi? Biar aku ambilin sekalian."
"Ngga ada, aku cuma mau kopi."
"Ya udah," sahut Febby pelan. Ia kembali melanjutkan memasak makan malam, meski perasaannya kesal.
Sikap dingin Andi sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Tanpa alasan yang jelas, Andi tiba-tiba jadi kasar dan bahasanya tidak pernah lembut seperti dulu.
Febby curiga suaminya memiliki wanita idaman lain di luar sana, namun ia tidak pernah mendapatkan bukti apa pun perselingkuhan itu.
Suasana hening. Di ruang dapur yang tidak luas itu hanya terdengar suara dentingan sendok dan panci.
"Mumpung ada Andi di sini. Ibu ngomong aja langsung sama kalian berdua." Ratih membuka pembicaraan di ruang sunyi itu.
Andi mendongak, "Ngomong apa, Bu?" tanyanya datar.
"Ibu mau ngasih saran, gimana kalau kamu dan Febby konsultasi aja ke dokter Dirga. Sepupu kamu itu. Dia kan dokter kandungan terkenal. Kebetulan dia buka praktek di Jakarta. Kalian bisa ke sana. Kalau kamu mau, nanti ibu bikin janji sama dia. Biar kalian ngga antri panjang. Maklum, pasien dia kan banyak."
Andi manggut-manggut. "Oke, aku setuju. Aku dan Febby akan ke sana."
Ratih tersenyum. Ia tatap menantunya yang tengah sibuk mengaduk sayur di dalam panci.
"Kamu dengar, ‘kan? Suami kamu setuju. Kamu juga setuju, ‘kan?" tanya Ratih pada menantunya itu.
"Iya Bu, aku setuju," jawab Febby.
Bab 2
Paginya, Febby dan Andi sedang bersiap-siap mengunjungi praktek dokter yang direkomendasikan oleh Ratih.
Wanita paruh baya itu pulang ke rumahnya di daerah Bogor pagi-pagi sekali. Sebelum pulang, Ratih sudah memberitahu Dirga kalau Andi dan Febby ingin ke sana.
"Kalau dokter nyaranin kita periksa kesehatan alat reproduksi lagi, gimana Mas? Apa kali ini kamu mau?" tanya Febby pada suaminya yang tengah memakai sepatu.
Andi melirik sinis. "Kamu kan udah beberapa kali periksa dan kamu sehat, ‘kan? Ya udah, berarti ngga usah periksa lagi. Jelas-jelas aku dan kamu sehat. Cuma belum aja kita dikasih anak."
Febby mengangguk pelan, "Iya, Mas." Tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya setelah mendengar jawaban ketus dari sang suami.
Keduanya berjalan keluar rumah yang langsung tertuju pada garasi. Mereka naik ke mobil milik perusahaan tempat Andi bekerja. Mobil dinas yang berhasil Andi dapatkan setelah lima tahun bekerja di sana.
"Sampai sana, ngga usah ngomong macem-macem sama dokter. Kamu tinggal konsultasi aja, udah," ujar Andi mengingatkan. Ia memasang sabuk pengaman di pinggang lalu melajukan mobil keluar dari garasi tanpa pagar rumahnya.
Febby hanya diam, memandang keluar jendela mobil sambil menghela napas panjang.
Malas berdebat dengan suaminya yang hanya mau menang sendiri. Suaminya pun tidak pernah mendengar keluh kesah Febby selama dua tahun mereka menikah.
Mereka menikah bukan karena paksaan, tapi karena saling cinta. Namun, seiring berjalannya waktu sikap Andi pada Febby makin berubah dingin dan menyebalkan.
Di tengah perjalanan, mobil yang mereka tumpangi terkena macet parah. Kendaraan di depan tidak bergerak sama sekali, membuat Andi kesal.
"Macet, Mas, ngga ada jalan lain?" tanya Febby pada suaminya yang emosi.
"Kamu mau jalan kaki? Udah tahu mobil kita ada di tengah-tengah. Mana bisa aku cari jalan lain," jawab Andi ketus.
Febby menghela napas panjang, berat. Malas bicara lagi, yang hanya membuat Andi kesal. Dia memilih diam.
Satu tangannya membuka kaca spion agar udara masuk, karena AC mobil itu mati. Andi tidak pernah berinisiatif memperbaiki AC mobil itu dengan alasan semuanya urusan kantor.
"Ck!" Andi berdecak kesal, memandangi jalanan macet yang tak berkesudahan. "Jam berapa ini. Kalau tahu begini, lebih baik aku kerja. Kenapa Ibu ngga buat janji temu hari libur saja."
Febby melirik suaminya, malas menyahut. Yang ada suaminya makin marah. Apa pun yang dia lakukan selalu salah di mata Andi.
"Coba kamu pesan ojek. Kamu naik ojek aja. Kamu pergi duluan. Biar aku nyusul kalau jalanan udah ngga macet," ucap Andi mencari jalan tengah.
Febby menganggukkan kepala. Ia keluarkan ponsel lalu menghubungi ojek online. Matanya mengamati jalanan saat ini yang tak jauh dari lampu merah.
Setelah mengirim alamat, Febby menunggu ojek datang.
"Udah?" tanya Andi ketus.
"Udah, Mas. Nanti juga datang."
"Ya udah, tunggu aja."
"Tapi nanti kamu nyusul ‘kan, Mas?"
"Iya."
Tak berapa lama ojek yang dipesan datang. Febby melepas sabuk pengaman di pinggangnya lalu berpamitan pada Andi.
"Aku ke sana duluan ya, Mas," ucapnya mencium punggung tangan sang suami.
"Hem, tunggu aku di sana."
"Iya," angguk Febby, menarik sudut bibirnya, memaksa diri untuk tersenyum. Meski dalam hati masih merasa sakit hati pada sikap Andi tadi.
"Ingat ya, jangan ngomong macem-macem. Kamu hanya perlu berkonsultasi tentang kehamilan aja."
"Iya, Mas," angguk Febby lalu turun dari mobil.
Tukang ojek yang berhenti di samping mobil hitam itu memberikan helem pada Febby.
Motor melaju dengan mudah melewati jalanan sempit di tengah-tengah mobil yang terkena macet.
Tukang ojek itu tampak sangat mahir menggunakan kuda besi itu. Motor meliuk-liuk dengan lincah hingga akhirnya mereka keluar dari jalanan macet.
Tempat praktek yang dituju Febby berapa cukup jauh dari jalanan tadi. Bangunan yang dulunya kosong, dibeli oleh Dirga yang tak lain sepupu suaminya.
"Mau periksa kandungan ke dokter Dirga ya Bu?" tanya tukang ojek berbasa-basi.
"Iya Bang, katanya dokter itu bagus. Saya direkomendasiin sama mertua."
"Iya sih, saya denger dari tetangga. Dokter itu bagus. Obatnya manjur. Tetangga saya udah lima belas tahun ngga punya anak, akhirnya bisa hamil setelah tiga bulan menjalani pengobatan di dokter Dirga. Bagus sih. Obatnya manjur."
Febby tersenyum, secercah harapan mulai terlihat. Akhirnya dia bisa memberikan cucu yang diidamkan oleh orang tuanya dan orang tua Andi.
Febby anak satu-satunya dan harapan satu-satunya untuk memberikan keturunan, penerus di keluarga. Meskipun keluarga dia bukan keluarga kaya raya, tetapi orang tuanya akan mewariskan beberapa hektar tanah di kampung dan sawah, juga kontrakan.
Sedangkan Andi, orang tuanya masih memiliki satu anak perempuan, namun belum menikah.
Orang tua Andi juga sangat mengharapkan cucu dari anak laki-laki satu-satunya itu. Apalagi calon cucu mereka akan menjadi pewaris tanah dan kontrakan dari keluarga Febby.
"Di sini aja, Bang, ini ‘kan tempatnya?" Febby menunjuk ruko yang dijadikan tempat praktek Dokter Dirga.
"Iya Bu, ini tempatnya. Kayaknya rame deh."
"Ngga apa-apa. Mertua saya udah bikin janji." Febby turun dari motor, memberikan helem pada tukang ojek dan berjalan ke tempat praktek Dokter Dirga.
Dilihat dari luar, suasana tempat praktek itu terlihat ramai. Banyak pasangan muda maupun berumur sedang duduk di kursi tunggu.
Febby melangkah perlahan, masuk ke dalam tempat praktek lalu bertanya pada resepsionis di depan ruang praktek.
"Saya Febby, istri Pak Andi. Ibu mertua saya udah bikin janji sama dokter Dirga. Apa saya boleh masuk ke ruangan sekarang?" tanya Febby sambil memberikan bukti kalau dia sudah membuat janji temu dengan Dokter.
"Oh, Bu Febby ya? Anda sudah ditunggu di ruangan dokter Dirga. Masuk aja sekarang."
Febby tersenyum, "Makasih." Ia melangkah mendekati ruangan lalu membuka pintu. Kepalanya masuk lebih dulu, melihat kiri dan kanan.
"Silakan masuk," ucap seorang laki-laki berpakaian dokter yang memunggunginya.
Bab 3
"Silakan duduk." Dokter yang tadi menghadap ke belakang, memutar tubuhnya dan menunjuk kursi di depan meja.
Febby mengangguk, ia berjalan pelan sambil menundukkan kepala. Rasanya agak sedikit canggung karena biasanya dia berkonsultasi dengan dokter wanita, bukan dokter laki-laki.
"Silakan jelaskan keluhan Anda, Bu Febby," ujar dokter tampan itu sambil menatap pasiennya dan duduk.
Febby memberanikan diri menatap dokter tersebut, toh dia hanya berkonsultasi. Kalau sudah hamil, kemungkinan dia melahirkan di bidan wanita saja, pikirnya.
"Saya ingin berkonsultasi tentang kehamilan, Dok," jawab Febby yang akhirnya menatap wajah laki-laki di depannya. Kedua mata Febby membulat saat melihat wajah yang tak asing.
Dokter itu tersenyum ramah, "Anda belum hamil, Bu Febby."
"Mas Dirga." Febby masih tak menyangka dunia sesempit ini. Ternyata Dokter bernama Dirga, adalah kakak kelasnya waktu sekolah SMA dulu. Sayangnya Febby tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Senyum Dirga semakin lebar, "Ya, aku Dirga, kakak kelasmu dulu. Ternyata kamu menikah dengan Andi, sepupuku. Kenapa dunia sangat sempit."
Rona merah terlihat jelas di kedua pipi Febby. Dulu dia menyukai Dirga yang memang sejak SMA sangat tampan. Dan sepertinya Dirga menyukainya juga. Namun, saat lulus sekolah Dirga melanjutkan pendidikan keluar negeri.
Orang tua Dirga cukup berada, tidak seperti orang tua Andi. Meskipun orang tuanya mampu membiayai kuliah, Febby justru memilih untuk bekerja dan menikah dengan Andi.
"Iya, aku nikah sama Mas Andi. Aku ngga tahu kalau dia sepupu kamu," angguk Febby menundukkan kepalanya lagi.
"Dunia memang sempit. Siapa sangka kita bertemu sebagai pasien dan dokternya, sekarang. Padahal dulu, untuk bicara denganmu saja ... aku tidak memiliki nyali."
Febby mengulum senyum. Dia ingat saat itu, waktu Dirga ingin memberinya coklat di hari valentine, tapi meminta temannya yang memberikan.
"Iya, kirain kita ngga akan ketemu lagi. Soalnya kamu kan melanjutkan sekolah di luar negeri."
"Kita dipertemukan oleh takdir," gumam Dirga sambil membuka buku di atas meja.
Diam-diam Febby memperhatikan laki-laki tampan di depannya tanpa berkedip. Harus dia akui, walau sudah lama tidak bertemu, tetapi Dirga masih tetap terlihat tampan.
Tidak banyak yang berubah dari laki-laki tampan yang cukup populer di sekolah dulu. Wajahnya, senyumnya dan tatapan matanya masih sama seperti dulu.
Kemungkinan yang berubah adalah perasaannya pada Febby. Tidak mungkin Dirga masih menyimpan perasaan setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu.
"Sudah berapa lama kamu menikah dengan Andi?" tanya Dirga mulai serius. Pertanyaannya itu sudah ke arah pasien dan dokternya.
"Udah dua tahun. Kurang lebih," jawab Febby. "Hem, aku manggil Mas apa? Pak Dokter aja ya."
Dirga tersenyum manis, "Mas juga ngga apa-apa. Kita kan keluarga. Kamu menikah dengan sepupuku, artinya kita sudah menjadi sepupu juga sekarang."
Febby manggut-manggut. "Iya, Mas. Aku dan Mas Andi sudah menikah dua tahun, tapi aku dan Mas Andi belum mendapatkan anak."
"Bagaimana permainan Andi di atas ranjang?" tanya Dirga menatap Febby lekat.
Yang ditatap langsung salah tingkah dan grogi. Pertanyaan seperti itu belum pernah dia dengar keluar dari mulut dokter, selama dia berkonsultasi tentang kehamilan.
"Katakan saja yang sebenarnya," sambung Dirga. "Aku harus tahu agar aku bisa menjelaskan apa saja yang menjadi penyebab kamu belum hamil sampai sekarang."
Febby menengguk air liurnya. "Permainan Mas Andi di atas kasur, biasa saja sih, Mas. Mungkin sama seperti saat pasangan suami-istri berhubungan. Dari awal saya dan Mas Andi menikah, ngga ada yang berbeda. Mas Andi melakukan itu seperti selayaknya suami memberi nafkah batin pada istrinya."
Dirga menulis sesuatu ke atas buku panjang miliknya sambil meremas pulpen. Wajahnya yang tadi ramah berubah kesal. Diam-diam Febby terus memperhatikan Dokter tampan itu meski hanya dari lirikan matanya.
"Permainannya biasa saja, ya? Apa kamu selalu mencapai klimaks saat berhubungan dengan suamimu?" tanya Dirga kembali menatap ke arah Febby lekat.
Kedua alis wanita cantik itu naik. Lagi-lagi ia belum terbiasa dengan pertanyaan seperti itu, apalagi yang bertanya laki-laki yang dulu menjadi idolanya.
"Kamu tidak pernah merasa puas, iya, ‘kan?" tebak Dirga dengan tatapan dalam. Sorot matanya menjelaskan ada sesuatu yang berbeda dari pertanyaan itu.
Febby mulai terlihat tidak nyaman, pertanyaan itu membuatnya semakin canggung berada di depan Dirga, apalagi di dalam ruangan yang hanya ada mereka berdua.
"Maaf Mas, apa pertanyaan seperti itu bisa jadi penentu kenapa aku belum hamil sampai sekarang?" ucap Febby sambil meremas ujung pakaian, mengalihkan perasaan gugupnya.
"Ya, tentu saja. Pertanyaan seperti ini bisa jadi jawaban kenapa kamu belum hamil sampai sekarang. Selain pemeriksaan organ reproduksi kedua pasangan suami-istri. Aku juga harus tahu apa penyebab lain dari keluhan pasien. Kalau memang kamu tidak pernah mencapai klimaks selama berhubungan, berarti penyebabnya ada di situ."
Febby menggaruk alisnya yang tidak gatal. Pertanyaan dan penjelasan dari dokter di depannya sangat berbeda dengan penjelasan dari dokter kandungan lain.
Dirga seperti sedang mengorek apakah dia bahagia menikah dengan Andi. Ya, Febby berpikir Dirga ingin tahu soal itu.
"Katakan saja, aku dokter yang akan membantumu. Kamu bisa terbuka soal apa pun denganku," ujar Dirga. Satu tangannya menyentuh jemari lentik Febby yang berada di atas meja.
"Maaf, Mas, tapi pertanyaan begitu sangat pribadi. Aku malu mengatakannya." Dengan cepat Febby menarik tangannya.
Walau dalam hati masih ada rasa pada Dirga, tetapi dia tidak ingin mengkhianati suaminya.
"Baik, mungkin kamu masih kaget dengan pertanyaan dariku." Dirga menutup buku panjangnya lalu berdiri. "Silakan berbaring." Ia menunjuk ranjang dokter di depannya.
Febby melangkah ragu, namun dia tahu pemeriksaan berikutnya memang seperti itu. Sudah biasa dia melakukannya saat datang ke rumah sakit Ibu dan Anak.
"Silakan berbaring," ulang Dirga seraya merapikan bantal agar lebih tinggi.
Febby naik ke atas ranjang lalu berbaring. Ia luruskan kedua kakinya dan menurunkan pakaian agar menutupi perut.
Satu kakinya berusaha merapikan rok panjang yang naik ke atas.
Dirga memasang sarung tangan putih lalu melangkah memutari ranjang dan berhenti di depan kedua kaki Febby.
"Buka celana dalam kamu," kata Dirga yang membuat Febby melotot.
"Kok buka celana dalam, Dok?"
Dirga tersenyum. "Aku atau kamu yang Dokter? Kamu percayakan saja sama aku."
Febby menelan saliva keras. "Tapi, aku malu."
"Kenapa malu? Buka saja." Dirga berjalan mendekati pintu dan menguncinya.
Febby melihat itu, dia semakin gugup dan tak tahu apa yang akan dilakukan oleh dokter tampan itu.
"Buka sekarang," desak Dirga kembali mendekati ranjang. "Atau mau aku yang buka?”
Dengan malu-malu Febby berkata, “Biar ... biar aku sendiri saja.”
Lalu, sambil menahan rasa malu, dia melepas celananya perlahan.
Meski dia sudah banyak kali intim dengan suaminya, di sananya tetap berwarna pink muda seperti perawan, dan tubuhnya masih sangat sensitif juga.
Dia bisa mendengar dengan jelas suara Dirga menelan ludah.
Hatinya langsung berdebar. Apa mungkin Dirga punya pikiran aneh tentang dirinya?
Namun, di detik berikutnya, Dirga tiba-tiba mengangkat salah satu kakinya tinggi-tinggi. Lalu, dia menunduk untuk mengamati area itu dengan saksama.
Rambut Dirga yang tebal menyentuh ujung kulitnya, dan dia langsung merasa sangat terangsang.
Tiba-tiba, semuanya berantakan dalam sekejap...