"Kamu tahu gak? Kalau bintang yang barusan kita lihat tadi akan muncul sepuluh tahun lagi?"
"Oh iya? Maksudmu bintang Opiuchi?"
Melati menggangguk, ia tersenyum dan merasa bangga dengan dirinya sendiri, seakan-akan aku tidak tahu akan hal itu.
Aku suka dengan gadis ini, aku berpura-pura tidak tahu agar aku bisa melihat senyumannya yang hangat itu.
”Hmm... gimana kalau kita janjian?” ujar Melati.
”Janjian?”
”Iya, kita janjian akan melihat bintang itu lagi di sini.”
Tanpa pikir panjang, aku mengangguk sambil tersenyum kecil.
"Jadi ya... tolong jaga teleskop ini baik-baik sampai kita bisa melihat bintang itu lagi ya." suruhnya.
Aku mengangguk.
Ia tersenyum.
Pengamatan bintang kami di malam itu sangatlah menyenangkan, selain bisa melihat bintang yang hanya muncul 10 tahun sekali, kami juga mengobrol banyak hal sambil berdiri di atas bus usang yang dikelilingi pohon, bus yang kami jadikan markas rahasia.
Aku dan Melati sudah dekat sejak dua tahun yang lalu, kami berkenalan di perpustakaan sekolah, dan kebetulan kami sangat tertarik dengan astronomi. Kami mengobrol berbagai macam hal tentang bintang-bintang di dalam semesta, sampai lupa waktu.
Sesekali kami pulang sekolah bareng, berjalan menuju markas rahasia ini, lalu membaca buku astronomi bersama. Permainan favorit kami adalah tebak gambar seperti di acara quiz televisi, di mana kami akan menggambar bentuk rasi bintang, lalu menaruh gambar itu di kepala, kemudian menebak nama dari rasi bintang itu.
Setelah berbagai macam pertemuan itu, tidak heran jika aku mulai memiliki perasaan kepadanya. Namun, diriku yang dulu memilih untuk diam, karena jika aku ditolak, maka pertemanan kami bisa usai. Dan aku tidak mau hal itu sampai terjadi, setidaknya biarkan aku menikmati ini lebih lama.
Diriku yang masih 10 tahun masih belum paham dengan sebetapa beratnya dunia ini, yang aku tahu hanyalah mengangguk, tersenyum dan menikmati senyumannya.
Namun beberapa bulan, setelah malam itu. Kami perlahan-lahan mulai jarang bertemu.
Biasanya aku tidak terlalu mempedulikannya, namun ketika aku beranjak kelas 5 SD, untuk pertama kalinya aku merasa malu ketika teman-teman sekelas kami menggoda kami yang selalu dekat satu sama lain.
"Ciee, pacaran ni cie..."
Kata-kata itu tidak menyenangkan. Aku tahu mereka hanya bermain-main, namun aku tidak suka dengan itu. Dan Melati nampaknya merasa demikian.
Sejak saat itulah, hubungan kami mulai retak.
Perasaanku ke dia juga perlahan memudar.
Di waktu itu, aku mulai menyadari betapa rapuhnya hubungan manusia.
Ketika kami menginjak masa SMA, aku dan dia sekali lagi berada di kelas yang sama, namun kami sudah tidak sedekat itu lagi. Sesekali kami mengobrol kecil, tapi kebanyakan hanya mengobrol tentang tugas sekolah.
Ada beberapa saat kami diminta oleh guru untuk duduk di satu kursi yang sama, namun saat-saat itu malah menjadi saat yang paling hening bagi kami berdua. Kami tidak bertukar kata-kata sama sekali. Karena tidak tahan dengan perasaan canggung ini, kami berdua setuju untuk tidak satu kursi lagi.
Di hari ke lulusan SMA, aku berfoto dengan orang tuaku dan juga teman-temanku. Aku berpikir untuk mengajaknya berfoto, namun aku mengundurkan niatku itu ketika aku melihatnya sedang berpegangan tangan dengan seorang pria yang kebetulan adalah teman sekelasku.
Aku baru tahu bahwa ia memiliki hubungan seperti itu. Aku hanya melihat mereka dari kejauhan.
Jika diriku 8 tahun yang lalu melihat pemandangan itu, mungkin aku sudah menangis di toilet sekolah.
Aku tidak merasa iri atau sedih. Hanya saja, entah kenapa ada perasaan tidak nyaman di dadaku.
Setelah memasuki masa kuliah, aku berusaha bekerja sekeras mungkin untuk bisa mengumpulkan uang agar bisa membayar UKT-ku.
Namun suatu hari, ekonomi di negara ini semakin ambruk. Tidak heran jika gajiku tidak mampu untuk membayar UKT karena terpakai ke makanan dan bayar sewa bulanan kos yang semakin mahal.
Dengan merasa terpaksa, aku memutuskan untuk menjual teleskop itu. Aku jual dengan harga yang lumayan, bisa membuatku bertahan setidaknya untuk beberapa bulan ke depan.
Di masa itu juga, aku sempat bertemu dengan Melati, kami berkuliah di tempat yang sama, namun berada di jurusan yang berbeda. Setiap kali aku menemuinya, kami saling menyapa, lalu setelahnya kami sibuk dengan urusan masing-masing.
Di setiap pertemuan singkat itu, perasaan tidak nyaman itu selalu muncul, dan perlahan aku menyadari perasaan apa itu.
Malam itu di kosanku, aku tidak sengaja melihat berita yang muncul di notifikasi handphoneku. Dan nampaknya, malam ini bintang Ophiuchi itu akan muncul lagi setelah 10 tahun lamanya.
10 tahun... tidak terasa. Waktu berjalan sangat cepat.
Ketika melamunkan tentang itu, entah bagaimana, badanku bergerak dengan sendirinya, bersiap-siap lalu keluar dari kosan, berjalan ke tempat bus usang
Ketika aku sampai di situ, bus usang dan pepohonan di sekitarnya sudah tidak ada, tempat itu sekarang sudah menjadi sebuah taman kota.
Namun di situ, aku melihat seseorang yang sedang duduk di kursi panjang taman.
Seseorang itu adalah Melati. Dia sedang duduk sendiri, dan ketika ia melihatku, ia menepuk-nepuk kursi taman itu, mengajakku duduk di sampingnya.
Perasaan tidak nyaman itu muncul lagi.
Aku tersenyum lalu berjalan menuju kursi itu.
Setelah duduk, aku mencoba memulai pembicaraan...
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik, hanya saja... untuk malam ini tidak."
"Kenapa?"
Melati menunjuk ke langit, "Kamu gak bawa teleskopnya."
Astaga, dia masih mengingatnya.
Aku hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku, sambil tersenyum malu.
"Sebenarnya, teleskopnya sudah aku jual."
Melati menghela nafas kecil, "Yah... kalau begitu mau bagaimana lagi." ucapnya dengan nada kecewa.
Jika ini Melati 10 tahun yang lalu, mungkin dia sudah ngambek gak karuan sekarang.
Ketika kami melihat ke langit, kami berdua baru menyadari bahwa langit sedang tertutup awan yang tebal. Sepertinya, malam ini akan hujan.
Kami lalu mengobrol mengenai hal-hal yang selama ini tidak kami bicarakan ketika kami mulai berpisah.
Mulai dari kehidupan pada saat masih sekelas sampai kuliah, kehidupan masing-masing, dan kehidupan percintaan. Sayangnya, yang terakhir aku kurang berpengalaman.
Sudah lama sekali kami tidak mengobrol seperti ini, kangen juga.
Setelah bincang sana-sini, kesunyian muncul di antara kami. Kami tidak mengobrol, hanya melihat ke langit yang sama. Sayangnya, kami tidak bisa melihat bintang itu lagi dengan awan setebal ini.
Walaupun bintang itu sebenarnya tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, namun jika saja awannya tidak setebal ini, bintang-bintang bisa menghiasi pertemuan kami.
Ketika aku sedang melamun, menatap langit. Tanpa aku sadari, mulutku bergerak sendiri...
"Aku dulu menyukaimu."
Aku baru menyadarinya setelah kalimat itu selesai keluar dari mulutku.
Aku terkejut, lalu melihat ke arah Melati yang masih melihat langit, ia membalas...
"Sama, dulu aku juga menyukaimu."
Ia kemudian tersenyum, melihat ke arahku.
Aku membalas senyumannya.
Tak lama, hujan mulai turun dan kami berpamitan.
Dalam perjalanan pulang, aku mulai menyadari bahwa perasaan tidak nyaman itu sudah hilang.
'Maafkan aku yang sudah menahan perasaan ini, wahai diriku.'
Setelah malam itu, kehidupan kami masih sama. Kami masih jarang bertemu, dan jika bertemu kami hanya saling menyapa.
Setelah lulus, aku mendapatkan kabar bahwa Melati sekarang pindah ke Ibukota bersama pacarnya, mereka akan mengadakan pernikahan di sana.
Sementara aku, masih di sini. Melakukan apapun demi bisa untuk terus hidup.