Rumah itu dulu selalu ramai oleh tawa. Di pagi hari, aroma kopi buatan Ibu menyambut pagi yang cerah, disusul suara Ayah yang menggoda kedua anak perempuannya agar cepat bersiap ke sekolah. “Ayo, nanti Papa telat kerja!” katanya sambil terkekeh.
Ayah, lelaki yang selalu menjadi panutan. Ia disiplin, penuh kasih, dan selalu tahu cara membuat semua orang merasa aman. Setiap kali pulang, ia membawa oleh-oleh kecil — kadang roti cokelat, kadang es krim — sekadar membuat dua putrinya tersenyum.
Namun, segala sesuatu yang indah bisa runtuh dengan cepat, dan terkadang kita tidak menyadari kapan semua itu mulai berubah.
---
SAAT DUNIA MULAI RETAK
Hari itu, hujan turun pelan. Di ruang tamu, Ayah duduk menatap kosong amplop putih bertuliskan nama perusahaannya.
“Ayah… itu surat apa?” tanya Naya, si bungsu yang berusia sembilan tahun.
Ayah tidak menjawab. Ia hanya meremas surat itu kuat-kuat. Di dalamnya tertulis: Pemutusan Hubungan Kerja.
Sejak hari itu, Ayah berubah.
Awalnya, perubahan itu halus. Ia jarang tersenyum, lebih sering diam, dan mulai mudah tersinggung. Ibu mencoba sabar, mencoba menenangkan, tapi tekanan ekonomi semakin menyesakkan. Tabungan menipis, sementara dua anak harus terus sekolah, listrik dan air terus berjalan, dan dapur harus tetap mengepul.
Malam-malam berikutnya, Ayah sering keluar rumah dengan alasan mencari pekerjaan baru. Tapi semakin lama, baunya berubah. Ia pulang dengan aroma alkohol menyengat, dan kadang mengamuk tanpa alasan.
Suatu malam, suara bentakan memecah keheningan.
“Dasar perempuan gak tahu diri! Uang segitu aja udah habis!” Ayah menampar Ibu hingga tubuhnya jatuh ke lantai.
Naya dan Kakaknya, Rara, berlari dari kamar, menjerit melihat ibunya terkulai sambil menangis.
Sejak malam itu, sosok Ayah yang mereka kenal seolah mati. Yang tersisa hanyalah bayangan hitam yang berkeliaran di rumah mereka — seseorang yang menyeramkan, dingin, dan penuh amarah.
---
LUKA YANG TAK TERUCAP
Hari-hari berjalan dalam ketakutan. Ibu bekerja apa saja — mencuci di rumah tetangga, menjahit pakaian bekas, bahkan jualan gorengan — sementara Ayah semakin sering mabuk dan menghilang berhari-hari.
Kadang, ia pulang dengan mata merah dan tangan gemetar, melempar botol ke dinding sambil mengumpat.
“Papa kenapa sekarang jahat?” tanya Naya suatu malam pada kakaknya.
Rara hanya menatap ke arah pintu kamar yang terkunci rapat, tempat mereka bersembunyi setiap Ayah pulang. “Papa bukan Papa lagi, Nay…” jawabnya lirih.
Ibu masih berusaha menjaga rumah itu agar tidak hancur sepenuhnya. Ia tidak mau meninggalkan Ayah, entah karena cinta, atau karena takut. Tapi perlahan, semua menjadi kabur.
Hingga suatu sore, semua berubah.
---
RAHASIA DI BALIK TIRAI
Hari itu, Ibu meminta Naya mengantar makanan ke rumah Tante Mira — sahabat Ibu yang sering membantu mereka. Rumah Tante Mira tidak jauh, hanya dua gang dari rumah.
Saat Naya mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Tapi pintunya tidak terkunci. Dari dalam terdengar suara samar-samar — tawa, dan... sesuatu yang lain.
Dengan langkah pelan, Naya membuka tirai ruang tamu.
Dan di sanalah ia melihatnya — Ayahnya.
Tanpa baju, bersama Tante Mira.
Waktu berhenti. Napas Naya tercekat. Tangannya bergetar saat piring yang ia bawa terlepas dan jatuh ke lantai.
Keduanya tersentak. Tante Mira berteriak panik. Ayah menoleh, wajahnya memucat, lalu berubah menjadi marah yang mengerikan.
“NA—YA!”
Anak itu berlari sekuat tenaga keluar rumah, menangis sejadi-jadinya. Namun Ayah menyusulnya, menarik lengannya keras di tengah jalan sepi itu.
Kepalanya dipukul. “Kamu lihat apa tadi?! Jangan pernah cerita ke siapa pun! Kalau kamu berani buka mulut, Papa bunuh kamu, dengar?!”
Naya terisak, tak sanggup bicara. Ayahnya menatap dengan mata yang begitu asing, begitu gelap.
Malam itu, anak sembilan tahun itu belajar apa artinya takut.
---
BERTAHUN-TAHUN DALAM DIAM
Sejak kejadian itu, Naya berubah menjadi anak pendiam. Ia tak lagi ceria seperti dulu, selalu menatap kosong ke arah jendela, seolah di sana ada sesuatu yang hilang.
Ia tidak pernah menceritakan apa yang dilihatnya, tidak juga kepada ibunya. Ancaman ayahnya terus menghantui pikirannya setiap malam.
Ayah semakin terjerumus. Uangnya habis di meja judi, dan ketika kalah, ia membawa pulang amarah. Ibu tak lagi membalas; ia hanya diam, membiarkan tangan kasar itu melukai wajahnya berkali-kali.
Rara, yang kini beranjak remaja, mulai membenci rumah itu. “Bu, kenapa Ibu gak pergi aja? Kenapa harus bertahan sama orang kayak dia?”
Ibu hanya menatap lantai, air matanya menetes. “Karena meskipun sejahat apa pun dia… dia masih ayah kalian.”
Tapi kata “ayah” itu sudah kehilangan maknanya.
---
RUNTUHNYA SEGALANYA
Suatu malam di bulan Desember, hujan deras mengguyur. Ayah pulang dalam keadaan mabuk berat, matanya merah, dan tangannya memegang amplop lusuh.
“Uang ini mana?! Siapa yang ambil?!” teriaknya.
Tidak ada yang menjawab.
Ia menuduh Ibu mencuri uangnya — padahal uang itu hasil kerja Ibu sendiri dari menjahit. Emosinya meledak. Ia mendorong Ibu hingga terjatuh ke meja kaca, pecahan beling menembus kulit tangannya.
Rara menjerit, mencoba melindungi Ibunya. “Papa berhenti!”
Tapi yang ada hanya teriakan dan suara tamparan.
Di tengah kekacauan itu, Naya yang berdiri di tangga menatap sosok ayahnya dengan mata yang penuh air mata. Dalam hati kecilnya, ia berharap Tuhan mengambil semuanya saja.
Dan malam itu, doa seorang anak terkabul — tapi dengan cara yang paling mengerikan.
---
BALASAN YANG DATANG
Beberapa minggu setelah pertengkaran besar itu, Ayah semakin sering keluar malam. Katanya untuk “urusan penting”, padahal Ibu tahu itu untuk berjudi. Tapi kali ini, nasib tidak berpihak padanya.
Suatu malam, kabar itu datang.
Seorang pria berpakaian lusuh datang ke rumah membawa kabar:
“Maaf, Bu… suami Ibu... ditemukan di pinggir jalan... di dekat sungai.”
Ibu tertegun. “Apa maksudnya...?”
“Dia... dia dipukuli orang, Bu. Parah. Kami kira dia udah meninggal waktu ditemukan.”
Tubuh Ibu lemas seketika. Rara berlari memeluknya, sementara Naya hanya berdiri diam, matanya kosong.
---
MALAM TERAKHIR SANG AYAH
Ayah dirawat di rumah sakit dalam keadaan kritis. Tubuhnya penuh luka lebam, tulang rusuk patah, dan wajahnya hampir tidak bisa dikenali lagi.
Dokter berkata ia disiksa dengan kejam, mungkin karena hutang judi.
Ibu tetap datang menjenguk, meskipun hatinya sudah hancur berkali-kali oleh pria itu. Ia menggenggam tangan suaminya yang dingin.
“Aku gak pernah benci kamu,” bisiknya. “Aku cuma sedih... karena kamu bukan lagi orang yang dulu aku kenal.”
Air mata jatuh di tangan kasar yang dulu pernah menamparnya.
Dalam setengah sadar, Ayah menatap langit-langit, matanya berkaca-kaca. Ia berbisik pelan, “Aku cuma... mau diingat... sebagai ayah yang baik...”
Tapi tidak ada waktu lagi.
Pagi harinya, jantungnya berhenti.
---
SETELAH SEGALANYA USAI
Pemakaman berlangsung sederhana. Hujan turun, seperti hari ketika semuanya dimulai. Tidak banyak yang datang — hanya keluarga kecil itu, dan beberapa tetangga yang masih peduli.
Rara menatap batu nisan itu tanpa air mata. “Dia ayahku,” katanya pelan, “tapi aku gak tahu apakah aku masih bisa menyebutnya begitu.”
Ibu berdiri di sampingnya, menggenggam tangan kedua putrinya. “Kita semua tersakiti, tapi jangan biarkan kebencian itu hidup lebih lama dari dia.”
Naya masih diam, menatap tanah yang menimbun tubuh lelaki yang pernah ia cintai, sekaligus ia takuti.
Malamnya, ketika semua tidur, Naya membuka buku hariannya. Di halaman terakhir ia menulis:
Papa, aku dulu takut banget sama Papa. Tapi aku juga rindu Papa yang dulu. Aku gak tahu kenapa Papa berubah, tapi aku harap sekarang Papa gak sakit lagi. Aku udah maafin Papa, meskipun aku gak pernah bisa lupa.
Ia menutup buku itu, menatap foto lama keluarga mereka — foto di mana Ayah tersenyum lebar sambil menggendongnya kecil-kecil di taman.
Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Naya menangis bukan karena takut, tapi karena kehilangan.
---
BAYANGAN YANG MENYISAKAN LUKA
Beberapa bulan kemudian, rumah mereka dijual. Ibu memutuskan pindah ke kota kecil, memulai hidup baru.
Rara melanjutkan sekolahnya, sementara Naya perlahan belajar berdamai dengan masa lalunya. Tapi kadang, saat hujan turun, ia masih mendengar suara bentakan dari masa lalu — samar, tapi nyata.
Ia tahu luka itu tidak akan hilang sepenuhnya. Tapi ia juga tahu, manusia bisa tumbuh dari luka, bukan terjebak di dalamnya.
Dan setiap kali ia melihat langit mendung, Naya berbisik pelan:
“Selamat tinggal, Ayah. Aku harap di sana Papa sudah menemukan cahaya yang dulu hilang.”
---