Pagi itu, halaman sekolah sudah ramai. Suara motor dan tawa siswa-siswi bercampur dengan teriakan penjaga gerbang yang menyuruh mereka cepat masuk sebelum bel berbunyi. Di antara keramaian itu, Luna berjalan cepat, memeluk buku-buku di dadanya sambil menunduk. Ia tak ingin terlalu menarik perhatian.
Namun seperti biasa, suara yang paling ia kenal muncul dari belakang.
“Eh, itu dia my istri! Udah datang juga akhirnya!”
Luna spontan menegakkan tubuh. Suara itu ceria, lantang, dan tanpa malu—hanya bisa berasal dari satu orang: Carlos.
Beberapa teman yang mendengar langsung menatap ke arah mereka. Ada yang tertawa, ada yang bersorak, dan sebagian lagi mulai berbisik-bisik sambil menahan senyum.
Luna menarik napas dalam. Ia menoleh, mencoba tersenyum seadanya.
“Carlos, udah deh. Aku telat nih,” katanya cepat, lalu melangkah pergi.
Tapi Carlos tidak berhenti. Ia malah berlari kecil, menyamakan langkah.
“Telat kenapa? Kan ada aku yang bisa nemenin lari ke kelas.”
Beberapa siswa lain menertawakan kalimat itu. Carlos tersenyum puas, seperti baru saja melontarkan lelucon yang sukses.
Sementara Luna hanya ingin menghilang.
---
Carlos dan Luna sebenarnya teman sekelas sejak kelas sepuluh. Carlos dikenal sebagai siswa yang ramah, lucu, dan mudah bergaul. Ia punya cara bicara yang ringan, membuat orang lain betah dengannya. Tapi belakangan, “candaan” Carlos mulai berubah arah.
Entah sejak kapan, ia mulai memanggil Luna dengan sebutan “istri”, mulai dari grup kelas, lorong sekolah, bahkan di depan guru olahraga pun ia berani bersuara, “Bu, saya bantuin istri saya dulu ya, dia kesusahan ngambil bola.”
Awalnya, semua menganggap itu lucu.
Kecuali satu orang yaitu Luna.
Bagi Luna, sikap Carlos bukan sekadar candaan. Itu mengusik ruang pribadinya. Tapi semakin ia diam, semakin orang-orang menganggap bahwa ia “baper”, atau lebih parah lagi, “sombong karena didekati cowok populer”.
---
Siang itu di kantin sekolah, Luna berdiri di depan etalase kaca sambil memilih roti. Perutnya lapar, dan ia ingin cepat makan lalu kembali ke perpustakaan. Ia memilih roti coklat dan susu stroberi, dua hal kecil yang selalu bisa memperbaiki suasana hatinya.
Baru saja ia membayar di kasir, suara itu muncul lagi.
“Ih, ada my istri! Lagi beli apa? Yaampun, kalo lapar panggil aku aja, biar aku beliin!”
Seketika suasana kantin berubah.
Beberapa siswa yang sedang duduk menatap ke arah mereka, beberapa langsung bersorak
“Cieee Carlos sama Luna!”
Yang lain menirukan gaya bicara Carlos sambil tertawa keras. Luna membeku. Tangannya menggenggam plastik kecil berisi roti dan susu, tapi matanya mulai terasa panas.
“Carlos, tolong jangan kayak gitu di sini,” katanya pelan, berusaha tetap tenang.
Namun Carlos tertawa kecil.
“Lah, aku cuma bercanda, Lun. Kamu baper ya?”
Kata itu , baper terdengar seperti cambuk di telinga Luna. Semua orang yang mendengarnya tertawa lebih keras. Sambil menunduk, Luna berjalan cepat keluar kantin tanpa berkata apa-apa lagi.
---
Sore harinya, Luna duduk sendirian di taman belakang sekolah. Ia mencoba menenangkan diri sambil menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya masih ada roti coklat yang belum disentuh.
Ia tidak mengerti kenapa Carlos terus bersikap seperti itu. Padahal sudah berkali-kali ia memberi isyarat kalau tidak nyaman. Tapi Carlos seolah tidak peka atau mungkin memang tidak peduli.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Luna langsung tahu siapa yang datang, bahkan sebelum suara itu bicara.
“Luna.”
Ia menatap ke arah suara itu. Carlos berdiri di sana, wajahnya tidak lagi ceria seperti biasanya.
“Aku mau minta maaf,” katanya pelan.
Luna diam. Ia menatap kembali langit sore, tak ingin menatap Carlos.
“Aku nggak bermaksud bikin kamu malu di kantin tadi,” lanjutnya. “Aku cuma pengen suasana santai. Aku kira kamu tahu kalau aku cuma bercanda.”
“Carlos,” suara Luna terdengar lirih tapi tegas. “Kamu tahu nggak rasanya jadi bahan tertawaan satu kantin?”
Carlos terdiam.
“Aku nggak suka, tahu?” lanjut Luna, kini menatapnya langsung. “Setiap kamu manggil aku ‘istri’, orang-orang langsung ngelihatin aku kayak aku memang punya hubungan sama kamu. Mereka bisik-bisik, mereka ngecap aku sok jual mahal, atau cewek nggak tahu diri karena nggak mau ditanggapi cowok populer.”
Carlos menunduk. “Aku… nggak tahu kamu ngerasa sampai segitunya.”
“Itu karena kamu nggak pernah mau tahu,” jawab Luna pelan. “Yang kamu tahu cuma gimana caranya bikin orang lain ketawa. Tapi kamu nggak sadar kalau yang kamu ketawain itu perasaan orang lain.”
Kata-kata itu membuat Carlos terdiam lama. Angin sore berembus pelan, mengibaskan daun-daun kering di sekitar taman.
Akhirnya, ia berkata pelan,
“Aku cuma pengen deket sama kamu, Lun. Aku beneran suka sama kamu.”
Luna memejamkan mata sejenak.
“Suka? Kamu pikir dengan mempermalukan aku di depan orang banyak itu cara menunjukkan perasaan?”
Carlos menggigit bibir. Ia tahu Luna benar. Tapi ia juga tak tahu bagaimana menjelaskan dirinya sendiri.
“Sejak kapan suka harus dibungkus dengan candaan?” lanjut Luna. “Aku bukan bahan lelucon, Carlos. Aku juga manusia. Aku bisa malu, bisa sakit hati, bisa ngerasa risih. Kamu nggak harus berteriak di depan orang banyak buat nunjukin rasa suka. Kadang cukup dengan sikap baik dan hormat, itu lebih berarti.”
Carlos menatap tanah, suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut ditolak kalau aku ngomong serius.”
Luna menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kalau kamu takut ditolak, jangan sembunyikan ketakutan itu di balik tawa. Itu cuma bikin kamu terlihat nggak sungguh-sungguh.”
Sunyi. Hanya suara burung sore dan angin yang lewat.
Setelah beberapa detik, Luna berdiri, menggenggam roti coklat yang akhirnya ia buka.
“Aku nggak marah lagi, Carlos. Tapi aku harap kamu ngerti, bukan semua orang nyaman dijadikan bahan canda, apalagi soal perasaan.”
Ia melangkah pergi meninggalkan taman, sementara Carlos hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehilangan sesuatu yang belum sempat ia miliki.
---
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Carlos menjadi lebih diam. Tidak ada lagi panggilan “my istri” di lorong, tidak ada godaan di kantin, tidak ada tepuk tangan dari teman-teman yang biasa menunggu leluconnya.
Luna memperhatikan perubahan itu dari jauh. Awalnya ia lega, tapi diam-diam ia juga merasa aneh.
Suatu pagi, saat ia hendak masuk kelas, Carlos menghampirinya dengan langkah ragu. Ia tidak membawa senyum, tidak pula candaan.
“Luna,” katanya pelan, “boleh ngomong sebentar?”
Luna mengangguk hati-hati.
Mereka berjalan ke halaman belakang, tempat yang dulu penuh tawa Carlos. Sekarang hanya ada keheningan yang kikuk.
Carlos menarik napas panjang. “Aku sadar, aku salah. Aku pikir kalau aku terus bercanda, aku bisa dekat sama kamu tanpa harus kelihatan serius. Tapi ternyata malah nyakitin kamu.”
Luna menatapnya, menunggu kelanjutannya.
“Aku nggak mau kamu nggak nyaman lagi,” ucapnya jujur. Mulai sekarang, aku bakal jaga sikap. Aku nggak akan ganggu kamu lagi, tapi… aku pengen kamu tahu, perasaanku waktu itu bukan cuma main-main.”
Kata-kata itu begitu pelan tapi tulus. Luna terdiam, lalu tersenyum tipis. “Makasih, Carlos. Aku hargain kejujuranmu.”
Carlos menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa perlu menyembunyikan apa pun di balik canda.
“Aku nggak janji kamu bakal suka balik sama aku,” lanjut Luna lembut, “tapi kalau kamu mau berubah, aku nggak keberatan kita mulai dari awal—sebagai teman yang saling menghargai.”
Carlos mengangguk perlahan. Ada kelegaan di dadanya.
“Aku janji.”
Mereka sama-sama tersenyum kecil, tanpa sorak-sorai, tanpa tatapan orang lain. Hanya mereka berdua, di bawah langit biru yang mulai cerah.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Carlos benar-benar mengerti arti dari suka yang sesungguhnya bukan tentang siapa yang paling lucu di depan banyak orang, tapi tentang siapa yang berani jujur tanpa membuat orang lain terluka.
~🩷🩷🩷
#satucandaanterlalujauh
Nina Gal 🍫