Hujan turun deras malam itu. Raka berdiri di depan rumah sakit dengan kemeja yang sudah lembab. Di tangannya ada sekotak bunga yang sejak sore ia beli, berniat memberi kejutan pada Aluna. Tapi kini kotak itu hanya terasa berat—seakan menertawakan niatnya sendiri.
Di dalam kamar rawat, Aluna terbaring pucat. Tubuhnya yang dulu penuh semangat kini dikelilingi selang dan suara mesin. Namun, senyumnya tetap sama: hangat, seolah berusaha menenangkan semua orang, termasuk Raka.
“Kenapa kamu lama banget?” tanya Aluna pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Raka menelan ludah, mencoba tersenyum. “Macet. Tapi aku bawa sesuatu buat kamu.”
Ia mengangkat kotak bunga itu. Aluna menatapnya, lalu terkekeh kecil. “Kamu masih sempat mikirin bunga, ya.”
“Selama kamu masih ada, aku akan selalu mikirin kamu,” jawab Raka, suaranya bergetar.
Mereka dulu bertemu di kampus, di perpustakaan yang sepi. Aluna menjatuhkan buku, Raka yang sedang lewat membantu memungut. Dari sana, percakapan kecil berubah jadi kebiasaan bertemu, kebiasaan bertukar cerita, hingga akhirnya jadi kebiasaan saling mencari.
Aluna selalu bilang ia ingin hidup sederhana: rumah kecil, halaman dengan pohon jambu, dan suara gitar Raka setiap sore. Raka percaya itu bisa mereka wujudkan bersama.
Tapi kenyataan tidak selalu sama dengan rencana.
Aluna divonis sakit parah setahun lalu. Penyakit yang perlahan mengambil energinya. Sejak itu, Raka tak pernah jauh darinya. Setiap kontrol rumah sakit, setiap malam penuh kecemasan, Raka selalu di sampingnya.
Namun, semakin lama, Aluna mulai sering meminta Raka untuk menjaga jarak.
“Aku nggak mau kamu capek,” katanya suatu malam.
Raka menggenggam tangannya erat. “Aku nggak akan pernah capek buat kamu.”
“Tapi kamu juga punya masa depan, Raka. Aku takut aku cuma jadi beban.”
“Aluna, kamu itu bukan beban. Kamu itu alasan aku kuat.”
Malam itu di rumah sakit, Raka duduk di kursi kecil, sementara Aluna menatap langit-langit.
“Raka,” panggilnya pelan.
“Ya?”
“Kalau suatu hari aku nggak ada, kamu janji nggak akan berhenti bahagia?”
Raka langsung menoleh, menatapnya dengan mata berkaca. “Kenapa kamu ngomong gitu? Aku nggak mau denger.”
“Aku serius,” suara Aluna lemah tapi tegas. “Aku tahu waktuku mungkin nggak panjang. Tapi aku mau kamu tetap hidup. Tetap main gitar, tetap tertawa, tetap jatuh cinta lagi.”
“Berhenti, Aluna,” potong Raka, suaranya pecah. Ia memeluk tangan Aluna erat. “Aku nggak bisa bayangin dunia tanpa kamu.”
Air mata Aluna akhirnya jatuh. “Aku juga nggak mau ninggalin kamu. Tapi kalau aku harus pergi duluan… tolong, jangan biarin dirimu hancur.”
Beberapa minggu kemudian, tubuh Aluna makin lemah. Raka tetap setia, meski setiap hari ia merasa sedikit demi sedikit hatinya diremukkan.
Suatu pagi, dokter keluar dari ruang perawatan dengan wajah muram. Raka berlari masuk.
Aluna berbaring dengan napas tersengal. Ia mencoba tersenyum ketika melihat Raka datang.
“Kamu… selalu tepat waktu,” bisiknya.
Raka menggenggam tangannya. “Aku di sini. Selalu di sini.”
Aluna menutup mata sejenak, lalu berbisik, “Aku titip mimpiku ya, Raka. Hidup sederhana… pohon jambu… semua itu… kamu terusin, meski tanpa aku.”
Raka menahan tangis, mengangguk meski hatinya hancur. “Aku janji. Tapi jangan tinggalin aku sekarang.”
Aluna tersenyum tipis, lalu berbisik sekali lagi. “Aku sayang kamu…”
Dan setelah itu, detak mesin di sampingnya berhenti.
Raka jatuh berlutut. Dunia terasa runtuh. Kotak bunga yang ia bawa malam itu tergeletak di lantai. Bunga itu masih segar, tapi orang yang harus menerimanya sudah pergi.
Hari-hari setelahnya, Raka berjalan bagai bayangan. Namun, ia ingat janjinya pada Aluna. Meski sulit, ia tetap bermain gitar, tetap merawat halaman kecil rumahnya, bahkan menanam pohon jambu seperti yang pernah mereka bicarakan.
Setiap sore, saat matahari mulai turun, Raka duduk di bawah pohon itu, memainkan gitar sambil berbisik pelan:
“Ini semua untukmu, Aluna.”