Penulis : 1. Gilbert Bisuk
2. Nesia Aurora
Angin pagi berhembus lembut saat mentari berdiri di dermaga kecil Parapat, menatap luasnya Danau Toba yang berkilau diterpa sinar matahari. Kabut tipis bergelayut di permukaan air, sementara suara mesin perahu terdengar dari kejauhan. Ia datang ke tempat itu untuk berlibur, mencari ketenangan setelah berbulan-bulan panjang bekerja tanpa jeda.
Tanpa pikir panjang, ia menyewa sebuah speed boad dan meminta pemandunya untuk mengantarkannya berkeliling danau yang memesona itu. “Pak saya mau sewa speed boatnya ya, atas nama Mentari”katanay kepada penyewa speed boat di depannya.
Speed boat meluncur membelah air yang tenang. Tebing-tebing batu menjulang di kejauhan, tertutup lumut dan pepohonan yang tumbuh di sela-selanya. Mentari terdiam, kagum pada keindahan alam yang tampak abadi di hadapannya. Namun, ketika mereka mendekati sebuah tebing tinggi di sisi barat danau, pemandu yang duduk di belakang kemudi menunjuk ke arah sana dan berkata pelan, “itu Batu Gantung. Katanya, di sanalah kisah lama yang penuh air mata bermula.” Suaranya membuat Mentari menoleh penasaran.
“Batu Gantung?”tanyanya, keningnya berkerut. Pemandu yang bernama Pak Sihombing hanya tersenyum samar, lalu menurunkan kecepatan perahu. Air menjadi lebih tenang, dan hanya suara ombak kecil terdengar memcah kesunyian. “Kalau kau mau, aku ceritakan asal-usulnya”, katanya. Mentari mengangguk pelan. Suasana berubah-menjadi lebih dingin, dan bayangan tebing tampak semakin kelam. Dari sanalah kisah lama itu pun dimulai.
“Dulu.....,” ujar Pak Sihombing. Detik itu mulailah Pak Sihombing menceritakan kisah kelam di balik tebing tinggi yang disebut dengan Batu Gantung.
Dahulu kala, hidup seorang gadis cantik. Suatu ketika di saat dia beranjak dewasa dirinya bertemu dengan seseorang pria bernama Sidoli yang akhirnya menjadi kekasihnya. Sayangnya, keduanya harus berpisah karena Sidoli harus merantau demi mencukupi kebutuhan pernikahan yang mereka rencanakan. Setelah tujuan itu tercapai, Sidoli berjanji akan kembali. “Aku merantau dulu ya hasian biar ada tabungan nikah kita, tunggu aku pulang ya” ujar Sidoli sembari memegang tangan kekasihnya. “Tapi janji pulang ya hasian, ku tunggu kedatanganmu kembali”Seruni menjawab perkataan Sidoli kekasihnya.
Setelah membuat janji di hari itu, kedua kekasih itu tidak lagi saling berkirim pesan bertukar kabar. Semakin hari Seruni merasa resah dan sedih, setiap surat yang dia kirimkan tidak ada yang kembali kepadanya membawa balasan yang di tunggunya. Rasa resah dan sedih Seruni tidak semakin berkurang, tapi semakin hari semakin bertambah, ditambah ketika dia mendengar pesan yang disampaikan bapaknya. Seruni dijodohkan dengan anak namborunya (saudara perempuan ayah). “Boru, kau menikalah dengan paribanmu ya boru”. Bapaknya menyampaikan pesan itu kepada seruni
Seruni kaget dengan kabar yang di sampaikan bapaknya “gak mau aku pak!” Seruni menolak pesan bapak yang memintanya menikah dengan paribannya itu. Seruni menolak permintaan bapaknya karena teringat janji yang sudah di buat bersama kekasihnya yang sudah tak terdengar lagi kabarnya sejak lama. Lagipula pariban yang dijodohkan dengannya itu adalah seorang pria yang bodoh dan idiot. Meski bodoh, pria ini merupakan keturunan keluarga yang kaya raya. Ditambah, pada saat itu terdapat ketentuan atau peraturan yang tidak bisa dibantah bahwa si gadis harus terima untuk menikahi anak namborunya.
"Kamu harus menikah dengan anak namborumu, Ini perintah!", bentak Bapak kepada Seruni. Mulailah resah hati Seruni karena sebenarnya ia tidak ada perasaan cinta sedikitpun dalam hatinya. Seruni hanya terdiam saja karena tidak bisa membantah perkataan bapaknya. Namun sehari sebelum pesta nikah digelar, Seruni masih tetap sudi sehingga memilih untuk kabur melarikan diri.
Tapi di saat dia akan melarikan diri, tiba-tiba datang surat yang tidak pernah Seruni sangka. Surat itu datang dari kekasihnya yang sudah lama tidak terdengar kabarnya. Surat itu berisi undangan pernikahan kekasihnya Sidoli dengan perempuan lain. Hancur dan sia-sia sudah janji yang mereka buat di hari itu, penantian Seruni, segala keresahannya terbuang sia-sia. Remuk hati Seruni membaca surat di tangannya, “sia-sialah semuanya hasian, penantianku tidak ada hasilnya, kau malah menikah dengan perempuan lain” ujar Seruni sambil memandangi surat di tangannya. Air mata Seruni jatuh berhamburan .
Tidak ada lagi tenaga Seruni menghadiri acara pernikahan itu, dia memutuskan pergi ke pinggir Danau Toba mengeluarkan segala kesedihan yang dia pendam, Ia merasa sangat putus asa. Satu-satunya temannya hanyalah seekor anjing peliharannya. Dia semakin putus asa dan memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari tebing itu anjing peliharannya juga turut serta melompat dari tebing itu. Seruni tersangkut di tengah-tengah tebing itu bersama anjingya dan tergantunglah Seruni bersama anjing peliharannya di tebing itu
Setelah mendengar kisah itu, Mentari terdiam lama. Ia menatap tebing yang menjulang di hadapannya, dan benar — dari bentuknya, batu itu menyerupai tubuh seorang gadis yang tergantung di sisi tebing. Ombak memantulkan bayangannya di permukaan danau, seolah gadis itu masih menatap dunia yang telah meninggalkannya. “Kadang,” ujar Pak Sihombing lirih, “orang hanya melihat bentuk batunya, tapi tak mengerti luka yang membentuknya.” Kalimat itu menggema dalam hati Rani seperti bisikan dari masa lalu. Ia merasa seolah Seruni masih di sana — tergantung antara cinta dan penyesalan.
Speed boat perlahan menjauh, namun pandangan Mentari masih tertuju pada tebing itu. Batu Gantung berdiri megah di sana, sunyi namun sarat makna. Angin berhembus membawa aroma danau yang lembut, seolah menyampaikan pesan dari masa lalu: pelajaran dari cinta, restu, dan keabadian penyesalan yang membatu.
Ketika mereka mulai menjauh dari tebing, Mentari masih menoleh ke belakang, menatap bayangan Batu Gantung yang perlahan diselimuti kabut sore. Ada perasaan aneh yang tertinggal di dadanya — antara kagum, iba, dan haru. Ia merasa seolah batu itu memandang balik padanya, membawa pesan diam tentang cinta yang berakhir dalam kesedihan. Angin danau berhembus lembut, seakan membisikkan nasihat dari masa lalu: bahwa kesetiaan tak selalu membawa bahagia, tapi pengkhianatan pasti meninggalkan luka. Dengan hati yang lebih tenang, Mentari menutup matanya dan berdoa dalam diam — semoga tak ada lagi cinta yang harus membatu seperti Seruni di tebing itu..