Namaku Alya, dan aku pernah membunuh seseorang.
Bukan dengan pisau, bukan dengan racun, bukan dengan peluru. Tapi dengan diam.
Waktu itu, langit November sedang malas. Hujan turun tak deras, hanya rintik-rintik yang cukup membuat siapa pun malas keluar rumah. Tapi tidak aku. Aku tetap berdiri di halte tua, menunggu bus yang entah kapan datangnya, bersama seseorang yang duduk diam di bangku: Rey.
"Lu tau nggak, Alya... kalau gue mati, lu bakal datang ke pemakaman gue nggak?" katanya waktu itu.
Nada bercandanya ringan, tapi matanya tidak. Ada lelah di sana, dan aku pura-pura tidak melihatnya.
Aku ingat menjawab, “Lu nggak lucu, Rey.”
Dan itu saja.
Itu jawaban terakhirku padanya.
Besoknya, dia gantung diri.
Aku tidak menangis saat mendengar kabar itu. Bukan karena aku tidak sedih, tapi karena aku terlalu hampa. Seperti seseorang yang kehilangan rumah sebelum tahu tempat itu pernah menjadi rumah.
Rey bukan pacarku. Bahkan kami tidak pernah saling menyatakan cinta. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa—dilihat. Dianggap. Dimengerti. Sesuatu yang tidak pernah kutemukan di rumah, di sekolah, atau bahkan di diri sendiri.
Dan kini, ia pergi.
Tanpa peringatan.
Tanpa ucapan selamat tinggal.
Tiga tahun sudah berlalu sejak Rey pergi, tapi aku masih sering memutar ulang adegan di halte itu. Kadang dalam mimpi, kadang dalam doa. Dan setiap kali, aku bertanya: kalau waktu bisa diulang, apakah aku akan mendengarkannya lebih dalam?
Aku tahu jawabannya. Tapi hidup bukan esai sekolah yang bisa dihapus lalu diketik ulang. Hidup adalah tinta permanen yang memaksa kita membaca kesalahan berulang-ulang, tanpa bisa menghapusnya.
Sore itu, aku pulang kerja lebih awal dan tanpa rencana, aku naik bus menuju halte yang sama. Bangku Rey masih di sana—berkarat, retak, tapi tetap tegak.
Aku duduk. Diam.
Lalu seolah-olah waktu punya hati, angin meniupkan bau kenangan: teh manis Rey, parfum murah yang selalu dia pakai, dan suaranya...
"Alya," seseorang memanggil.
Aku menoleh.
Itu bukan Rey.
Tentu saja bukan.
Dia remaja laki-laki, mungkin seusia Rey waktu itu. Rambutnya awut-awutan, matanya letih. Ia berdiri di depan halte, memegang secarik kertas.
"Apa ini tempat yang biasa buat nungguin... seseorang?" tanyanya.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi aku mengangguk. Dan dia duduk di sampingku.
Kami diam cukup lama sebelum dia bicara lagi, "Kak, kalau seseorang bilang dia pengen mati... itu artinya dia cuma mau didengar, ya?"
Aku menatapnya. Mataku mulai panas.
"Iya. Kadang begitu."
Dia mengangguk pelan.
"Temen aku... dia bilang dia capek. Aku kira dia cuma drama. Tapi sekarang dia nggak pernah ngabarin lagi."
Aku menarik napas.
"Kamu masih bisa cari dia. Jangan nunggu dia ilang."
Dia menoleh padaku, matanya berkaca-kaca.
"Kalau dia udah nggak mau bicara?"
Aku menatap matanya. Dan untuk pertama kalinya sejak Rey pergi, aku berani berkata,
"Bicaralah terus. Meskipun dia nggak jawab. Karena diam bisa membunuh, dan suara bisa menyelamatkan."
Anak itu mengangguk. Lalu dia berdiri, tersenyum tipis, dan pergi.
Aku duduk lebih lama. Dan untuk pertama kalinya, aku tak merasa sendirian.
Kalau waktu bisa diulang, aku ingin mengulurkan tangan ke Rey. Menatap matanya dan bilang, “Gue di sini. Jangan pergi.”
Tapi waktu tidak bisa diulang.
Yang bisa, hanya memaafkan diri sendiri—dan tidak mengulangi kesalahan yang sama pada orang lain.
Rey, kalau kamu dengar ini dari tempat yang jauh: maafkan aku.
Aku sedang belajar jadi manusia yang lebih baik. Untukmu. Untukku. Untuk mereka yang hampir menyerah.
Dan kalau semesta masih mengizinkan satu kesempatan...
Aku akan gunakan suaraku untuk menyelamatkan, bukan untuk diam.