Ratusan bulir padi gabah yang telah dipisah dari sekamnya. Beras. Si putih mungil yang menjadi kesukaan banyak orang.
Secara rutin Kome terus membeli beras eceran, bahkan kadang, terpepet membeli beras dengan harga termurah yang biasa digunakan untuk pakan unggas. Tak dipungkiri, Adik, perempuan mungil berusia 7 tahun memberi keluhan.
"Kak, nasiku banyak kerikilnya." Perempuan mungil itu memisahkan butir demi butir bebatuan kecil yang tersaji di atas piring.
Yang lebih muda memang belum tau barang mahal dan murah. Tapi, jargon ada uang ada kualitas memang tidak bohong.
Pada malam yang dingin, Adik berbaring di lantai ruang tengah, pandangannya lurus menatap eternit yang dihiasi bercak kecoklatan. Terlihat pula retakan - retakan halus melintang panjang.
"Kak, aku tau. Satu kilo beras itu isinya kurang lebih 45.000 butir."
"Tau dari mana kamu?"
"Kata kakak-kakak SMA yang suka kumpul di angkringan Pak Yono."
Kome hanya membalas dengan deheman, sedang sibuk melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari tiang jemuran setelah diacuhkan selama 7 hari.
"Tandanya," Adik kembali memecah keheningan. "Beras kita kena korupsi!" Adik tiba-tiba bangun, ia berdiri di depan Kome dengan kedua tangan terkepal erat depan muka.
Kome menghela napas. Cukup lelah menghadapi berbagai customer, ia juga harus menghadapi Adik yang banyak memiliki kosakata.
"Bukan korupsi, mereka dijajah," jawab Kome acuh. Ia harap Adik tidak meneruskan obrolan tentang beras ini.
"Ja...jah?" Adik sedikit memiringkan kepala. Ia berlari menuju rak buku, dibukanya buku tebal yang berisi banyak makna dari bahasa baru untuknya.
5 menit Adik sibuk membulak-balik isi buku. Setelah menemukan apa yang dicari, ia kembali berlari dan berdiri di hadapan Kome. Kali ini, telunjuk kanannya teracung tepat di depan wajah Kome.
"Tidak baik!! Para batu menjajah beras! Beras kita yang tidak mampu mengeluarkan aspirasi, tertindas, Kak!" Adik, kini semakin menggebu.
Kome menghela napas panjang, memfokuskan diri melipat seprai besar. Energi yang tersisa hanya mampu digunakan untuk mendengar kicauan Adik.
Pernah suatu saat Kome pulang membawa beras terbalut bungkusan plastik yang lebih tebal dari biasanya. Bukan sekedar kantung kresek. Nuansa hijau dari pemandangan sawah menjadi hiasan indah, mengambil hati para pembeli.
"Sampai juga," Kome berjalan masuk, bangga mengangkat beras itu dengan kedua tangannya.
"Wahh, beras orang kaya!!" teriak Adik, mata bulat kecokelatan berbinar riang. Mulut yang terbuka lebar sampai menunjukan isinya, dengan berbagai celah di antara para gigi.
Adik menarik Kome ke ruang tengah yang hanya tersedia satu sofa mewah. Menjadikan Kakaknya top center, ia menari mengelilingi Kakak. Dengan semburat merah di pipi, saking riangnya bertemu beras orang kaya.
"Tapi, dua minggu yang akan datang. Kita panen singkong di halaman samping, ya."
Perkataan Kome berhasil membuat adik berhenti dari tarian puji syukur. Si anak berambut pendek seketika tertunduk lemas, ia berjalan menuju sofa dan membuang dirinya ke perabotan rumah tangga berlapis bahan empuk itu. Mukanya ia tenggelamkan di perpotongan sandaran-dudukan sofa.
Kome terkekeh melihat tingkah laku Adik. Mau bagaimana lagi, kalau membeli beras mahal bukan kemungkinan setelah itu akan kembali membeli beras murah -karena itu pasti- tapi, kemungkinan mereka tidak akan bisa membeli beras lagi untuk bulan ini, itu lebih pasti.
Tapi, Adik hanyalah anak kecil berusia 7 tahun yang pikirannya mudah teralihkan. Saat Kome hendak menyiapkan makan malam, Adik dengan sigap membantu. Ia menarik dingklik buatan Kome, menariknya menuju tempat pencucian piring.
"Kakak, biar Adik yang cuci berasnya. Adik mau pegang beras orang kaya!"
Kome terkekeh melihat tingkah antusias Adik terhadap butiran putih itu. Ujung kemasan beras diguntingnya, menyeruak wangi harum bagai pandan yang sedang direbus. Dengan tangan gemetar, Kome menuang 3 canting beras ke dalam stainless steel silinder yang merupakan bagian dalam dari mesin penanak nasi.
"Wihh. Wanginya juga beda," puji Kome terpikat oleh aroma pandan dari beras mahal berkemasan apik.
Selesai menuang dan bereskan stok beras, benda silinder Kome taruh di dalam sink wastafle, tepat di hadapan Adik yang sudah bersiap dengan menggulung kedua sisi lengan baju Kome yang Adik pakai.
"Kakak!" Adik menggoyang-goyangkan lengan Kome dengan kencang. " nggak ada krikilnya, Kak!"
Adik turun dari dingklik, bocah kecil dengan pipi gembil itu kembali menari-nari. Kedua tangan ia rentangkan, beberapa putaran dilakukannya.
"Yeay, beras kita akhinya bebas dari jajahan."
Kome tersenyum simpul. Banyak harap ia panjatkan. Agar waktu berhenti, agar "kebahagiaan" diantara mereka tidak akan pernah menjadi bentuk lampau.
"Udah, nanti pusing. Cepet cuci berasnya, aku mau masak telur."
Adik segera berhenti, meletakan tangan kanan di sisi pelipis, memberi gestur hormat.
"Siap! Yang Mulia Kakak!" dengan tawa riang yang meramaikan dapur, Adik kembali naik ke atas dingklik untuk mencuci beras.
Sudah 3 hari semenjak beras habis. Sudah 3 hari juga Adik memiliki aktifitas baru. Menerawang pohon singkong yang sudah 'berbuah' banyak dan mengambil kehidupan tumbuhan tak berdosa itu. Pernah suatu waktu, Adik dengan semangat berusaha menggali pohon singkong yang terlihat sangat rimbun. Dengan sendok semen dan golok kecil, ia terus berusaha menggali. Sayangnya, hanya ada akar tanpa umbi yang tumbuh. Niat untuk menyemangati hati Kome saat pulang nanti, hilang. Tapi, Adik tidak menyerah. Pohon selanjutnya, ia berhasil mendapat 3 singkong yang cukup besar.
Saat Kome pulang, mereka merebus semua singkong. Setelah direbus, sebagian disimpan dalam kulkas dan sebagian lainnya Kome goreng unuk mereka makan. Mereka berdua duduk saling berhadapan di lantai ruang tengah, terpisah dengan sepiring singkong goreng di hadapan.
"Beras nangis nggak, ya, Kak?" tanya Adik dengan intonasi yang cenderung lebih rendah dan lambat. Raut berbinarnya kini redup, seperti jam digital yang baterainnya mulai kehabisan daya.
"Sedih kenapa?"
"Kita nggak makan mereka. Nasi aja kalau disisain nangis," kepalanya menunduk, mata Adik mulai berkaca-kaca. Penuturan yang terdengar semakin rendah dengan sedikit getar.
"Kamu banyak omong gini, efek dulu banyak makan-makanan bergizi, kah?" Kome terkekeh, ia mengacak-acak rambut Adik.
"Kalau kita tetap makan nasi sekarang, justru, lebih banyak lagi yang nangis."
Jawaban Kome berhasil mengambil alih atensi Adik yang sedang merenung. Si pipi gembil mengangkat kepala, ia menatap Kome lamat -lamat. Seolah melontarkan tuntutan, menanyakan arti apa maksud dari perkataan si Kakak.
"Beras mungkin nggak nangis. Tapi singkong sama dompetku yang meraung sampai membentuk sebuah danau." Jelas Kome yang justru membuat Adik semakin menatapnya penuh tanya.
"Intinya, kalau kita beli beras. Aku yang nangis-"
"JANGAN!"
Adik melompat dari duduk, ia berlari dan memeluk Kome dengan erat.
"Jangan, jangan. Jangan nangis. Aduh, gimana ya cara nenanginnya?" panik Adik. Padahal Kome sama sekali tidak menitihkan air mata.
Dibuatnya tertawa dengan kencang hingga wanita itu menjatuhkan diri ke belakang, membuat Adik terjatuh di atas badan kurus itu. Kejadian tadi, mengingatkan Kome kembali. Gelagat dan kata-kata yang di ucapakan, persis sepeti apa yang ia ucapakan ketika Adik menangis.
Pagi hari, matahari menyingsing. Arunika seperti biasa memamerkan keindahan kilaunya kepada semua makhluk bumi. Adik menggeliat, ia meregangkan badannya di atas sofa berukuran 150x41 meter, satu-satunya benda yang memenuhi ruang tengah.
Kakak pasti akan memarahi karena ia merusuh di tempat kecil yang selalu menjadi kasur bagi mereka.
Tapi, kali ini. Adik meraba sekeliling.
Nihil!
Anak perempuan dengan pipi gembil itu segera duduk, tidak perduli dengan pusing yang menerjang karena gerakan dadakannya. adik berdiri, ia hendak mencari Kakak.
"Loh, kakak..." Adik menghampiri Kome yang duduk di bangku dapur. Di depannya ada dua orang berbadan besar dengan pakaian abu-abu tua.
Kome menoleh, tersenyum simpul menatap Adik yang berlari menghampirinya. Bukan senyum simpul yang biasanya Adik lihat. Bukan senyum simpul karena wajah kaku Kakak. Senyum simpul yang membuat Kome terlihat malu dan juga takut.
Kome bertekuk lutut di samping bangku yang sebelumnya ia duduki. Kedua tangan Kome terbuka lebar menyambut Adik dengan pelukan hangat. Adik merengkuh leher Kome dengan erat. Jantungnya berdetak tidak karuan, merasakan suasana tidak nyaman yang seperti akan merebut semua kebebasan dan kebahagiaan mereka.
Kome melepas pelukan, ia menangkup wajah Adik. Menatap bocah maniak beras penuh kasih. Segala perkataan, ungkapan kasih, perilaku sayang yang tidak bisa ia lakukan, dicurahkannya semua itu melalui tatapan terakhir di antara keduanya.
"Abis ini, kamu bisa makan nasi. Bebas, tanpa harus misahin para penjajah."
Intonasi kome yang pelan dan lebih tenang dari biasanya membuat Adik tertegun. Bergeming menatap Kakak lurus. Tanpa ada tarian putaran, tanpa ada tawa yang menghiasi dapur. Adik, hanya terdiam.
Kedua orang berbaju abu-abu tua itu berdiri di belakang Kome. Seperti video yang diperlambat 0,75x, salah satu paman berseragam abu-abu tua membekuk tangan Kome, membawanya keluar dari rumah. Sementara yang satu lagi, sibuk menahan badan bocah kecil yang memberontak, berusaha mengejar Kome.
Bukan hanya semburat di pipi, seluruh wajahnya memerah. Tidak perduli seberapa sakit tenggorokannya akibat mengeluarkan lengkingan suara menyerupai lolongan serigala penyendiri.
"ADIK NGGAK MAU BERAS ORANG KAYA! ADIK MAU KAKAK!"
Kakak menghilang dari balik pintu utama, bersamaan dengan pasangan paruh baya yang datang, keduanya segera berhambur memeluk Adik.
"Adika, sudah 7 bulan ibu terus beri laporan ke pihak berwajib. Maaf, ya, sayang," wanita dengan gaun satin berwarna ungu memeluk erat Adik yang masih memberontak. Berkali - kali meneriaki 'Kakak.'
"Nak," pasangan dari wanita gaun ungu mensejajarkan tinggi dengan Adik dan mengelus kepala bocah itu pelan.
"Maafin ayah, ya. Lalai jaga kamu. Tapi tenang, mulai besok semua les kamu privat. Kamu nggak perlu keluar rumah." tutur pria itu penuh sesal.
Lelah dengan usaha sia-sia, Adik mulai kehabisan tenaga dan terjatuh di lantai. Ia menunduk dalam, memejamkan mata panas yang tidak lagi dapat menitihkan setetespun air.
"Adik... Nggak mau beras orang kaya...,"
Kalimat terakhir sebelum Adik dibawa keluar dari rumah Kakak.