"Majna, tolonglah dek, udah jangan nangis terus. Kalau nangis terus obat yang sudah masuk ke mata jadi percuma. Dan ingat kamu itu lagi sakit ... istirahatlah!"
"Sebenarnya kamu itu ada masalah apa sih, Dek? cerita sama Mas Rahman. Jangan dipendam sendiri, Mas Rahman bingung loh. Pulang dari kost-an tetiba sakit, sedih terus. Ada apa sebenarnya, Dek? Mas Rahman siap buat dengerin semua masalah kamu!”
Suara Mas Rahman terdengar tegas tapi nadanya lembut. Ia duduk ditepi ranjang rumah sakit, tangan kanannya menggenggam tangan Majna adiknya, yang dingin.
Tapi... tangisan Majna tak jua reda. Matanya sembab, nafasnya pendek-pendek seakan tiap hela nya mengandung beban yang tak mampu Majna ceritakan.
Bukan karena sakit demam berdarah yang membuat tubuhnya lemas tak berdaya. Bukan juga karena jarum infus yang menusuk kulit tipis di pergelangan tangannya. Tapi semua itu karena satu nama...
Shaka!
Sahabat penanya dari tiga tahun yang lalu. Penghibur Majna dikala sendu dan sedih, penyambung tawa yang tak pernah henti. Tapi kini... tak ada lagi kabar dari Shaka. Sudah satu minggu lebih. Tak ada pesan apapun, Majna kehilangan sahabatnya itu, dan hatinya semakin tercubit karena Shaka telah menghapus pertemanan di akun yang biasa digunakan Majna untuk berkomunikasi.
Shaka seolah menghilang, Akun nya pun dibiarkan sepi tanpa aktivitas apapun. Itu bukan seperti Shaka yang Majna kenal.
Majna tahu betul siapa yang salah. Ia... Dirinya sendiri yang salah.
Ia yang memilih Gery, lelaki mirip oppa dengan senyum manis dan janji-janji indah. Ia yang perlahan menjauhi Shaka karena Gery tak menyukai kedekatannya. Ia juga yang perlahan-lahan mulai meninggalkan Shaka demi menyenangkan Gery yang cemburuan.
Dan saat semua topeng Gery terlepas. Pengkhianatan, manipulasi, pengabaian. Barulah Majna tersadar. Tapi... Shaka telah pergi, meninggalkan ruang sunyi dalam hidupnya.
Hari ketiga di rumah sakit. Malam makin larut, dan rasa kantuk mulai membungkus kesedihannya.
Majna memejamkan matanya setelah ia menceritakan semua yang jadi ganjalan di hatinya, saat sayup-sayup telinganya mendengar suara Mas Rahman.
"Besok kita ke Surabaya... Mas Rahman sudah pesan tiket keretanya. Setelah sampai Surabaya, kamu temui Shaka, jelaskan dan minta maaflah sama dia."
Majna hanya mengangguk, tapi sorot matanya tak bisa menutupi rasa bahagianya. Ia memeluk Mas Rahman… hatinya sudah tak karuan membayangkan akan bertemu dengan Shaka. Majna sungguh merindukan sosok Shaka sahabatnya itu.
Keesokan harinya di dalam kereta, Mas Rahman hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya itu. Berulang kali Majna mengecek ponselnya, berkali-kali Mas Rahman juga melihatnya menarik nafas, tak bisa menutupi kegugupannya.
“Shaka sudah di kasih kabar kalau kamu lagi menuju tempatnya?”
Majna mengangguk pelan, “Tapi belum ada balasan.” bisiknya pelan.
Hari baru saja beranjak sore, ketika kereta yang dinaiki kakak beradik itu pun berhenti. Majna dan Mas Rahman pun akhirnya turun.
Mas Rahman, menggandeng Majna dan mengajaknya mencari tempat untuk beristirahat sekaligus menunggu Shaka.
Majna kembali mengetikkan sesuatu di layar ponselnya, ia kembali mengirim chat Shaka, dimana ia dan kakaknya berada.
"Majna..."
Suara itu... suara yang sangat dikenalnya.
Ia menoleh. Dan dibawah jingga sore yang hangat, berdirilah Shaka. Memakai hodie lusuh favoritnya dan rambut sedikit berantakan. Shaka tersenyum khas, senyum itulah yang selalu membuat Majna merasa nyaman.
"Shaka..." suaranya tercekat.
Shaka mendekat, menyalami Mas Rahman lalu duduk disebelahnya.
"Gimana kabarnya si anak keras kepala ini?"
Majna menunduk. Air matanya mengalir, tapi kali ini tanpa isak.
Ia tak peduli dengan tatapan Mas Rahman, Majna terus menangis.
Merasa adiknya perlu bicara dengan Shaka, Mas Rahman beranjak meninggalkan dua anak muda itu berbicara.
"Aku... aku nyesel Shaka. Semua... salah aku. Aku yang bodoh, aku yang keterlaluan, aku yang..."
"Aku udah hampir menyerah aku nggak bisa ketemu lagi, kamu menghapus pertemanan kita, aku takut kamu nggak sudi menemui aku lagi."
Shaka mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam.
"Sudah, nggak usah nyalahin diri sendiri terus. Kadang orang emang harus jatuh dulu, terpuruk biar ngerti siapa yang benar-benar ada."
Majna menatap wajah Shaka.
"Tapi kamu... kenapa kamu pergi ninggalin aku? nggak ada kabar apapun?"
Shaka terdiam. Wajahnya menatap langit yang memerah. "Kadang pergi adalah satu-satunya buat menyelamatkan diri. Aku pikir kamu sudah nggak membutuhkan aku lagi, kamu juga sudah mengabaikan ku. Jadi... buat apa aku harus terus bersama kamu? lebih baik aku menepi kan?"
Majna menggigit bibir. "Aku nyariin kamu, Shaka... belakangan ini, tiap hari."
Shaka tersenyum lembut, "Aku tahu."
Suasana senyap, hanya suara angin dan desir dedaunan yang menemani mereka.
Dari kejauhan tampak Mas Rahman terus memperhatikan.
"Kalau aku minta maaf, masih ada tempat aku di hidup kamu kah, Shaka?" tanya Majna lirih.
Shaka bangkit berdiri. Ia meraih tangan Majna dan menggenggamnya erat. "Selalu ada tapi... "
"Tapi?"
"Tapi aku nggak bisa janji kamu bakal nemuin aku lagi besok."
Kening Majna mengernyit, "Maksud kamu?"
Cahaya senja perlahan memudar. Shaka semakin buram dan menjauh pergi
"Shaka! Jangan pergi...! Aku belum..."
"Aku ada... di hatimu Majna. Selalu. Tapi sekarang kamu harus bangun."
"Shaka!!!"
Majna terbangun saat pipinya ditepuk seseorang, nafasnya terengah. Matanya memperhatikan sekeliling. Ia ternyata masih di Rumah sakit dengan infus masih menempel di pergelangan tangannya.
"Mimpi kamu, Dek?" tanya Mas Rahman menatap khawatir.
Majna tersenyum, walaupun air mata kembali turun.
"Terimakasih Shaka, walaupun cuma mimpi, kamu datang disaat aku paling membutuhkanmu."
Langit diluar jendela mulai cerah. Hari baru, dan harapan baru.
Mungkin, suatu saat mereka akan bertemu lagi. Entah didunia nyata atau dalam mimpi yang lebih panjang.