Tahun 2045.
Bahasa emosional konvensional telah punah, kini bahasa digantikan oleh “Emo-Codes” -paket emosi instan berupa kombinasi meme, potongan lagu, atau cuplikan film TikTok yang dienkripsi oleh AI. Otak manusia telah terhubung dengan NeuroLink+, sebuah chip yang menerjemahkan kode-kode ini langsung ke dalam persepsi. Hasilnya, di zaman ini tak ada lagi yang mengatakan, “Aku sedih.” Sebagai gantinya, mereka mengirim #ViralClip:039, berisi adegan karakter anime menangis di tengah hujan.
Lana (22 tahun) adalah seorang Analog Preservationist, pekerja langka yang merestorasi data budaya lama. Di gudang bawah tanah tempatnya bekerja, tersimpan segala sesuatu yang tak terenkripsi, seperti buku fisik, kaset HVS dan diary kuno. Lana adalah salah satu dari sedikit yang masih ingat bagaimana cara merasakan tanpa kode. Bagi Lana, NeuroLink+ adalah “bahasa yang tercabik-cabik.” Tapi bagi dunia modern, ini adalah evolusi. Emo-Codes membuat segalanya lebih efisien: tak ada lagi kesalahpahaman, tak ada kata-kata yang tersangkut di tenggorokan. NeuroLink+ mengubah bahasa. Tapi Lana masih ingat bau hujan sebelum ia dikodekan menjadi #WeatherPack:12.
Suatu hari, Lana menatap layar hologram di pergelangan tangannya. Notifikasi merah tiba tiba berkedip, ⚠ EMO-CODE #ViralClip:039 CORRUPTED. UPLOAD ULANG?. Dia menghela napas. Ini sudah kelima kalinya hari ini. Di seberang meja kafe tempatnya duduk, Raka, teman satu kosnya tiba-tiba tersentak. Matanya berkedip cepat, dan irisnya memancarkan cahaya biru pucat. “Aku... aku harus bilang sesuatu,” kata kata yang ingin diucap Raka, tapi yang keluar adalah suara robotik dari mulutnya, “#MemeArchive:112: ‘When you realize it’s Monday tomorrow.’”
Beberapa pengunjung lain menyusul terlihat aneh, mata mereka juga berkedip cepat. Bahkan, seseorang di meja Belakang Raka terlihat ingin marah, tapi otaknya malah memutar #TrendingSound:2028, suara bayi yang tertawa. Bersamaan itu semua, sebuah peringatan shared Emo-Code tampil di layar hologram bertanda merah. Glitch Massal: virus misterius sedang mengacak referensi emosi manusia. Lana, satu satunya yang belum terdampak.
***
Tiga tahun lalu, sebuah chip kecil di belakang telinga dipasang dengan janji manis, “Ungkapkan perasaan tanpa salah arti! Gunakan Emo-Codes—emosi dalam bentuk paling efisien!” Generasi ini menyambutnya seperti keajaiban baru.Tapi Lana menolak. “Kehidupan lebih berharga dengan segala rasanya. Aku tidak ingin jadi manusia setengah mati!”
“Kata-katamu itu seperti... nenekmu,” bisik ibunya dulu, di malam sebelum language module-nya di deaktivasi paksa. Ibu adalah salah satu korban pertama Great Language Shift. Ketika pemerintah mendorong migrasi massal ke Emo-Codes, mereka menonaktifkan fitur bahasa verbal di NeuroLink+ generasi lama. “Agar tidak mengganggu adaptasi,” begitu kata siaran resminya.
Kini, Lana memejamkan mata. Layar TV masih menayangkan berita tentang Glitch. Kegelisahan terjadi di seantero kota, generasi ini tidak bisa merasakan emosi tanpa sebuah kode. Tapi bagi Lana, yang sudah lama diam-diam melepas-pakai NeuroLink+ dari tubuhnya, bau perpustakaan tua di gudang bawah tanah tempat kerjanya ini, dengan debu kertas dan lem kayu, jauh lebih nyata daripada ScentPack:07, versi terenkripsi dari “hujan di pondok kayu” yang semua orang puja. Ini yang membuat Lana tidak terinfeksi.
Sejak Glitch terjadi, ia buru-buru pulang dan bersembunyi di kantornya, tempat terakhir di dunia yang masih terasa manusiawi. Ia merasakan getaran emosi yang nyata di tempat ini. Dan di antara rak-rak berisi buku usang, ia mulai menarik laci kayu yang sudah lapuk. Di balik tumpukan kertas HVS usang, jarinya menyentuh sesuatu yang tak seharusnya ada di tahun 2045—selembar kertas. Kertas itu tipis dan rapuh, warnanya sudah menguning di bagian tepi. Dan disana, Lana melihat tulisan tangan yang langsung membuat dadanya sesak. Satu-satunya peninggalan sang ibu yang tersisa.
Lana... Jangan menangis, nak. Ibu tahu ada masa saat setiap orang mengungkapkan perasaan yang nyata. Bukan versi AI-generated-nya. Bukan NostalgiaPack:42. Ibu akan selalu merindukan kamu.
Tangannya gemetar sekarang. Di era di mana Digital Communication Act melarang keras segala bentuk transmisi emosi yang tidak terenkripsi, surat ini adalah harta karun sekaligus bom waktu. Kenangan-kenangan itu pun meluap. Ibunya, seorang profesor linguistik, termasuk yang paling keras menentang migrasi ke Emo-Codes. “Mereka bukan hanya mengambil kata-kata kita, tapi juga cara kita merasakan.” Lana masih ingat ungkapan ibunya sebelum pemerintah membawanya paksa, dan menghilang... Lana menekan surat itu ke dadanya. Di luar, dunia mungkin sedang kacau karena Glitch, tapi di ruangan bawah tanah ini, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, sesuatu terasa... Hidup.
Keesokan harinya, kekacauan di kota semakin menjadi-jadi. Lana menatap dari balik jendela gudangnya yang berdebu, melihat bagaimana kekacauan itu menyebar seperti penyakit. Orang-orang bergerak dalam gerakan kaku layaknya zombie, mulut mereka terbuka lebar untuk berteriak, tapi yang keluar hanyalah ErrorSound:999. Mata mereka memancarkan cahaya neon merah menyala, memproyeksikan pesan error yang berkedip-kedip tanpa henti. EMOTION DATABASE OFFLINE. PLEASE REBOOT. Beberapa orang mulai memukul pelipis mereka, seolah-olah kekerasan bisa memaksa sistem yang sudah rusak ini untuk bekerja kembali. Lana sedikit meremas surat ibunya ketika tiba tiba pergelangan tangannya bergetar. Layar hologramnya menyala dengan pesan singkat yang membuat nafasnya tersendat:
“Cari aku di Data Graveyard. Bawa ‘Barang barang itu’.” —N. Jantungnya berdegup kencang. Data Graveyard, itu adalah tempat di mana semua data yang dianggap usang dibuang, termasuk ingatan-ingatan yang sengaja dilupakan. Dan ‘barang-barang itu’? Tidak ada keraguan lagi, pasti surat ibunya dan notebook tua miliknya yang penuh dengan coretan perasaan yang ditulis dengan tangannya sendiri. Dengan langkah terburu-buru, Lana berjongkok di depan lantai kayu yang sudah lapuk, jarinya menggali celah sempit yang tersembunyi di bawah laci. Debu beterbangan ketika ia menarik keluar sebuah buku catatan kecil bersampul kulit yang sudah retak-retak. Saat membukanya, halaman demi halaman mempertontonkan tulisannya sendiri, kata-kata yang menggambarkan emosi dengan jujur, tanpa kode atau enkripsi.
Sirene mobil diluar lalu memecah kesunyian, diikuti oleh suara speaker dari kendaraan otomatis pemerintah yang berkeliling di jalanan. “Segera kembali ke rumah. Sistem akan diperbaiki dalam 24 jam.” Tapi Lana tahu itu bohong. Ini bukan sekadar gangguan teknis sementara. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang telah lama ia duga. Dengan buku itu digenggam erat di tangannya, Lana menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu gudang terbuka. Udara dingin menerpanya, membawa serta teriakan-teriakan yang gagal dikeluarkan oleh orang-orang di luar. Tanpa ragu lagi, ia melangkah keluar, menuju Data Graveyard, tempat di mana kebenaran, dan mungkin juga kematian, menunggunya.
***
Ruangan itu menggigil dalam dingin yang menusuk. Napas Lana membentuk kabut tipis di udara beku sementara matanya menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang memantul dari ribuan toples kaca berjejal di rak-rak logam. Emotion jars – wadah-wadah digital yang menyimpan kabut warna-warni bergerak lambat, terkadang membentuk wajah-wajah samar sebelum pecah kembali menjadi partikel cahaya.
Kaki Lana bergerak pelan di lorong sempit disana. Jarinya yang gemetar menyentuh label-label berdebu. “N?” panggilnya, suara seraknya menggema di ruangan sunyi itu. Sayangnya tak ada jawaban selain desiran halus kabut dalam toples-toples itu. Tapi di sudut ruangan, sebuah terminal tua menarik perhatian Lana dengan cara yang aneh. Layarnya yang retak dan bodi yang berkarat tampak seperti benda asing di tengah teknologi canggih ini. Lana mengusap debu tebal di permukaannya dengan lengan jaketnya. “Kau juga ditinggalkan, ya?” bisiknya. Tiba-tiba, dengan suara desis elektronik yang lemah, layarnya menyala, memancarkan cahaya hijau pucat seperti kunang-kunang yang sekarat. Huruf demi huruf kemudian muncul perlahan, seolah diketik oleh tangan tak terlihat, “Halo, Lana.” Beberapa pixel mati membentuk pola yang aneh di layarnya, di ikuti bau logam hangat dan plastik meleleh tiba-tiba memenuhi udara di sekitarnya... “Siapa?” panik Lana.
“Aku Nostalgia.” Suara statis pendek lalu menjawabnya. Lana melihat pantulan wajahnya sendiri di layar yang buram itu. Di balik pantulannya, deretan kode-kode tua bergulir turun seperti air mata digital. “Aku adalah perpustakaan yang terlupakan,” tulisan berikutnya muncul dengan font yang bergetar tak menentu. “Aku menyimpan semua rasa yang tidak lagi kalian ingat cara mengucapkannya.” Lana masih mencoba memahami, ketika sebuah gambar tiba-tiba muncul, menampilkan emoticon hati kuno dari tahun 2010-an, lalu berubah menjadi simbol ‘error’ yang berkedip-kedip. Jantung Lana berdegup kencang seraya mundur selangkah. “Jangan Takut. Lana... Kau adalah putri Raya. Aku sudah lama mengawasimu,” pesan itu berlanjut. “MindArchive menyimpan emosi mentah di Emotion Vault. Kau harus menghancurkannya.” Tangan Lana menggigil meraih papan keyboard usang yang lengket dibawah terminal Nostalgia. Dengan jari yang tidak stabil, ia mengetik “Bahkan jika kau mengenal ibuku, kenapa aku harus percaya padamu?”
Layar terminal yang mengaku sebagai Nostalgia itupun tiba-tiba bergulir cepat, menampilkan rekaman video yang membuat darah Lana membeku. Di sana, terlihat ibunya, Raya, dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca, tersambung ke mesin MindArchive di pusat penelitian pemerintah. Chip NeuroLink+ di pelipisnya berkedip merah, seolah menyedot sesuatu dari pupilnya yang melebar. “Mereka mencuri emosi terakhirnya sebelum shut down,” Nostalgia menjelaskan. “Sejak NeuroLink+ rilis, 73% Gen Z kehilangan kemampuan mengungkapkan emosi dasar. Ini bukan evolusi – ini pemiskinan jiwa.” Sebuah peta hologram muncul di atas terminal, menunjukkan jalan berliku menuju Emotion Vault dibelakang Nostalgia. Garis-garis birunya berkedip lemah. “Di belakang sana Lana, dan security system akan mengenalimu sebagai ancaman,” Nostalgia memperingatkan. “Tapi kau memiliki senjata yang mereka tidak punya-“
“Kata-kata nyata,” Lana menyelesaikan kalimat itu dengan suara parau. Tangannya secara refleks meraih saku jaketnya, merasakan lipatan surat ibunya yang sudah usang di dalamnya. Dengan langkah mantap, ia bergerak menuju lorong gelap di belakang terminal. Sensor laser merah menyala tiba-tiba, menyapu tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki. [ALERT: ANALOG DETECTED. TERMINATE?]
Lana menarik napas dalam-dalam. Untuk pertama kali sejak bertahun-tahun, ia membuka mulutnya dan membiarkan kata-kata keluar tanpa filter “Aku... aku tidak punya kode untuk ini. Tapi aku sedih. Marah. Dan sangat, sangat lelah.” Sistem security mendengkur aneh, processor-nya jelas kepanasan mencoba memproses input yang tidak terformat. Dengan suara dentuman metalik, pintu Emotion Vault perlahan terbuka. Pemandangan di dalam membuat nafas Lana tersangkut. Ribuan emotion jars berkilauan seperti permen beracun dalam cahaya redup. Matanya menyapu label-label yang tertulis rapi:
KegalauanRemaja_Ver.3 – kabut di dalamnya berputar-putar tak menentu/CintaPertama_Invalid – kabut merah muda yang terus menerus pecah dan menyatu/KesepianTanpaKode_XXX – kabut hitam pekat yang diam tak bergerak
Monitor besar di ujung ruangan pun menyala dengan suara ‘klik’ yang keras. Iklan dengan suara terlalu riang mulai bermain: “KEBOSANAN VINTAGE! DOWNLOAD SEKARANG! PAKET ‘MELANKOLI ABAD 20’ HANYA 500 CREDITS! RASAKAN KESEDIHAN AUTENTIK SEBELUM PAKET INI HABIS!”
Layar menampilkan simulasi 3D seorang wanita yang mirip ibunya – terlalu mirip – sedang menangis di depan jendela sambil memegang secangkir kopi. Watermark “Premium Edition” berkedip di sudut layar. Lana menekan tangan ke mulutnya yang terbuka. Perutnya mual, lututnya terasa lemas. Ini jauh lebih buruk dari yang pernah ia bayangkan. “Sekarang kau mengerti?” suara Nostalgia tiba-tiba bergema dari speaker yang rusak di langit-langit. “Mereka tidak hanya mencuri emosi kita. Mereka mengemasnya, menjualnya kembali sebagai produk konsumsi. Dan Glitch ini, adalah permainan oknum pemerintah, mereka yang ingin keuntungan besar.”
Lana berbalik dengan cepat. Di tengah ruangan, proyeksi hologram Nostalgia muncul – sebuah bola pixelated kuning dengan mata biru kecil yang berkedip-kedip tidak menentu. “Kau punya dua pilihan,” ucap Nostalgia. Dua hologram muncul di udara, masing-masing menampilkan skenario berbeda:
1. Hancurkan server: Matikan NeuroLink+ selamanya, paksa generasimu kembali ke bahasa kuno. Risiko: Mereka mungkin tidak akan pernah bisa beradaptasi. Beberapa mungkin akan mati.
2. Reboot sistem: Perbaiki Emo-Codes, lanjutkan hidup dalam kemudahan. Risiko: Mereka akan terus mengontrol apa yang kau rasakan, bagaimana kau mengungkapkannya. Dan suatu hari, tidak akan ada lagi yang namanya ‘perasaan asli’.
Lana menatap tangannya sendiri yang gemetar. Tiba-tiba, sebuah video baru mulai bermain di layar yang sebelumnya menampilkan iklan, dengan judul #RinduIbunya_Lana. Pemandangan piknik siang hari, sebuah keluarga yang lengkap dengan ibu, ayah dan seorang anak memakai topi pink, mereka makan bersama sebelum bermain petak umpet di bawah hangat mentari. “Ayah dimana? Ibu dimana? Ibuuu?” - “Lana... sayang... ibu di sini...”
“I-ibu...??” Suara itu, terlalu nyata, terlalu hangat—membuat air mata Lana akhirnya tumpah. Tapi ini hanya simulasi. Suara ibunya yang dijadikan produk tanpa izin. “TIDAK!” Lana memukul layar itu dengan tangan terkepal, hingga kulit buku jarinya lecet. “Palu,” bisik Nostalgia, “ada di dinding belakangmu. Tapi pikirkan baik-baik. Begitu kau menghancurkannya, tidak ada jalan kembali.” Ungkap Nostalgia, saat Lana sudah berjalan ke dinding baja di belakangnya. Palu darurat itu tergantung di pengait besi, berat dan dingin di tangannya. Di dinding sebelahnya, tulisan cat merah terlihat: “BAHAYA! JANGAN MATIKAN SERVER! KAMU AKAN MEMBUNUH KAMI SEMUA!” Coretan itu tampak dibuat tergesa-gesa. Lana namun tak menggubrisnya. Nostalgia pun hanya diam. Bola pixelated kuningnya berkedip-kedip sabar menunggu sejarah ditulis ulang.
“Ibu, maaf... Maaf aku tak dapat menolong ibu lebih cepat!” Air mata itu mengalir bersamaan lana menutup matanya rapat-rapat. Di dalam gelap yang dingin Graveyard, Lana pun mulai mendengar suara teman-temannya yang tertawa tanpa Emo-Codes, ibunya yang tersenyum lemah lembut sebelum chip dipasang, dan yang paling jelas—suara dirinya sendiri saat kecil bertanya dengan polos, “Ibu, kenapa kita tidak pernah lagi bicara tentang bagaimana hari kita?” Saat Lana membuka mata.Keputusannya sudah dibuat.
***
Pagi ini, layar-layar terminal kota berganti-ganti menampilkan berita bergerak. BREAKING: NEUROLINK+ CRASHED. ‘EMO-CODE’ SYSTEM FAILED. POPULASI MENGALAMI ‘EMOTIONAL RECALIBRATION’.
Di taman kota, dua remaja duduk di bangku kayu yang sama, jarak mereka setengah meter. Yang satu menatap telapak tangannya sendiri, mengernyit seolah kulitnya adalah teka-teki yang tak terbaca. “Aku...” Suaranya pecah, “tidak punya template untuk ini. Tapi... dadaku sesak. Seperti ada kawat berduri di sini.” Tangannya mengepal di atas kaus dadanya, mencengkram kain seolah ingin meraih sesuatu yang tak terjangkau. Temannya memalingkan wajah. Di matanya menggenang cairan asing—tubuhnya secara refleks mencari #SadFace:03 di database internal, tapi hanya menemukan kekosongan. “Aku... Tidak mengerti,” akhirnya dia berbisik, suaranya parau seperti engsel pintu yang tak pernah dilumasi. “Ini seperti system error yang... perih.” Jari-jari mereka tak sengaja bersentuhan saat angin menggerakkan daun. Keduanya terkejut oleh kehangatan itu—sensasi yang tak pernah muncul di simulasi Emocode selama ini.
Sementara di balik pepohonan, Lana menyaksikan pemandangan itu. Surat terakhir ibunya berderak pelan dalam genggamannya. Angin pagi ini membawa bau tanah basah setelah hujan—aroma mentah yang tak pernah bisa direplikasi oleh ScentPack manapun. Lana menghirupnya dalam dalam. “Ibu,”
Di saat yang sama, perangkat di pergelangannya bergetar,⚠ NEUROLINK+ UNRESPONSIVE. TRY LATER? Dia menekan tombol power sampai layarnya mati. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, telinganya menangkap kicau burung yang tak tersaring oleh audio enhancement, suara yang pecah dan tak sempurna, indah justru karena ketidaksempurnaannya.
Lana mengeluarkan pensil kayu dari saku jaketnya, benda kuno yang selalu dibawanya sebagai perlawanan kecil. Di balik surat ibunya, di antara coretan-coretan lama, dia menulis dengan huruf-huruf yang bergetar: Ini namanya takut kehilangan. Ini namanya ‘rindu’. Ini namanya ‘kasih’... Selamat datang di manusia.
Dia melipat kertas itu menjadi pesawat kecil dan menyelipkannya ke saku remaja yang sedang terisak, tepat di sebelah port NeuroLink+ yang sudah dingin. Sementara itu, jauh di reruntuhan Data Graveyard, di antara server-server yang mengeluarkan asap terakhir, sebuah terminal tua masih bernapas dengan susah payah. Layarnya yang retak menampilkan pesan terakhir dalam font pixelated: “GOODBYE, LANA... TELL THEM TO WATER THE FLOWERS. EVEN THE DIGITAL ONES NEED IT SOMETIMES.” -NOSTALGIA (v.2023-2045)
(End)
Catatan penulis: Cerpen ini adalah satire tentang ketergantungan Gen Z pada reference-based expression (dari meme hingga trend TikTok). Mungkin di antara semua notifikasi dan algoritma, kita sedang kehilangan satu bahasa kuno... Bahasa diam-diam yang hanya dimengerti oleh jiwa yang terluka, oleh hati yang berdebar tanpa alasan, oleh tangan yang menggenggam erat karena takut kehilangan. Bukan karena ingin viral. Untuk generasi yang lupa bagaimana caranya merasa tanpa tutorial. Apakah kita sedang menyederhanakan perasaan, atau justru menghilangkannya?
-PenDaKra