Langit Jakarta sore itu seakan ikut murka. Awan pekat menggantung di atas ribuan massa yang bergerak di sepanjang jalan protokol. Spanduk warna-warni dengan tulisan tuntutan berkibar, teriakan “Hidup rakyat!” menggema, dan suara toa terdengar bersahut-sahutan.
Raka, mahasiswa hukum tingkat akhir, berdiri di antara ribuan kepala yang berdesakan. Nafasnya terengah, tapi sorot matanya tajam penuh keberanian. Ia tahu hari ini bukan demo biasa. Ada aroma perubahan di udara.Namun, ada alasan lain yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang: Nadia.
Gadis itu adalah cahaya di balik kelamnya kehidupan kampus yang penuh tekanan. Mahasiswi jurnalistik, pintar, cantik, dan berani. Raka selalu kagum bagaimana Nadia menatap dunia dengan ketegasan seorang pejuang. Ia selalu membawa kamera kecil ke mana pun, mengabadikan setiap peristiwa.Dan di tengah ribuan massa yang ricuh, Nadia tetap berdiri tegak, menekan tombol kamera, menulis catatan di buku kecilnya.
“Rak! Kau lihat? Ini sejarah! Aku harus dokumentasikan!” serunya sambil batuk terkena gas air mata.Raka ingin meraih tangannya, tapi terlalu banyak orang di antara mereka.
Demo yang awalnya damai berubah jadi neraka. Aparat mulai maju, barisan tameng berkilat, suara tembakan gas air mata menyalak. Batu melayang, jeritan menggema, dan massa kocar-kacir.Raka berlari menembus asap, matanya pedih, dadanya sesak. Ia mencari Nadia. Hatinya gelisah. Tiba-tiba, di ujung jalan, ia melihatnya—Nadia masih berusaha merekam, tubuhnya goyah, tapi tetap teguh.
“Nadia! Ayo pergi! Ini berbahaya!” teriak Raka, menarik lengannya.
Namun Nadia menolak.
“Kalau aku pergi, siapa yang rekam bukti mereka? Aku tidak bisa lari, Rak. Aku harus di sini.”
Dan pada detik itulah, sesuatu yang tak terpikirkan terjadi. Sebuah suara letusan keras terdengar. Entah peluru karet, entah bukan. Yang jelas, tubuh Nadia mendadak terhuyung, kamera terlempar, dan ia jatuh ke aspal.Raka menjerit, meraih tubuhnya. Darah membasahi bajunya. Nafas Nadia tersengal, matanya mencari-cari wajah Raka.
“Rak…” bisiknya lemah, “kalau aku… nggak ada… teruskan ceritaku. Jangan biarkan sia-sia…”Dan dengan senyum tipis yang membuat dada Raka pecah, Nadia menutup matanya untuk selamanya.
Kematian Nadia menggemparkan. Media memberitakan demo ricuh, tetapi sebagian besar berita menutupi fakta adanya korban jiwa. Nama Nadia bahkan tidak disebut.Raka murka Ia menulis kisah nyata yang ia saksikan, menyebarkannya di media sosial. Tulisannya viral, Ribuan orang membagikan. Nama Nadia akhirnya muncul, menjadi simbol keberanian anak muda yang gugur demi kebenaran.Namun, konflik sebenarnya baru dimulai.Beberapa hari kemudian, Raka mendapat pesan misterius. Seorang pria paruh baya menemuinya di kafe sederhana. Pria itu mengenakan kemeja kusut, wajahnya penuh keriput, dan matanya sembab seolah kurang tidur.
“Aku ayah Nadia,” katanya lirih.
Raka terdiam. Ia tahu ayah Nadia jarang disebut. Yang ia tahu, Nadia tinggal bersama ibunya saja.
“Ada sesuatu yang harus kau tahu,” lanjut sang ayah. “Nadia bukan kebetulan ada di garis depan. Dia sudah lama menginvestigasi sebuah kasus besar.”
“Apa maksud Anda?” tanya Raka, bingung.
Sang ayah mengeluarkan flashdisk kecil dari saku kemejanya. “Ini. Semua bukti ada di sini. Nadia menyembunyikannya dariku… tapi aku menemukannya di kamarnya setelah dia… pergi.”Raka menerima flashdisk itu dengan tangan gemetar. Malamnya, ia membuka file di dalamnya.Dan yang ia lihat membuat darahnya berdesir.Di dalamnya terdapat dokumen rahasia, rekaman video, dan data keuangan yang menunjukkan keterlibatan oknum pejabat tinggi negara dalam proyek besar yang merugikan rakyat. Ironisnya, proyek itu berkaitan erat dengan kebijakan yang sedang diprotes rakyat di jalan.
Lebih mengejutkan lagi, salah satu nama yang muncul dalam daftar itu adalah ayah kandung Raka sendiri, seorang politisi berpengaruh yang diam-diam mendukung kebijakan kontroversial tersebut.
Dunia Raka runtuh seketika. Cinta yang ia kagumi, Nadia, gugur karena memperjuangkan kebenaran. Dan kebenaran itu justru menyeret nama ayahnya sendiri sebagai bagian dari sistem busuk.Malam itu, Raka berlari ke kamarnya. Ia meremas rambutnya, menatap foto keluarganya, lalu meninju dinding hingga berdarah.
“Kenapa harus ayahku?! Kenapa harus dia?!” teriaknya.
Namun di dalam kepalanya, suara Nadia kembali bergema: “Tuliskan ceritaku. Jangan biarkan sia-sia.”
Air mata Raka menetes. Ia sadar: di hadapannya ada pilihan paling sulit dalam hidupnya. Mengungkap kebenaran, sekalipun itu berarti menghancurkan nama baik keluarganya sendiri.
Atau diam, dan membiarkan perjuangan Nadia mati bersama tubuhnya di aspal jalanan.
-
Beberapa minggu kemudian, publik dikejutkan dengan artikel panjang di sebuah situs berita independen. Artikel itu ditulis anonim, tapi jelas-jelas berasal dari orang dalam. Isinya: skandal besar yang melibatkan pejabat tinggi, termasuk ayah Raka sendiri.Artikel itu menyebutkan sumber utamanya adalah seorang jurnalis muda yang gugur saat demo Nadia.
Tak lama, berita itu menyebar, membuat gelombang demonstrasi lebih besar. Nama Nadia dielu-elukan sebagai pahlawan.
Raka tahu, ia baru saja menghancurkan ayahnya sendiri. Tapi ketika ia menatap foto Nadia yang selalu ia bawa di dompetnya, ia tersenyum getir.
“Ini memang sakit, Nad. Tapi aku tahu, inilah yang kau inginkan. Kau sudah pergi… tapi cintamu pada kebenaran tetap hidup. Dan aku akan selalu mencintaimu, meski hanya lewat kenangan.”
Ada cinta yang bisa menumbuhkan harapan. Ada cinta yang menuntut pengorbanan. Tapi ada pula cinta yang harus rela kehilangan demi kebenaran.
Dan bagi Raka, cintanya pada Nadia adalah ketiganya sekaligus.
-Tamat