24-11-2040
“Halo, Tante Vaney!” suara kecil yang nyaring dan gemes langsung bikin aku noleh.
“Eh, anak siapa iniii…” jawabku sambil pura-pura kaget, padahal udah hafal banget itu suara Luffy, keponakan kecilku yang centilnya kebangetan.
Ezra, yang duduk di sebelahku, langsung ketawa. “Eh, ayo semuanya kumpul sini. Kita ngobrol bareng-bareng,” katanya sambil ngangkat alis ke arah Luffy.
Luffy langsung duduk di tengah, kayak ketua geng. “Om Ezra, ceritain dong awal mula Om Ezra ketemu sama Tante Vaney!”
Ezra cuma senyum-senyum sambil garuk kepala, terus lihat aku. “Mau diceritain nggak?”
Aku pura-pura manyun. “Ah, rahasiaaa.”
“Tante, ayolahhh…” Luffy nyengir nakal.
Ezra akhirnya menyerah. “Oke deh, tapi jangan ketawa-ketawa ya.”
15 tahun lalu…
Hari ini adalah hari yang udah aku tunggu-tunggu, tapi juga bikin aku keringetan dingin kayak habis lari keliling lapangan. Hari pertama masuk SMP.
“Ma, ayo cepet, telat nih!” teriakku dari depan pintu rumah.
Sepanjang jalan ke sekolah, aku duduk di motor sambil megangin tas kecil kesayangan yang ada gantungan boneka kelinci. Anginnya enak sih, tapi malah bikin aku mikir, “Ntar di sekolah ada yang galak nggak ya? Kakak kelasnya serem nggak ya?”
Begitu sampai di gerbang, aku lihat banyak banget anak-anak yang nggak aku kenal. Aku jalan pelan, sambil lihat sekeliling… dan tiba-tiba… aku lihat dia.
Kakak kelas.
Gantengnya… levelnya beda.
Rambutnya agak berantakan tapi keren, tatapannya kayak sinetron. Dan parahnya, dia lihat ke arah aku.
Waduh…
Jantungku langsung dug dug dug dug. Aku pura-pura lihat tembok, tapi dalam hati kayak, astaga siapa itu?
“Vaney! Ngapain bengong?” Kent, anak cowok yang tadi kenalan di kelas, muncul sambil bawa roti.
“Eh… nggak… cuma lihat orang,” jawabku buru-buru.
“Orang? Siapa? Ohhh… itu abangku, Ezra,” kata Kent sambil nyengir kayak nemu rahasia besar.
Otakku langsung freeze.
Itu… kakaknya Kent?!
Pas upacara, aku sama sekali nggak bisa fokus. Kepala malah mikirin “Ezra… Ezra… Ezra…”.
Bel istirahat bunyi. Aku ikut Kent ke kantin. Lagi antri roti, tiba-tiba ada suara.
“Ken, ini uangmu jatuh,” kata seseorang.
Aku nengok. Ezra. Lagi.
“Oh makasih, Bang. Bang, kenalin ini Vaney, temen baruku,” kata Kent santai banget.
Ezra lihat aku sebentar, terus senyum tipis. “Hai.”
“H-halo,” jawabku sambil hampir jatuhin roti.
Hari-hari selanjutnya, aku sering nggak sengaja lihat Ezra. Kadang dia lewat di lorong, kadang di lapangan basket.
Satu sore, jemputanku telat. Aku duduk di bangku dekat gerbang sambil mainin tali sepatu.
“Nunggu jemputan ya?” suaranya bikin aku langsung noleh.
“Iya,” jawabku.
“Mau kutemani?” katanya sambil duduk.
Kita ngobrol sedikit. Dia bilang suka main gitar. Katanya suatu hari mau main buat aku.
Aku cuma bisa nyimpen kata-kata itu di hati.
Beberapa bulan kemudian, sekolah ngadain pensi. Ezra tampil bawa gitar, nyanyi lagu yang aku nggak tahu judulnya, tapi nadanya bikin merinding. Dan pas matanya lihat aku, kayak ada listrik nyetrum.
Selesai tampil, aku nekat bilang, “Bagus banget main gitarnya.”
Dia jawab sambil senyum, “Makasih… lagu itu buat kamu.”
Dan malamnya… aku nggak bisa tidur.
Aku pikir semuanya bakal mulus, tapi ternyata nggak.
Suatu hari, aku dengar gosip dari teman kalau Ezra pacaran sama anak sekelasnya yang cantik banget.
Deg! Rasanya kayak disiram air dingin.
Aku jadi males ketemu dia, bahkan kalau Kent ngajak ke kantin aku nolak.
Sampai suatu sore, Ezra nyamperin aku di gerbang. “Kamu kenapa akhir-akhir ini ngilang?”
Aku pura-pura sibuk ngecek tali tas. “Nggak kok…”
Dia nyengir, “Kalau cuma gara-gara gosip, mending tanya langsung. Nggak bener itu.”
Aku cuma bisa bengong.
“Tapi kalaupun aku suka sama orang, orangnya ada di depan aku sekarang,” tambahnya pelan.
Astagaaa… otakku langsung blank.
Beberapa minggu kemudian, drama kedua muncul. Ezra hampir pindah sekolah karena ikut orang tuanya pindah kerja. Aku sedih banget, tapi nggak berani ngomong.
Pas hari terakhir dia di sekolah, dia kasih aku pick gitar warna biru. “Buat kamu. Biar inget aku.”
Dan ya… setelah itu, aku cuma bisa berharap suatu hari kita ketemu lagi.
10 tahun kemudian…
Aku udah lulus kuliah, kerja di kota yang sama tempat keluargaku tinggal. Suatu sore, aku mampir ke kafe baru. Pas aku masuk, ada suara gitar yang familiar banget.
Aku nengok.
Ezra.
Lagi.
Dia berhenti main sebentar, terus senyum lebar. “Vaney?”
Aku cuma bisa ketawa kecil. “Kamu masih inget aku?”
“Mana mungkin lupa,” katanya sambil nyimpen gitarnya.
Kita ngobrol lama. Ternyata dia nggak jadi pindah ke luar negeri kayak yang aku kira, tapi sempat kerja di kota lain.
Dari situ, kita mulai sering ketemu lagi. Ngopi bareng, jalan ke toko buku, bahkan nonton konser kecil di taman.
Tiga tahun setelah reuni itu, di hari ulang tahunku, Ezra ngajak aku ke kafe tempat kita ketemu lagi dulu.
Di meja, ada gitar dan pick biru yang sama.
Dia duduk, main lagu yang dulu dia bawain di pensi SMP.
Entah mengapa hari itu aku kepengen banget dandan cantik, padahal bisa dibilang aku lumayan cuek sama penampilan.
Selesai lagu, dia nyodorin kotak kecil.
“Aku nggak tahu cara romantis yang ribet, tapi aku tahu satu hal—aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”
Dia buka kotaknya—cincin sederhana tapi cantik.
“Vaney… maukah kamu tunangan sama aku?”
Aku ketawa sambil nangis. “Iya, Ezra… iya.”
Tanpa kusadari tiba-tiba keluarga dan teman-temanku dan Ezra menyoraki aku, awww membuatku salah tingkah, dan wajahku mulai memerah.
Dan di meja itu, dengan lagu lama dan pick gitar biru, aku sadar… tatapan yang bikin deg-degan di gerbang SMP dulu ternyata beneran milik seumur hidupku.
Hari itu adalah hari yang ga bakal aku lupain.
Hal-hal yang aku kira cuma mimpi, ternyata bisa jadi kenyataan.
Masa sekarang…
“Nahh, itu tadi kisah awal Om Ezra dan Tante Vaney ketemu.”
“Wahhh, ceritanya sweet banget om.” kata Luffy.
“Eh, ayo semuanya makan nenek udah bikinin nasi goreng kesukaan kalian.” kata nenek…
…
Aku menghampiri Ezra yang sedang duduk sendiri di teras depan rumah, “Ezra.”
“Iya, kenapa?” katanya.
Aku duduk di sebelahnya, sambil menyaksikan matahari yang perlahan mulai terbenam. Burung-burung berkicauan seolah mereka menyanyi untuk alam.
“Kamu bakal nyangka ga? Kalo kita bakal sedekat ini?” tanyaku.
“Sebenernya, sejak MPLS hari pertama aku udah ada perasaan ke kamu, tapi kan aku masih SMP dan belum boleh pacaran.” ucap Ezra.
Perkataan Ezra membuat hatiku semakin meleleh ditambah dengan hangat dan manis senyumannya…
-END-