Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang akan menggambarkan situasi sulit saat Y/N merasa dijadikan pilihan kedua oleh Draco.
Pilihan Kedua
Beberapa minggu berlalu sejak Draco menunjukkan Tanda Kegelapan-nya kepada Y/N. Sejak saat itu, Y/N merasa ada perubahan drastis dalam hubungan mereka. Draco yang dulunya selalu mencari Y/N kini menjadi jauh. Ia lebih sering terlihat bersama Crabbe, Goyle, dan Pansy Parkinson. Draco bahkan sering mengabaikan Y/N di koridor, berpura-pura tidak melihatnya.
Y/N merasa sakit hati. Ia tahu Draco sedang dalam tekanan besar, tapi perlakuan Draco membuatnya merasa tidak penting. Y/N menyadari, Draco hanya mendekatinya saat ia merasa tertekan, saat ia merasa kesepian dan rapuh. Di saat ia tidak membutuhkannya, Y/N seolah dilupakan. Y/N merasa dijadikan pilihan kedua atau backburner.
Suatu sore, Y/N melihat Draco duduk sendirian di meja Slytherin. Ia tampak lelah dan cemas. Y/N memutuskan untuk mendekatinya.
"Draco," panggil Y/N pelan.
Draco terkejut dan menoleh. "Y/N? Kenapa kau di sini?"
"Aku mencarimu," jawab Y/N. "Kenapa kau menghindariku?"
Draco menghela napas. "Y/N, aku... aku tidak bisa. Terlalu berbahaya."
"Berbahaya?" tanya Y/N, suaranya bergetar. "Berbahaya untuk siapa? Untukmu? Atau untukku?"
"Untuk kita berdua," jawab Draco. "Kau tidak tahu apa yang aku hadapi. Aku... aku tidak bisa melibatkanmu."
"Kau tidak bisa melibatkan aku? Kenapa? Karena kau hanya butuh aku saat kau lemah?" tanya Y/N. "Kau hanya butuh aku saat kau ketakutan?"
Draco terdiam. Ia menunduk, tidak bisa menatap mata Y/N. "Tidak, Y/N. Bukan begitu..."
"Bukan begitu?" Y/N memotongnya. "Lalu kenapa, Draco? Kenapa kau mengabaikanku di koridor? Kenapa kau berpura-pura tidak melihatku? Kau bilang kita akan menghadapi ini bersama. Kau bilang aku tidak sendirian. Tapi kau... kau membuatku merasa sendirian."
Draco mengangkat kepalanya, matanya penuh dengan air mata. "Aku minta maaf, Y/N. Aku... aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya... bingung."
"Kau bingung? Jadi aku ini apa? Pilihan keduamu? Seseorang yang kau temui saat kau merasa buruk? Setelah kau merasa baik, kau kembali ke teman-temanmu?" tanya Y/N, suaranya dipenuhi amarah.
Draco tidak menjawab. Ia hanya menunduk, wajahnya pucat.
Y/N merasa sakit. Ia tahu Draco tidak jahat, tapi ia juga tahu, ia tidak bisa terus-menerus disakiti seperti ini.
"Draco, aku tahu kau sedang dalam masalah. Aku tahu kau takut," kata Y/N, suaranya melembut. "Tapi kau harus jujur padaku. Jika kau tidak ingin bersamaku, katakan saja. Jangan membuatku merasa seperti aku tidak penting."
Draco menatap Y/N, air mata mengalir di pipinya. "Y/N... kau penting. Kau adalah orang yang paling penting bagiku. Tapi... aku tidak bisa. Aku... tidak sekuat yang kau kira. Aku tidak bisa melindungimu. Aku takut... aku akan melukaimu."
Y/N menghela napas. "Baiklah, Draco. Aku mengerti," katanya, lalu ia berbalik dan pergi.
Draco memanggilnya, "Y/N! Tunggu!"
Tapi Y/N tidak menoleh. Ia terus berjalan, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa sangat sakit. Ia merasa dikhianati. Dan ia tahu, hubungan mereka telah berakhir.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang membawa Y/N ke dalam tahun ketujuh yang penuh gejolak.
Perang dan Bantuan Rahasia
Tahun ketujuh di Hogwarts adalah saat tergelap bagi dunia sihir. Harry, Ron, dan Hermione tidak kembali ke sekolah. Sebaliknya, mereka pergi untuk mencari dan menghancurkan Horcrux Voldemort. Tanpa mereka, Hogwarts berada di bawah kendali Pelahap Maut. Professor Snape kini menjadi Kepala Sekolah, dan para guru lama digantikan oleh pengikut Voldemort.
Y/N, yang masih berstatus murid Hogwarts, merasa tertekan. Ia harus berpura-pura setia kepada Voldemort. Setiap malam, ia harus menghadiri pertemuan rahasia dengan para Pelahap Maut, yang kini mengendalikan Hogwarts. Namun, di dalam hatinya, Y/N menolak untuk menjadi bagian dari mereka.
Pada suatu malam, Y/N mendengar dari percakapan para Pelahap Maut bahwa mereka akan mengincar Horcrux yang terakhir, yang berada di Hogwarts. Y/N tahu ia harus melakukan sesuatu. Diam-diam, ia mengirim pesan kepada Harry, memberitahunya tentang Horcrux itu.
Harry membalasnya, "Terima kasih, Y/N. Aku akan datang."
Y/N tahu itu adalah kode. Pertempuran besar akan terjadi di Hogwarts. Ia harus bersiap.
Kematian Fred
Pertempuran Hogwarts dimulai. Seluruh Hogwarts menjadi medan perang. Y/N, yang seharusnya berpihak pada Pelahap Maut, diam-diam menyelinap pergi dan membantu para siswa yang melawan. Ia membantu anak-anak yang lebih muda untuk keluar dari sekolah, dan ia membantu anggota Orde Phoenix untuk melawan Pelahap Maut.
Di tengah kekacauan, Y/N melihat Fred dan George Weasley. Mereka berada di sana, bertarung dengan berani. Mereka melepaskan mantra-mantra lucu dan berbahaya pada para Pelahap Maut, membuat mereka bingung dan teralihkan. Senyum di wajah mereka tidak pernah pudar, bahkan di tengah perang.
Y/N tersenyum. Ia merasa lega. Fred dan George ada di sini. Mereka akan baik-baik saja.
Namun, tiba-tiba, sebuah ledakan keras terdengar. Dinding di dekat mereka runtuh, dan debu serta puing-puing berjatuhan.
Y/N melihat ke arah ledakan itu, matanya membelalak. Ia melihat Fred dan George berjuang untuk keluar dari puing-puing. George berhasil keluar, tetapi Fred... ia terjebak.
"FRED!" teriak Y/N, suaranya bergetar.
George berlari ke arah Fred, mencoba mengangkat puing-puing besar yang menimpanya. "FRED! Bangun!" teriak George, matanya dipenuhi air mata.
Fred tersenyum kecil. "Aku... aku tidak apa-apa, George."
"Jangan bicara, Fred! Kita akan keluar dari sini!" teriak George.
Y/N berlari ke arah mereka, ia mencoba membantu George. Namun, puing-puing itu terlalu berat.
Fred menoleh ke arah Y/N dan George. "Kalian harus pergi," bisik Fred, suaranya pelan.
"Tidak! Kami tidak akan meninggalkanmu!" teriak George.
"Aku akan baik-baik saja," bisik Fred, senyumnya semakin lebar. "Aku... aku akan selalu ada di sini."
Fred menatap Y/N, matanya dipenuhi cinta, lalu ia menatap George. Fred tersenyum, dan senyum itu adalah yang terakhir.
Y/N dan George menatap Fred, terkejut. Fred sudah... pergi.
George menjerit, tangisnya pecah. Ia memeluk tubuh Fred yang sudah tidak bernyawa. Y/N hanya bisa terdiam, air mata mengalir di pipinya. Ia tidak bisa percaya. Fred, orang yang selalu membuatnya tersenyum, orang yang memberinya harapan, kini telah pergi.
Y/N memeluk George yang menangis, mencoba menghiburnya. Y/N tahu, ia tidak akan pernah melupakan hari ini. Hari di mana ia melihat kematian di depan matanya. Hari di mana ia kehilangan seorang teman. Hari di mana ia tahu, bahwa perang ini harus segera berakhir.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang tragis namun penuh makna, saat Y/N menghadapi konsekuensi dari pertempuran.
Perpisahan Terakhir
Pertempuran telah berakhir. Voldemort sudah dikalahkan. Namun, kemenangan itu terasa hampa. Y/N memeluk tubuh Fred, air matanya tak terbendung. Ia tidak peduli dengan kemenangan itu, ia hanya peduli dengan Fred, yang kini sudah tiada. Y/N melihat George, yang menangis tersedu-sedu, dan ia merasa hatinya hancur.
Dengan bantuan sihir, Y/N mengangkat tubuh Fred dan membawanya ke Aula Besar. Ia harus melakukannya. Fred harus bertemu keluarganya untuk terakhir kalinya. Di Aula Besar, ia melihat keluarga Weasley berkumpul. Mrs. Weasley, Mr. Weasley, Ginny, Percy, Bill, dan Charlie. Mereka semua menangis.
Y/N meletakkan tubuh Fred di hadapan mereka, lalu mundur. Mrs. Weasley langsung berlari ke arah Fred, menangis histeris. Ia memeluk putranya, lalu memarahi Y/N, "Kenapa kau tidak melindunginya? Kau adalah temannya!"
Y/N tidak membalas. Ia hanya menunduk, merasa bersalah. George yang melihat itu, maju dan memeluk Y/N. "Bukan salahnya, Ma. Bukan salahnya. Dia ada di sana bersamaku. Dia mencoba membantu."
Y/N mengangguk, lalu ia berbalik dan pergi. Ia tidak bisa berada di sana lagi. Ia tidak bisa menghadapi kesedihan mereka.
Konsekuensi dari Perang
Y/N berjalan keluar dari Hogwarts, menjauhi keramaian. Ia berjalan sendirian, menatap langit malam yang kelam. Pertarungan itu telah meninggalkan bekas, bukan hanya di jiwanya, tapi juga di tubuhnya. Ia merasakan sakit yang luar biasa di perutnya, dan ia tidak bisa menahannya.
Tiba-tiba, ia merasakan mual. Y/N merosot ke tanah, dan ia mulai muntah. Namun, yang keluar bukan hanya makanan. Ia muntah darah, darah segar yang membuat tanah di depannya menjadi merah.
Y/N tahu ia dalam masalah. Ia terkena kutukan, mungkin dari salah satu Pelahap Maut. Ia tidak tahu siapa, atau kapan, tapi ia tahu, ia terluka parah.
Y/N mencoba berdiri, tetapi kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa. Pandangannya mulai kabur. Ia melihat bintang-bintang berputar-putar, dan ia merasakan tubuhnya merosot ke tanah.
Y/N jatuh, dan ia tidak bisa bangun. Ia merasa dingin, dan ia merasakan kematian mendekat. Y/N menutup matanya, dan ia pingsan.
Di bawah langit yang gelap, Y/N terbaring sendirian, tubuhnya tak bergerak. Ia telah selamat dari perang, tetapi perang itu telah merenggut nyawanya.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang akan melanjutkan dari pingsannya Y/N dan mengungkapkan apa yang terjadi padanya.
Cahaya di Tengah Kegelapan
Dunia Y/N perlahan-lahan menghilang. Ia merasa dingin, sangat dingin. Ia mendengar suara-suara samar, tapi tidak bisa membedakannya. Ia merasa seperti melayang, seperti roh yang meninggalkan tubuhnya. Namun, di tengah kegelapan itu, sebuah cahaya kecil muncul.
Cahaya itu semakin besar, dan Y/N melihat seseorang berdiri di dalamnya. Itu adalah ayahnya, Tom Marvolo Riddle. Tapi ia tidak terlihat seperti Voldemort. Ia terlihat seperti dirinya yang dulu, tampan, muda, dan cerdas.
"Y/N," bisik Tom, suaranya lembut. "Kau terlalu cepat."
Y/N mencoba berbicara, tapi ia tidak bisa.
"Aku tahu kau takut," kata Tom. "Aku tahu kau terluka. Tapi kau harus kembali. Kau belum bisa pergi."
"Kenapa?" bisik Y/N, suaranya serak.
"Kau punya takdir yang lebih besar," jawab Tom. "Kau adalah darahku. Kau adalah penerusku. Kau tidak bisa mati."
Tiba-tiba, cahaya lain muncul. Itu adalah Professor Dumbledore. Ia tersenyum, matanya berbinar-binar.
"Jangan dengarkan dia, Y/N," bisik Dumbledore. "Kau tidak harus menjadi siapa pun kecuali dirimu sendiri. Kau tidak harus menjadi penerus, kau tidak harus menjadi pahlawan. Kau hanya perlu menjadi Y/N."
"Aku lelah," bisik Y/N, air matanya mulai mengalir. "Aku ingin istirahat."
"Tidak sekarang," kata Dumbledore. "Kau harus kembali. Mereka menunggumu."
Tiba-tiba, Y/N mendengar suara lain. Suara itu familiar, suara yang ia kenal.
"Y/N! Y/N! Bangun!"
Itu adalah suara Draco Malfoy.
Y/N merasakan sebuah tangan menggenggam tangannya. Tangan itu terasa hangat. Y/N membuka matanya perlahan. Ia melihat wajah Draco, yang dipenuhi air mata.
"Y/N! Kau baik-baik saja?" bisik Draco.
Y/N mengangguk, lalu ia melihat sekelilingnya. Ia berada di Ruang Perawatan. Madam Pomfrey sedang berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat khawatir.
"Draco," bisik Y/N, "apa yang terjadi?"
"Aku... aku melihatmu jatuh," kata Draco, suaranya bergetar. "Aku melihatmu muntah darah. Aku membawamu ke sini."
"Kau... menyelamatkanku?" tanya Y/N, terkejut.
Draco mengangguk. "Tentu saja. Aku tidak akan membiarkanmu mati."
Y/N tersenyum tipis. Ia tahu, di balik semua keegoisannya, Draco adalah orang yang baik.
Draco mengusap pipi Y/N. "Kau... kau adalah satu-satunya gadis spesial bagiku, Y/N. Aku tidak akan pernah melupakan itu. Aku... aku mencintaimu."
Y/N menatap mata Draco, dan ia melihat kejujuran di sana. Ia tahu, Draco benar-benar serius.
"Aku juga, Draco," bisik Y/N. "Aku juga mencintaimu."
Mereka berdua tersenyum. Di dalam Ruang Perawatan, di antara semua kesedihan, ada sedikit kebahagiaan. Y/N tahu, ia telah melewati banyak hal. Tapi ia tidak sendirian. Ia punya Draco, dan ia punya teman-teman lainnya. Dan itu sudah cukup.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang merangkum masa-masa setelah pertempuran, di mana Y/N menghadapi kesedihan dan menemukan kebahagiaan.
Janji di Pemakaman
Beberapa bulan setelah Pertempuran Hogwarts, dunia sihir mulai pulih. Namun, bagi Y/N, kesedihan masih terasa nyata. Suatu pagi, Y/N, Draco, Harry, Ron, Hermione, dan George berkumpul di sebuah bukit di dekat Hogwarts. Mereka akan menghadiri pemakaman Profesor Dumbledore dan Fred.
Y/N mengenakan gaun hitam, di sampingnya Draco mengenakan jubah hitam formal. Ia menggenggam tangan Y/N, berusaha memberikan kekuatan. Di sana, Y/N melihat Hermione yang menangis, Harry yang terlihat lelah, Ron yang menunduk, dan George yang kehilangan.
Di hadapan makam Dumbledore, Y/N menatap batu nisan. Ia mengingat percakapan mereka di alam bawah sadar, dan ia merasa berutang budi padanya.
Kemudian, mereka berjalan ke makam Fred. George meletakkan bunga di atas makam Fred, dan air matanya mengalir. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
Y/N maju dan memeluk George. "Fred tidak akan pernah dilupakan, George," bisik Y/N. "Ia akan hidup di hati kita."
George mengangguk, lalu menatap Y/N. "Terima kasih, Y/N," bisiknya. "Terima kasih telah bersamanya saat ia pergi."
Y/N tersenyum tipis, lalu ia meletakkan bunga di atas makam Fred. "Sampai nanti, Fred."
Setelah itu, Y/N kembali ke sisi Draco, dan mereka berdiri dalam diam, merasakan kesedihan yang sama.
Kebahagiaan Baru
Beberapa bulan kemudian, Y/N dan Draco memutuskan untuk menikah. Mereka ingin melupakan masa lalu yang kelam, dan memulai hidup baru yang bahagia. Pernikahan mereka berlangsung sederhana di sebuah bukit yang sama tempat pemakaman Fred dan Dumbledore. Y/N mengenakan gaun putih sederhana, sementara Draco mengenakan jas hitam.
Di hadapan pendeta, mereka mengucapkan janji suci. Y/N menatap mata Draco, dan ia melihat cinta yang tulus. Ia melihat lelaki yang tidak lagi sombong, yang tidak lagi kesepian. Ia melihat lelaki yang telah berani menunjukkan kelemahannya, dan ia mencintai lelaki itu.
"Aku mencintaimu, Draco," bisik Y/N. "Aku tidak peduli siapa ayahmu, atau apa yang telah kau lakukan. Aku hanya peduli padamu."
"Aku juga mencintaimu, Y/N," jawab Draco, suaranya bergetar. "Kau adalah satu-satunya yang membuatku merasa lengkap."
Setelah upacara, mereka mengadakan pesta kecil. Di sana, ada Harry, Ron, Hermione, dan George. Mereka semua tersenyum, dan mereka semua bahagia.
Di tengah pesta, Y/N berjalan ke arah George. "Selamat, Y/N," kata George, memeluknya. "Fred akan senang melihatmu bahagia."
"Aku tahu," bisik Y/N. "Aku berharap dia ada di sini."
George tersenyum. "Dia ada di sini. Di hati kita."
Y/N tersenyum, lalu ia memeluk George. Ia merasa lega. Ia telah menemukan kedamaian, dan ia telah menemukan kebahagiaan.
Malam itu, Y/N dan Draco duduk di dekat jendela, menatap bulan. Y/N menyandarkan kepalanya di bahu Draco.
"Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu," bisik Y/N.
"Aku juga," jawab Draco. "Kau adalah duniaku."
Mereka berdua tersenyum. Mereka tahu, mereka telah melalui banyak hal, tetapi mereka juga tahu, mereka akan selalu bersama. Dan itu sudah cukup.