Perhatian yang Tak Terduga di Perpustakaan
Sore itu, perpustakaan Hogwarts terasa sepi dan damai. Y/N, yang seperti biasa, sedang mengerjakan tugasnya di meja favoritnya, dikelilingi tumpukan buku tebal. Ia sedang membaca buku tentang sihir kuno, sebuah topik yang ia minati di luar pelajaran formal. Floki, musang kesayangannya, melingkar di atas buku, tidur pulas.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang terburu-buru dan bisik-bisik terdengar dari arah pintu. Y/N mengabaikannya, yakin itu hanya siswa yang sedang tergesa-gesa. Namun, langkah itu semakin dekat, dan bisikan itu berubah menjadi perdebatan pelan.
"Jangan dorong-dorong, Potter!" suara Draco terdengar kesal.
"Diam, Malfoy, kau yang menghalangi!" balas Harry.
"Kalian ini kenapa, sih? Bisa pelan sedikit, tidak?" bisik suara yang familiar. Itu Hermione. Y/N mendongak dan melihat Hermione, Harry, Ron, Fred, dan George berdiri di pintu.
Y/N mengerutkan dahi, bingung. Tapi bukan hanya mereka, di belakang mereka juga ada Draco, Crabbe, dan Goyle. Mereka semua tampak canggung, dan Y/N merasa ada yang tidak beres.
"Kenapa kalian... datang ke sini?" tanya Y/N, suaranya dingin dan datar.
Harry maju selangkah, lalu Draco juga maju. Fred dan George mendorong Harry, dan secara tak terduga, mereka berempat berakhir berdiri tepat di depan meja Y/N, saling berdekatan.
"Aku... aku cuma mau bilang, kalau... aku lihat kau kemarin di Danau Hitam, dan..." Harry memulai, wajahnya memerah.
"Aku duluan!" potong Draco, mendorong Harry sedikit. "Riddle, aku cuma mau bilang kalau jubahmu yang ini... tidak terlalu cocok."
"Kalian kenapa, sih?" tanya Y/N, semakin bingung.
Tiba-tiba, Fred dan George maju. George menyingkirkan Draco dan Harry. "Y/N, kami butuh bantuanmu," kata George.
"Kami butuh pendapatmu tentang produk baru kami," lanjut Fred.
Mereka berempat saling menatap, persaingan terlihat jelas di mata mereka.
"Aku tidak mengerti," kata Y/N, mengabaikan mereka semua. Ia menoleh ke Hermione yang berdiri agak jauh. "Hermione, apa yang terjadi?"
Hermione hanya menghela napas. "Mereka... mereka semua bilang kalau mereka ingin bicara denganmu secara pribadi. Tapi mereka tidak mau menunggu. Jadi mereka akhirnya datang bersama-sama."
Y/N menatap keempat cowok di depannya. Harry, yang terlihat canggung namun tulus. Draco, yang mencoba bersikap sombong tapi gagal. Dan si kembar Weasley, yang terlihat lucu namun juga serius.
Y/N menghela napas. "Kalian... membuatku pusing. Kalian mau apa?"
Keempatnya terdiam.
"Aku duluan!" teriak Harry.
"Tidak, aku!" kata Draco.
"Kita sudah datang duluan!" Fred dan George berteriak bersamaan.
Y/N mendongak ke arah mereka, lalu menunjuk ke arah Harry. "Kau dulu, Potter."
Harry terkejut, tapi juga lega. Ia menatap Y/N. "Y/N... aku mau tahu... apa kau mau pergi ke Hogsmeade denganku? Bukan sebagai teman, tapi... sebagai... itu... kencan?"
Draco langsung mencibir. "Kencan? Dasar Gryffindor payah! Kau tidak tahu cara mengajak wanita berkencan."
Y/N menunjuk ke arah Draco. "Sekarang giliranmu."
Draco menyeringai. "Riddle, lupakan saja ajakan Potter yang menyedihkan itu. Aku akan mengajakmu makan malam di Hutan Terlarang... dengan semua yang kau suka. Anggap saja itu... acara spesial."
Y/N menatapnya, lalu menunjuk ke arah Fred dan George. "Sekarang kalian."
Fred dan George saling menatap, lalu tersenyum. Fred maju. "Y/N, kami tidak akan mengajakmu berkencan, atau makan malam di Hutan Terlarang. Kami akan mengajakmu ke tempat rahasia kami. Kita bisa merencanakan lelucon terbaik di Hogwarts, dan... kau bisa jadi ratu lelucon kami."
"Atau, kami akan memberimu semua produk baru kami, dan kau bisa jadi penasihat kami," tambah George.
Y/N menatap mereka semua, lalu ia tertawa kecil. Tawa yang sangat jarang, yang membuat semua orang terkejut, bahkan Hermione.
"Kalian... konyol," kata Y/N. "Tapi... aku menghargai kejujuran kalian."
Ia lalu menatap mereka satu per satu. "Harry, aku tidak tahu apakah aku siap untuk berkencan, tapi... terima kasih. Draco... makan malam di Hutan Terlarang? Kedengarannya terlalu dramatis. Dan Fred, George... ide kalian lucu."
Y/N menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Aku akan memikirkannya. Tapi untuk sekarang... aku harus menyelesaikan tugasku. Kalian bisa menunggu di luar."
Mereka berempat menatap Y/N, lalu mereka saling melirik satu sama lain. Mereka tidak mau pergi, tapi mereka juga tidak punya pilihan. Y/N sudah berbicara.
Fred dan George mundur perlahan, lalu diikuti oleh Harry dan Draco yang masih saling memelototi. Setelah mereka berempat keluar, Y/N menatap Hermione yang masih berdiri di sana.
"Kenapa, Hermione?"
Hermione tersenyum. "Kau tahu, Y/N, ini pertama kalinya aku melihat mereka berempat sangat gugup. Tapi kau berhasil membuat mereka diam."
Y/N hanya mengedikkan bahu, kembali ke bukunya. "Mereka hanya... terlalu berisik."
Namun, di dalam hatinya, Y/N merasa aneh. Perhatian dari banyak orang, perasaan yang ia tidak mengerti, dan kebingungan yang membuatnya semakin penasaran. Ia tahu, tahun ini tidak akan berjalan dengan mudah.
Tentu, ini dia kelanjutan cerita yang akan membawa Y/N ke dalam percakapan serius dengan ayahnya.
Pertemuan Rahasia
Y/N selesai mengerjakan tugasnya saat malam sudah larut. Perpustakaan sudah kosong, dan hanya suara gemuruh pelan dari luar yang terdengar. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, ia mengambil jalan rahasia yang hanya ia ketahui. Jalan itu membawanya ke sebuah ruangan tersembunyi, yang hanya bisa diakses dengan mantra khusus.
Di dalam ruangan itu, api unggun menyala redup, dan bayangan-bayangan menari-nari di dinding. Di tengah ruangan, berdiri sosok yang familiar. Tom Marvolo Riddle, alias Lord Voldemort, menunggu dengan jubah hitamnya yang elegan. Di sampingnya, Nagini—ular besarnya—melingkar dengan tenang.
Y/N berjalan mendekat, tatapannya dingin. "Ayah. Ada apa?"
Voldemort menoleh, matanya merah menyala. "Ada informasi penting. Aku tidak bisa menyampaikannya melalui surat."
"Baiklah. Aku sibuk dengan ujian O.W.L.," kata Y/N, suaranya terdengar lelah.
"Ujian hanyalah permainan anak-anak. Apa yang akan aku katakan ini adalah takdirmu," kata Voldemort. Ia berjalan mendekati Y/N, sorot matanya tajam. "Dengarkan aku baik-baik, Y/N. Aku memiliki rencana. Rencana untuk membawamu ke sisiku, untuk melatihmu. Aku akan membuatmu menjadi penyihir terkuat yang pernah ada. Kau akan menjadi penerusku."
Y/N mengerutkan dahi. "Ayah, aku tidak mau menjadi penerusmu. Aku punya jalan hidupku sendiri. Aku punya teman-teman di sini. Mereka tidak peduli siapa aku. Mereka hanya melihatku sebagai Y/N."
"Mereka hanya melihatmu sebagai kelemahan," balas Voldemort, suaranya dingin. "Mereka akan mengkhianatimu. Potter, Weasley, bahkan Granger. Mereka semua akan berbalik melawanku dan juga dirimu. Mereka akan membencimu saat mereka tahu siapa kamu sebenarnya."
Y/N mengepalkan tangannya. "Tidak. Mereka berbeda. Mereka peduli padaku."
"Mereka hanya menggunakanmu," Voldemort mendesis. "Mereka melihat potensimu, dan mereka ingin memanfaatkannya. Tidakkah kau menyadari bahwa Potter selalu mendekatimu? Weasley? Mereka ingin mengawasimu, untuk memastikan kau tidak menjadi ancaman bagi mereka."
"Tidak! Kau salah!" Y/N meninggikan suaranya. "Mereka adalah temanku!"
Voldemort tertawa kecil, tawa yang menusuk. "Teman? Mereka adalah musuhmu. Mereka akan menyerangmu saat kau paling tidak siap. Kau harus melawannya. Kau harus memilih sisiku, Y/N."
"Aku tidak setuju!" Y/N berteriak. Matanya memancarkan amarah yang tidak biasa. "Aku tidak akan memilih sisi mana pun! Aku akan memilih jalanku sendiri!"
"Jalanmu sendiri? Jalanmu sudah ditentukan! Kau adalah darahku! Kau memiliki kekuatan, dan kekuatan itu adalah takdirmu!" Voldemort membentak.
Y/N menggelengkan kepalanya. "Aku tidak peduli. Aku tidak akan menyakiti siapapun. Aku tidak ingin menjadi seperti itu. Aku ingin menjadi Y/N, bukan... bukan penerusmu."
Voldemort terdiam, menatap putrinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kekecewaan dan amarah di matanya. "Kau masih muda. Kau masih tidak mengerti," katanya. "Suatu hari, kau akan sadar. Dan saat itu, aku akan menunggumu."
Y/N tidak menjawab. Ia hanya menatap ayahnya, matanya berkaca-kaca. Ia tidak ingin menjadi bagian dari perang ini. Ia hanya ingin hidup normal.
"Sekarang pergilah," kata Voldemort. "Sebelum ada yang curiga. Pikirkanlah apa yang aku katakan. Pilihlah dengan bijak, Y/N."
Y/N berbalik, lalu pergi. Ia berjalan kembali ke asramanya, hatinya hancur. Ayahnya ingin ia menjadi penerusnya. Tapi ia tidak bisa. Ia tidak ingin kehilangan teman-temannya, ia tidak ingin menyakiti siapa pun. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Di dalam kamar asramanya, Y/N memeluk lututnya, merasa bingung dan kesepian. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di satu sisi, ada ayahnya yang mengancam akan menghancurkan segalanya. Di sisi lain, ada teman-temannya yang ia sayangi. Y/N merasa terjebak di antara dua dunia, dan ia tidak tahu harus memilih yang mana.