Malam Minggu.
Kata orang, malam Minggu itu identik dengan jalan bareng pacar, nonton bioskop, atau sekadar nongkrong di warung kopi. Tapi buat Eri, malam Minggu ini terasa seperti acara besar—besar banget. Karena ini pertama kalinya ia keluar berdua dengan pacarnya, Redy.
Eri, mahasiswi semester satu yang masih lugu dan polos, bahkan sudah menyiapkan outfit sejak sore. Kaos putih simpel, jeans biru, dan cardigan cokelat muda. Rambutnya diikat kuncir kuda, biar nggak kelihatan ribet. Sambil berdiri di depan kaca kosannya, Eri menghela napas panjang.
“Duh… ini aku beneran pacaran, ya?” bisiknya pada bayangan sendiri.
Senyum kecil muncul di bibirnya, lalu cepat-cepat ia menepuk pipi.
“Tenang, Eri. Jangan norak.”
---
Tak lama kemudian, Redy datang menjemput dengan motor matic-nya. Ia juga masih mahasiswa semester satu, sama-sama baru masuk kampus. Bedanya, Redy sudah terlihat lebih santai, lebih percaya diri. Bahkan, kalau jalan di kampus, banyak yang melirik.
“Yuk?” katanya sambil senyum.
Eri hanya mengangguk sambil menunduk. Deg-degan. Sumpah, jantungnya seperti drum marching band.
Di jalan, angin malam kota membuat Eri makin grogi. Ia duduk kaku di boncengan, takut salah posisi. Redy yang menyadarinya sempat menoleh sebentar.
“Kamu nyaman?” tanyanya.
Eri buru-buru mengangguk. “I-iya. Nyaman kok.”
Padahal dalam hati ia berteriak: Nyaman? Enggak sama sekali, Red! Aku ini gemeteran!
---
Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan Cina sederhana. Lampion merah tergantung di pintu, aroma tumisan yang khas menyeruak keluar. Di papan nama tertulis: Rumah Makan Shanghai Baru.
Eri mengerjap.
Hah? Kita makan di sini?
“Masuk yuk,” ajak Redy dengan santai.
Eri menurut saja, walau sebenarnya bingung. Sepanjang hidupnya, ia belum pernah makan di rumah makan Cina. Biasanya kalau makan keluar ya di warung padang, bakso, atau ayam geprek. Masuk ke tempat ini, ia jadi canggung sendiri.
Mereka duduk di meja bulat yang sudah dilapisi taplak merah. Lampu remang-remang membuat suasana terasa hangat tapi asing. Seorang pelayan datang sambil membawa menu.
“Dua porsi nasi campur ya, Bang,” kata Redy cepat.
Eri melirik, heran. Loh, kok nggak nanya aku dulu mau makan apa? Tapi ia nggak berani protes.
“Ehm… nasi campur itu apa ya?” bisiknya pelan setelah pelayan pergi.
Redy tersenyum, mencondongkan badan. “Tenang, enak kok. Ada daging ayam, babi merah, telor, sama sayur tumis. Kamu pasti suka.”
Eri mengangguk kecil. Dalam hati ia berdoa: Tuhan, semoga aku nggak salah cara makan.
---
Tak lama, dua piring besar nasi campur terhidang di depan mereka. Wangi daging panggang dan bumbu khas Cina langsung menyerang hidung Eri. Matanya membulat.
“Wah… gede banget porsinya,” gumamnya.
Redy tertawa kecil. “Santai aja. Kalau nggak habis, aku bantuin.”
Mereka mulai makan. Redy terlihat santai, cekatan menggunakan sendok dan sumpit yang disediakan. Eri memilih pakai sendok saja, takut salah gaya kalau nekat pakai sumpit.
Suapan pertama masih aman. Suapan kedua juga. Tapi ketika Eri hendak mengambil daging panggang dengan sendok, entah kenapa jari tangannya kaku, dan… klontang!
Sendok itu jatuh tepat ke lantai. Suaranya nyaring, membuat beberapa orang di meja sebelah menoleh.
Eri langsung panik. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
Ya ampun, malu banget! Rasanya pengen kabur sekarang juga!
Ia melirik Redy dengan hati-hati. Untung cowok itu menunduk, pura-pura sibuk mengunyah. Seolah nggak dengar atau nggak lihat apa yang terjadi.
Dia pura-pura nggak lihat, kan? Iya, pasti. Aduh, makasih, Redy. Aku bisa selamat dari malu tingkat dewa ini.
Pelayan yang kebetulan lewat cepat mengambil sendok jatuh itu, menggantinya dengan yang baru.
“Silakan, Mbak,” katanya ramah.
Eri mengangguk cepat. “M-makasih.”
Dalam hati ia menjerit: Duh, kok bisa sih sendok aja jatuh? Malam Minggu pertama lagi!
---
Setelah insiden sendok itu, suasana jadi canggung. Eri menunduk terus, hampir nggak berani menatap Redy.
Tapi Redy tiba-tiba bersuara, lembut. “Eri.”
“Ya?”
“Kamu suka makanannya?”
Eri ragu sejenak, lalu mengangguk. “Ehm… enak kok.”
Redy tersenyum. “Baguslah. Aku sengaja ajak kamu ke sini biar coba sesuatu yang baru. Nggak apa-apa kan?”
Eri mendongak sedikit. Matanya bertemu dengan mata Redy. Ada rasa hangat yang aneh. Deg-degan lagi.
“Nggak apa-apa,” jawabnya lirih. “Cuma… aku tadi malu banget…”
“Soal sendok jatuh?” Redy tiba-tiba nyengir.
Eri langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kamu lihat ternyata!”
Redy terkekeh. “Iya lah. Aku pura-pura nggak lihat, takut kamu makin salah tingkah.”
Eri menunduk makin dalam. Pipinya sudah semerah nasi goreng pakai cabe rawit.
“Eri.” Suara Redy kembali lembut.
Eri mengangkat kepalanya pelan.
Redy tersenyum lebar. “Buat aku, kamu nggak perlu malu. Malah justru itu yang bikin kamu lucu.”
Eri tertegun.
Ya Tuhan, dia barusan bilang aku lucu?
Redy melanjutkan, “Pacaran itu nggak harus selalu keren atau sempurna. Kadang momen-momen kecil kayak gini malah jadi kenangan. Bayangin aja, nanti kalau kita udah lama pacaran, kita bisa ketawa lagi inget pertama kali kamu makan di sini dan sendokmu jatuh.”
Eri menunduk, senyum kecil akhirnya muncul di bibirnya. Malunya pelan-pelan luntur, berganti hangat di hati.
---
Makan malam itu berakhir dengan tawa kecil dan obrolan ringan. Eri sudah mulai berani bercerita tentang hal-hal konyol lain yang pernah dialaminya. Redy mendengarkan dengan sabar, sesekali melempar candaan yang bikin Eri ngakak.
Ketika akhirnya mereka keluar dari rumah makan, lampion merah di pintu berayun pelan tertiup angin. Malam masih muda, tapi bagi Eri, hatinya sudah penuh kenangan baru.
Di parkiran, sebelum naik motor, Redy menoleh padanya. “Malam Minggu pertama, sukses nggak menurutmu?”
Eri pura-pura mikir. “Hmm… 70 persen sukses. Soalnya sendokku jatuh.”
Redy tertawa lebar. “Berarti aku harus bikin yang 100 persen di malam Minggu berikutnya.”
Eri ikut tertawa. “Kita lihat nanti.”
Dan malam itu, di atas motor yang melaju pelan, Eri tersenyum sendiri. Malu-malu, iya. Tapi juga bahagia. Karena bersama Redy, bahkan sendok jatuh pun bisa berubah jadi cerita manis.
---
✨ Selesai.