Gita menatap bayangan dirinya di kaca jendela kamar. Seragam putih abu-abu yang dikenakannya sudah mulai terasa sempit, pertanda tubuhnya pelan-pelan tumbuh dewasa. Ia menarik napas panjang. Hari itu suasana di sekolah terasa berbeda, bukan karena ulangan atau guru yang marah, melainkan sebuah kabar yang menusuk telinganya sejak pagi: Exsel, pacarnya, dikabarkan berpacaran dengan Indah, siswi kelas dua.
Awalnya ia tidak percaya. Bagaimana mungkin? Selama setahun ini, Exsel selalu mengisi hari-harinya, meski kini laki-laki itu sudah bekerja dan jarang datang menjemput. Gita mencoba menepis gosip itu, tapi setiap kali teman-temannya membisikkan nama Indah dan Exsel, dadanya bergetar, seolah ada yang meremas dari dalam.
Sampai akhirnya, sepulang sekolah, Gita memberanikan diri menghampiri Indah yang sedang duduk bersama teman-temannya. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya memerah, tangannya gemetar. Ia gadis yang polos, pemalu, tak pandai menyusun kata-kata, namun hari itu ia tahu, harus ada jawaban yang jelas.
“Indah,” panggil Gita dengan suara hampir tak terdengar. Teman-teman Indah menoleh, sebagian tersenyum penuh arti. Indah, dengan sikap lincahnya, menatap Gita sambil menaikkan alis.
“Ada apa, Kak Gita?” tanyanya, santai.
Gita menelan ludah, lalu dengan suara bergetar berkata, “Aku cuma mau tanya... Bener nggak, kamu pacaran sama Exsel?”
Suasana seketika hening. Indah menatapnya lama, kemudian menghela napas. “Aku... nggak tahu kalau Exsel pacarnya Kakak. Aku kira dia nggak punya siapa-siapa.”
Jawaban itu menghantam dada Gita. Kata-kata “nggak tahu” terdengar seperti belati. Tapi sebelum ia sempat bereaksi, Indah sudah melanjutkan dengan suara lebih tegas.
“Kalau Kakak nggak percaya, ayo kita samperin aja rumahnya. Biar jelas.”
Gita ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin tahu kebenaran, meski kebenaran itu mungkin menyakitkan.
---
Sore itu, mereka berdua berjalan menuju rumah Exsel. Langkah Gita terasa berat. Jantungnya berdebar semakin kencang. Ia bahkan sempat menunduk sepanjang jalan, takut bertemu tatapan orang yang mengenalnya. Sementara Indah melangkah ringan, wajahnya penuh percaya diri.
Sampai di depan rumah itu, Gita berhenti. Dari jendela, terlihat sosok Exsel. Rambutnya masih basah, sisir masih di tangannya, tanda ia baru selesai mandi. Tubuhnya terlihat tegap, wajahnya terlihat tampan seperti biasanya.
Saat pandangan Exsel menyapu ke arah jalan, Gita panik. Refleks, ia menunduk lalu berjongkok , bersembunyi di balik pagar rumah itu. Nafasnya memburu, pipinya memanas. Ia merasa begitu kecil, begitu tidak berarti.
Sementara itu, Indah berdiri tegak di depan rumah, tanpa ragu melangkah masuk begitu pintu terbuka.
Gita hanya bisa menatap dari celah pagar. Ia ingin sekali berteriak, ingin sekali masuk dan menanyakan segalanya langsung. Tapi lidahnya kelu. Tubuhnya seolah terkunci oleh rasa malu dan takut.
---
Tak jauh dari situ, suara tawa terdengar dari samping rumah. Gita menoleh, melihat Edy dan Febri, dua pemuda sahabat Exsel, sedang asyik bermain biliar di sebelah rumah Exsel. Dengan kikuk, ia melangkah ke sana, mencoba menutupi kegugupannya.
“Eh, Gita... sini-sini,” sapa Febri ramah. “Mau nonton kita main?”
Gita hanya tersenyum tipis, duduk di kursi kayu yang ada di dekat meja biliar. Tangannya ia kepalkan erat di atas pangkuan. Matanya sesekali melirik ke arah rumah Exsel, menunggu Indah keluar.
Nunggu Exsel ya tanya Edy.
Namun Gita hanya tersenyum malu
Menit demi menit berlalu. Langit mulai berubah jingga. Tapi pintu rumah Exsel tak kunjung terbuka. Indah tidak keluar, Exsel pun tidak tampak.
Hati Gita makin lama makin perih. Ia merasa seperti orang asing yang menunggu sesuatu yang tidak pernah dijanjikan. Seperti tamu tak diundang yang tak diinginkan kehadirannya.
“Gita, kok bengong aja? Lagi ada masalah?” tanya Edy, menyadari wajah sendu gadis itu.
Gita cepat-cepat menggeleng. “Enggak, nggak ada apa-apa,” jawabnya lirih.
Tapi hatinya menjerit. Air matanya hampir tumpah, namun ia tahan. Ia tak ingin terlihat lemah di depan orang lain.
---
Matahari tenggelam, jalan mulai sepi. Akhirnya, Gita pamit pulang ke Edy dan Febri dengan langkah berat, Gita berdiri. Ia menatap sekali lagi rumah itu. Dari luar, rumah Exsel tampak tenang, seolah tak ada badai yang sedang merobek hatinya.
“Indah nggak keluar-keluar ya...” gumamnya pelan.
Ia ingin mengetuk pintu, ingin memastikan sendiri. Tapi bayangan wajah Indah yang penuh percaya diri, dan sikap Exsel yang tadi sempat melihat ke arahnya tanpa berbuat apa-apa, membuatnya ciut.
Dengan dada sesak, ia memilih pulang.
---
Sepanjang jalan, Gita menunduk. Langkahnya lambat, seperti menyeret beban berat yang tak terlihat. Malam turun, angin berhembus dingin, namun tubuhnya terasa panas oleh rasa malu dan kecewa.
“Kenapa aku sepolos ini? Kenapa aku nggak bisa kayak Indah, yang berani?” pikirnya.
Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke kamar. Ia menutup pintu, duduk di tepi ranjang, dan akhirnya membiarkan air matanya jatuh. Semua penantian sore itu, semua keberaniannya untuk datang, justru berakhir dengan kehampaan.
Bayangan Exsel yang sedang menyisir rambut di jendela terus terulang di benaknya. Pandangan mata laki-laki itu terasa jauh, asing, tak lagi seperti pacar yang dulu begitu hangat menyayanginya.
Dan yang lebih menyakitkan, Gita merasa dirinya kalah. Kalah oleh Indah yang lebih berani, lebih lincah, lebih bisa menempatkan diri. Sementara dirinya hanya bisa bersembunyi di balik pagar, menunggu tanpa kepastian.
---
Malam itu, Gita menulis di buku hariannya.
"Hari ini aku belajar sesuatu. Ternyata mencintai bukan hanya tentang setia menunggu, tapi juga berani mempertahankan. Aku kalah, karena aku hanya berani mencintai dalam diam. Sementara yang lain berani melangkah. Aku kecewa, aku malu, tapi aku juga sadar... mungkin ini caranya Tuhan mengajariku tentang hati. Entah besok aku masih bisa mencintai Exsel, atau mungkin aku harus belajar melepaskan. Yang pasti, sore tadi, di balik pagar rumah itu, sebagian dari hatiku sudah tertinggal, retak, dan tak akan pernah sama lagi."
Air mata kembali mengalir. Gita memeluk bantalnya erat-erat. Ia tahu malam itu akan panjang. Tapi ia juga tahu, meski sakit, ia harus tetap berjalan.
Sekian