Langit malam itu penuh dengan kilatan lampu kembang api yang siap menyala, seolah seluruh kota sudah menyiapkan pesta besar untuk menyambut tahun baru. Jalan-jalan ramai dipadati anak-anak muda dengan pakaian terbaik mereka. Pasangan-pasangan bergandengan tangan, tertawa, dan berfoto bersama.
Di antara keramaian itu, seorang gadis bernama Nia berjalan bersama teman-temannya. Jantungnya berdebar, bukan karena suasana meriah, tetapi karena harapan besar yang ia simpan malam ini. Malam pergantian tahun seharusnya menjadi momen istimewa. Ia sudah membayangkan bagaimana rasanya berdiri di samping Abby, pacarnya, menghitung detik terakhir tahun yang lama, lalu berpelukan erat di menit pertama tahun yang baru.
Bagi Nia, itu bukan hanya sekadar perayaan. Itu adalah simbol: bahwa ia dan Abby akan terus melangkah bersama ke tahun berikutnya.
“Eh, Ni, rame banget ya!” seru salah satu temannya sambil menunjuk ke arah kerumunan.
“Iya…” jawab Nia, senyumnya tipis. Pandangannya sibuk mencari satu wajah yang ia rindukan sejak sore tadi.
Dan benar saja, dari kejauhan matanya menangkap sosok yang begitu dikenalnya. Abby.
Ia berdiri di tengah kerumunan, senyumnya khas, tubuhnya tegap, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan malah menambah daya tariknya.
“Niaaa, itu Abby kan?” salah satu temannya menunjuk.
Nia tersenyum, dadanya dipenuhi rasa bahagia. Tanpa pikir panjang, ia berlari, meninggalkan teman-temannya yang masih berteriak-teriak memanggilnya.
Ia berlari secepat mungkin, melewati orang-orang yang sibuk dengan kamera dan kembang api. Setiap langkahnya semakin mendekatkan pada Abby, dan semakin membuat hatinya dipenuhi rasa hangat.
“Abby!” panggil Nia begitu ia sampai di hadapan cowok itu. Nafasnya tersengal karena terlalu bersemangat.
Abby menoleh, sedikit terkejut. “Eh, Nia… kamu sama siapa ke sini?” tanyanya sambil melirik ke arah belakang, mencari-cari.
“Sama teman-teman aku,” jawab Nia sambil tersenyum. “Aku pikir malam ini kita bisa ngerayain bareng. Aku—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Abby menyela dengan nada datar.
“Maaf, Ni. Aku nggak bisa sama kamu malam ini. Aku mau pergi sama anak-anak.”
Waktu seakan berhenti. Suara musik, sorak-sorai, kembang api—semua mendadak lenyap dari telinga Nia. Yang terdengar hanya kalimat singkat itu, menghantam jantungnya tanpa ampun.
“A-apa?” suaranya nyaris tak terdengar.
Abby tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, seperti basa-basi, lalu melangkah pergi.
Nia terpaku. Matanya mengikuti setiap langkah Abby.
Ia berdiri terpaku, tubuhnya gemetar menahan luka yang tiba-tiba menusuk begitu dalam. Hanya beberapa detik lalu ia berlari dengan senyum sumringah, membayangkan betapa indahnya malam pergantian tahun bersama Abby, kekasih yang selama ini menjadi alasan ia bertahan di setiap hari. Namun senyum itu kini hilang.
"Aku nggak bisa malam ini sama kamu. Aku mau pergi sama anak-anak," kata Abby dingin, bahkan tanpa sedikit pun menatap wajah Nia lebih lama.
Seolah kalimat itu saja belum cukup menyayat, Nia kemudian melihatnya berjalan menjauh bersama seorang wanita yang tidak ia kenal. Wanita itu melingkarkan tangannya di lengan Abby dengan begitu ringan, seolah mereka sudah terbiasa. Seketika jantung Nia serasa diremas, hancur menjadi serpihan yang tak bersisa.
Langkah mereka semakin menjauh. Nia hanya bisa memandangi punggung Abby sampai akhirnya sosok itu lenyap di antara keramaian malam. Motor mereka melaju kencang, meninggalkan jejak suara yang menambah sunyi di dada Nia.
“Kenapa harus aku yang merasakan ini?” batin Nia lirih, suaranya tertelan riuh tawa pasangan-pasangan muda yang sedang bersorak menanti detik pergantian tahun.
Air matanya jatuh begitu saja. Ia buru-buru menghapusnya, takut terlihat lemah di depan teman-temannya. Tapi luka di hatinya terlalu besar untuk bisa ditutupi. Teman-temannya masih asyik bercanda, sibuk berfoto, dan menghitung menit menuju pukul dua belas. Nia mencoba tersenyum, namun wajahnya terasa kaku.
Ia mundur beberapa langkah, mencari tempat sepi di antara kerumunan. Di pinggir jalan, ia duduk di atas trotoar, memeluk kedua lututnya erat-erat. Pikirannya kacau. Ia mengingat semua momen bersama Abby: tawa, janji, dan kata-kata manis yang dulu pernah membuatnya percaya. Apakah semua itu bohong?
Suara kembang api kembali memecah langit, warnanya indah berhamburan, tapi bagi Nia, semuanya terasa abu-abu. “Harusnya malam ini aku bahagia, berdiri di sampingmu sambil menatap langit. Tapi kenapa kamu memilih pergi dengan orang lain?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Handphonenya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Abby. Dengan hati yang masih setengah berharap, Nia buru-buru membuka. Namun isinya membuat hatinya semakin remuk:
> Maaf, aku nggak bisa sama kamu. Jangan tungguin aku malam ini.
Itu saja. Singkat, dingin, tanpa penjelasan. Nia menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis lebih keras. Rasanya ia ingin berteriak, ingin bertanya mengapa Abby tega memperlakukannya seperti ini. Tapi jemarinya gemetar, ia bahkan tak sanggup membalas satu kata pun.
Jam menunjuk pukul 23:59. Semua orang mulai menghitung mundur, suara mereka bersatu:
“Sepuluh… sembilan… delapan…”
Nia memejamkan mata. Air matanya jatuh lagi, deras kali ini.
“Tujuh… enam… lima…”
Ia berharap waktu bisa berhenti. Malam ini, pergantian tahun bukanlah awal yang indah baginya, melainkan titik di mana hatinya benar-benar hancur.
“Empat… tiga… dua… satu!”
Langit kembali meledak dengan kembang api warna-warni. Suara terompet, tawa, dan sorakan memenuhi udara. Semua orang bersuka cita, saling berpelukan, mengabadikan momen bersama orang yang mereka sayangi.
Dan di tengah itu semua, Nia duduk sendiri. Kesepian.
Dadanya terasa sesak. Ia menunduk, menatap tanah yang basah oleh air matanya sendiri. "Selamat tahun baru, Nia," ucapnya lirih, sarkastis pada dirinya sendiri. “Awal tahun dengan luka paling besar.”
Teman-temannya akhirnya sadar Nia tidak ada di dekat mereka. Salah satu dari mereka menghampiri, mencoba mengajaknya kembali bergabung. Tapi Nia hanya menggeleng pelan, berusaha tersenyum walau wajahnya sembab. “Aku capek, pengen sendiri dulu,” katanya singkat.
Temannya pun pergi, meninggalkan Nia dalam sunyi lagi.
Di kejauhan, Nia membayangkan Abby sedang tertawa bersama perempuan itu. Mungkin mereka juga sedang menonton kembang api, berdiri berdampingan, menikmati malam yang seharusnya menjadi miliknya. Bayangan itu menancap dalam-dalam, membuat luka di dada semakin perih.
Nia menggenggam tangannya erat. Hatinya ingin marah, ingin membenci Abby. Namun cinta yang masih besar membuatnya justru semakin sakit. “Kalau memang kamu sudah nggak cinta, kenapa nggak bilang dari awal? Kenapa harus hancurin aku di malam ini?” gumamnya, suara tercekat.
Pikirannya berkelana. Ia mengingat saat-saat pertama kali Abby mengajaknya jadian, cara Abby tersenyum, janji-janji tentang masa depan yang ingin mereka jalani bersama. Semuanya kini terasa palsu. Nia merasa dirinya hanya boneka, sementara Abby sudah punya pilihan lain.
Kembang api terakhir meletus di langit. Keramaian mulai mereda, tapi hati Nia justru semakin kosong. Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidupnya.
Ia berdiri perlahan, melangkah menjauh dari keramaian. Angin malam menerpa wajahnya, dingin menusuk tulang. Tapi rasa sakit di dalam dada jauh lebih dingin dari itu.
Saat berjalan, Nia berbisik pada dirinya sendiri, seolah berusaha menguatkan hati yang sudah hancur:
“Mulai malam ini, aku harus belajar hidup tanpa Abby. Meski aku masih mencintaimu, aku harus bisa melepasmu. Selamat tinggal, Abby… dan selamat tahun baru.”
Di langkahnya yang gontai, Nia tahu tahun itu akan jadi tahun penuh perjuangan. Luka ini tidak akan sembuh dalam semalam. Tapi ia berjanji, suatu hari nanti, ia akan tersenyum lagi tanpa harus menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar memilihnya.
SELESAI