Orang berbadan tinggi itu pernah bilang,
"Untuk bisa sukses, kau harus menghabisi jatah gagalmu."
Karena itu, aku tidak pernah menyerah mengejar tujuanku. Menemukan warna yang tidak pernah ada. Warna tidak nyata, yang mereka bilang sebagai kemustahilan. Karena hanya dimiliki oleh para manusia dengan kasta tertinggi.
Di kota baru ini, aku kembali memulai dari awal. Aku pindah bukan karena menyerah. Tapi, sebaliknya, karena aku tidak menyerah. Aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan terus mengejar tujuanku. Seperti yang Kakek katakan, aku percaya perkataannya. Akan ku buktikan pada tawa nyaring yang mengusik. Perkataan Kakek nyata. Akan kubuktikan.
---------------------------
Mungkin sudah kota ke 5 yang kini Waran singgahi. Pria berusia 23 tahun yang dikenal dengan 'pelukis sentuhan hati' itu tidak pernah berada di sebuah kota lebih dari 2 bulan.
Salah satu ciri khasnya dan juga ajang menunggu bagi para penggemar lukisan Waran. Setiap ia pindah dari satu kota, pasti tidak lama akan ada lukisan baru yang di terbitkan. Lukisan yang tidak pernah jauh dari tema keluarga yang sedang memandang langit malam.
Rutinitas pagi Waran, seperti biasa memasuki toko roti di perempatan jalan. Berdiri tepat di depan meja kasir yang diapit dua etalase panjang berisikan berbagai roti dan pastry.
"Strawberry Puff pastry 2, sama Moca Latte."
Bibi pemilik toko menyiapkan pesanan Waran dan menaruhnya di atas nampan rotan berukuran 30x10.
"Kamu suka manis, ya? Hati-hati, anak zaman sekarang banyak kena diabetes diusia dini."
Waran tersenyum ramah, "Ritual biar imajinasi saya tetap jalan, Bi." ia membawa nampan berisi pesanannya. Berjalan mencari tempat duduk, mengambil posisi meja ujung toko.
Bibi pemilik toko menggeleng, "Suka banget gambar api." gumam bibi lalu kembali fokus menyiapkan menu hari ini.
Sedang sibuk Waran menikmati Fla di tengah pastry, sebuah buku tebal dengan cover biru tua diletakan kasar di hadapannya. Seorang wanita seperempat abad dengan rambut panjang berwarna biru langit malam duduk di bangku hampa. Mengisi ruang kosong dalam pandangan Waran.
"Huaaa, Jaga UGD terus! Bisa-bisa aku mati jadi arwah penunggu UGD!" keluh wanita itu. Tanpa permisi ia mengambil satu pastry milik Waran yang masih utuh dan menggigitnya dengan kasar.
Waran terkekeh, mengabaikan pastry yang sudah ia gigit. Lelaki itu menyandarkan punggung, kedua tangan ia lipat di antara dada dan perut, pandangannya lurus menatap wanita di hadapannya lekat.
Dulu, saat pertama mereka tidak sengaja bertemu di cafe ini. Jiwa pelukis Waran tidak dapat membendung rasa penasaran dari warna rambut wanita yang terlihat angkuh, menatap keluar jendela sambil memakan pastry dengan sangat tidak anggun.
" Rambutmu. Warna langit malam itu, apa namanya?" tanya Waran tanpa basa-basi.
" Langit malam? Tidak sopan, ini warna Royal Blue. Biru bangsawan." jawab si wanita sedikit emosi. Dan sejak itu, Waran menjadi sasaran untuknya melimpahkan emosi pekerjaan. Sampai saat ini.
Si wanita yang merasa terganggu terus menerus ditatap Waran memberi pandangan tajam, telak ke arah Waran. "Apa? Tertarik dengan wajahku?"
Selesai dengan satu pastry yang ia curi, wanita itu menepuk-nepuk tangannya di atas meja dengan perlahan. Ia membenarkan posisi duduk, dagu dinaikkan dengan angkuh, mengikuti gestur pria di hadapan. Seolah sedang menantang.
Waran kembali dibuat terkekeh. Pria itu meminum beberapa teguk Moca Latte pesanannya, sebelum memberi jeda untuk memulai percakapan.
"Kau... Benar sudah pernah merawat orang di kota ini?" selidik Waran.
"Tentu!" dengan bangga, wanita penunggu UGD menjawab. "Aku bahkan hafal warna darah mereka." ungkapnya diakhiri dengan tawa ringan.
"Kapan waktu liburmu?" Waran menyodorkan buku menu yang ada di pinggir meja. "Sebagai terima kasih. Aku tidak harus membuang banyak tenaga, hanya perlu bertanya padamu"
Rona merah menjarah seisi wajah, dengan kaku wanita itu membenarkan rambutnya.
"Li-libur? Apa itu? Aku bahkan lupa kapan waktu malam. Tapi, karena pelukis pemula ini membutuhkan model. Dengan senang hati." berusaha terlihat biasa. Tapi, terlihat jelas di mata Waran. Wanita di depannya ini sedang menahan rasa antusias yang amat.
"Jadi, kapan?" tanya si wanita. Pandangan tajam itu kini menatap Waran penuh binar harap.
"Besok sore."
20.00
Seorang gadis mengenakan seragam SMP yang masih melekat dengan lecak dan noda cat minyak di lengan baju kemeja panjang, masuk ke dalam toko roti dengan ceria.
"Ibuu, aku bantu beres - beres, ya!!" girangnya berdiri di hadapan meja kasir.
Bibi pemilik toko menghela napas, " Kau terlalu banyak makan manis akhir - akhir ini. Tidak baik." omel wanita yang akan memasuki kepala 4 itu.
Anak itu melenguh hendak melayangkan protes. Tapi, ia rasa yang dikatakan sang ibu ada benarnya. Beberapa hari belakangan ini, ia sering berdalih akan membantu menutup toko agar dapat beberapa roti atau pastry yang masih tersisa. Sepertinya memang harus berhenti sejenak, belum lagi Minggu depan pemeriksaan kesehatan bulanan di sekolah.
"Ah, benar!" bibi pemilik toko tiba - tiba menjentikan jari "Kau ikut ekstrakulikuler melukis, kan?" gadis pelajar itu mengangguk.
"Jangan sampai terkena baju!" lagi - lagi, omelan baru terlontar.
"O-oh, iya. Ya, he he."
Perlahan membawa kedua tangannya ke belakang badan. Dengan senyum tulus yang ia tunjukan pada sang ibu, tangannya berusaha melipat lengan baju tanpa menimbulkan gerakan mencurigakan. Justru hal itu membuat bibi pemilik toko menatap anaknya penuh selidik.
"Hahh, aku harus mencuci dengan ekstra." Keluh bibi pemilik toko. Sebagai ibu, ia tau pasti sang anak telah melakukan larangannya.
"Kau tau, pemuda pindahan itu. Ia sering meninggalkan noda merah di lengan bajunya. Pasti dia sering menggambar api. Saat ibu tanya, dia mengelak dan menjawab kalau dia suka langit sore. Pasti dia bohong, ibu anak 5 sepertiku tidak mudah di bohongi."
"Ehh~ bukannya kedua hal itu lebih cocok dengan komponen oranye." Tiba - tiba si anak tersenyum jahil. " Jangan - jangan, ia menggambar sebuah tragedi. Siapa tau pria itu dukun!"
Bibi pemilik toko berdecak kencang. "Pria setampan itu, mana mungkin dukun."
"Bagaimana kalau ia menggambar darah. Bagaimana menurutmu?" sebagaimana kebanyakan ibu, bibi pemilik toko mengajak anaknya untuk bergosip.
Si anak mengangkat kedua bahunya acuh, "Entahlah. Tapi kalau yang ia gambar bangsawan, darahnya pasti biru."
Bibi pemilik toko mengambil kemoceng yang sedang tertidur membujur di pojok meja kasir. Menggunakan benda berbulu warna - warni itu untuk memukul kepala anaknya.
"Itu hanya istilah! Katanya, disebut darah biru karena para bangsawan mudah emosi menyebabkan kekurangan oksigen. Bukan berarti darah ibu benar - benar ada."
Mulut gadis itu membulat, membentuk huruf O dan mengangguk pelan. "Begitu, ya. Bodoh sekali orang yang percaya."
"Kau percaya! Orang tuamu tidak pernah mengajari apa?" omel bibi pemilik toko dengan tatapan sinis.
Dengan santai si gadis menunjuk bibi pemilik toko, "Kau ibuku."
Mengeluarkan hembusan napas kasar. Bibi pemilik toko kembali memukulnya dengan kemoceng.
" Sudah, cepat bersihkan toko!"