I. Petunjuk yang Besar
Aku menerima kabar yang mengganggu — tentang seorang lelaki yang pulang dari Timur Jauh dalam keadaan yang tak lagi bisa digolongkan sebagai manusia sepenuhnya. Usianya sulit ditentukan; empat puluh tahun, mungkin lebih. Namun yang paling menusuk pikiranku adalah matanya — dua kolam gelap tanpa cahaya, seakan-akan roh yang mendiami jasad itu telah tersedot keluar oleh kekuatan yang tak pernah disebut dalam kitab-kitab manusia.
Mereka menyebutnya gila. Tetapi kegilaannya… tidak seperti demam jiwa yang dikenal para dokter. Ia adalah sesuatu yang lebih tua dari sejarah, seolah diwariskan dalam darah yang tercemar sumpah purba.
Kisah ini mengingatkanku pada paman dari pihak ayahnya, William Carter — seorang ilmuwan yang, di masa lalu, dikabarkan pernah menyentuh tabir realitas. Dia menyelinap ke lipatan-lipatan alam yang seharusnya tak pernah dikenal manusia. Tak seorang pun tahu pasti apa yang ditemuinya… dan mungkin itu memang yang terbaik. William menghilang, tenggelam dalam sunyi yang tak berbatas — hingga suatu hari ia ditemukan mati, dikelilingi manuskrip kuno yang tampak seperti peninggalan peradaban yang tak pernah tercatat dalam sejarah manusia.
Naskah-naskah itu sarat dengan lukisan mustahil — bentuk-bentuk yang menolak hukum geometri, simbol-simbol yang melilit seperti makhluk hidup dari mimpi buruk Plato. Saat pihak berwenang menemukan jasad William, mereka mengira itu adalah panggung ritual berdarah. Namun akhirnya, mereka menutup kasus itu sebagai bunuh diri seorang lelaki yang pikirannya runtuh dibebani rahasia yang terlalu besar.
Aku tak mempercayainya. William tidak bunuh diri — dia melarikan diri. Bukan dari manusia, bukan dari cinta yang hampa, tetapi dari sesuatu yang lebih tua dari dunia ini, sesuatu yang mengintai di celah realitas, menunggu saat untuk menuntut kembali ruang yang pernah menjadi miliknya sebelum kelahiran kita semua.
Didorong rasa ingin tahu — atau mungkin naluri yang lebih gelap — aku melangkah ke rumah peninggalan William Carter, bangunan yang lapuk dimakan waktu.
Pintu rumah itu berderit panjang, seperti keluhan makhluk yang dibangunkan dari tidur ribuan tahun. Udara di dalam terasa pekat, lembap, dan dingin, seolah menentang kehadiranku. Kertas-kertas berserakan di lantai, terbuang seolah-olah oleh tangan yang gemetar di ambang kewarasan. Simbol-simbol di atasnya berputar di mataku, seperti mengungkapkan logika lain — satu pemahaman yang tak bisa dijelaskan tanpa mengorbankan akal sehat.
Tulisan tangan William bukan huruf biasa, melainkan lambang-lambang purba yang merayap ke dalam benak. Aku tak membacanya… aku mendengarnya. Bisikan-bisikan merayap di bawah kesadaran, bagai dengungan dari laut tanpa nama.
Salah satu lembaran menyebut tentang makhluk-makhluk yang mendahului manusia — peradaban yang lenyap dilenyapkan oleh entitas yang lebih mengerikan, lebih tua, lebih asing. Makhluk itu, menurut catatan, pernah menampakkan diri pada William… dan kini, padaku.
Aku mencoba menolaknya sebagai khayalan seseorang yang kehilangan kewarasan. Tapi kemudian aku menemukan lembaran lain… dan tahu aku telah melangkah terlalu jauh.
Di atas kertas rapuh itu tergambar sosok mengerikan: tubuhnya dipenuhi ribuan mata merah, enam sayap berselaput penuh tengkorak manusia, tersusun dalam formasi yang mematahkan logika anatomi. Duri mencuat dari ujung sayap, dan dari tengah tubuhnya menjulur belalai tebal yang melindungi mulut sarat gigi, berputar seperti orbit bintang-bintang dalam pusaran yang tak terjangkau.
Aku menyimpan beberapa lembaran dan membawanya ke mobil. Namun ada sesuatu di dalam rumah itu… yang belum melepaskanku.
Aku kembali masuk. Di ruang yang semakin suram, selembar kertas jatuh dari rak — seolah dijatuhkan oleh tangan yang tak terlihat.
“Mereka yang percaya kepada N’rahal-Toth sedang memburuku… aku yakin mereka sudah mengepung rumah ini…”
Ketika aku menengadah, dari balik jendela retak itu aku melihat sepasang mata. Walau hanya sekejap, tatapannya mengoyak lapisan-lapisan jiwaku, menyingkap bagian yang bahkan aku sendiri enggan mengenalnya. Ada kehendak dalam tatapan itu — kehendak yang tak bisa dilawan atau dinegosiasikan.
Aku terdorong ke belakang. Rumah itu seolah berubah bentuk. Dindingnya melengkung dengan cara yang melanggar hukum ruang. Cahaya di luar menjadi kekuningan, lemah, seperti datang dari matahari yang sudah tua atau bintang yang terlupakan di tepi kosmos.
Lembaran di tanganku tampak baru ditulis, walau kertasnya lusuh. Tulisan itu bergetar di bawah cahaya:
“Nama itu bukan sekadar sebutan… Ia adalah kunci. Ia membuka. Ia memanggil. Dan sekarang, kau telah mengucapkannya.”
N’rahal-Toth. Nama itu berdesir di setiap lipatan otakku, menari di antara neuron dan kenangan. Ia bukan sekadar kata, tetapi gema dari sesuatu yang masih hidup… yang tidur di bawah sesuatu yang lebih dalam dari dasar laut, lebih jauh dari bintang paling jauh.
Dari tingkat atas, terdengar bunyi perlahan — sesuatu yang menggesek lantai dengan cakar atau tulang. Ia tak datang seperti langkah manusia, tetapi seperti keberadaan yang menyeret dirinya, sabar dan pasti, mengetahui tak ada jalan keluar bagiku.
Dan ketika napasku kian berat, aku tahu — sesuatu telah terbuka.
Sesuatu sedang turun dari tingkat atas rumah William Carter.
Dan ia tahu namaku.
Bunyi itu berulang, setiap langkahnya menekan ruang dan waktu. Aku terpaku, otot-ototku membeku — bukan hanya karena takut, tetapi karena pengenalan. Sebagian dari diriku, jauh di bawah segala yang rasional, mengenali makhluk itu… dari mimpi yang terlupakan, atau dari kehidupan yang bukan milikku.
Lalu, ia bersuara.
Bukan dengan suara yang terdengar telinga, melainkan getaran yang merayap langsung ke tulang. Ia menyebut nama lamaku — nama yang tak pernah kuceritakan pada siapa pun. Nama dari masa yang tak pernah dicatat sejarah.
“Aku tidak mencari kamu… tetapi kamu yang datang kepadaku.”
Aku menggenggam naskah itu, mencoba mengingat satu ayat pelindung. Tak ada yang muncul, kecuali satu ungkapan dari lembaran lain:
“Zhal’kuth en Dar-aat, Ka’nur vel N’rahal…”
Aku tak tahu artinya, tapi bibirku melafalkannya.
Sekejap kemudian, angin yang tak berasal dari dunia ini menerpa rumah. Lampu padam sekaligus, dan dalam gelap itu, aku mendengar ribuan suara — menangis, meraung, tertawa dalam kegilaan. Semuanya serentak, semuanya menuntut.
Dari tangga itu, ia muncul.
Bukan bayang. Bukan makhluk. Tapi pusat segala ketakutan purba manusia. Bentuknya terus berubah — sekejap manusia, sekejap ular, sekejap sesuatu dengan terlalu banyak mata dan tak cukup mulut untuk berteriak. Ia tidak melangkah, melainkan memaksakan keberadaannya ke dunia ini seperti tumpahan dari realitas yang terkoyak.
Ia berhenti hanya beberapa inci dariku.
Dalam kesunyian yang terlalu bising, ia memiringkan kepala yang tak berbentuk, dan berkata dengan suara yang akan terpatri selamanya:
“Warisan telah kembali kepada pewarisnya.”
Dan saat itu, aku mengerti: apa yang terjadi pada William Carter bukanlah akhir… melainkan awal.
Dan aku… adalah bab berikutnya.