Suara musik akustik mengalun pelan di kafe kecil itu. Lampu temaram, wangi kopi bercampur aroma rokok tipis dari meja sebelah.
Tika duduk di pojok bersama beberapa temannya, Meja mereka penuh gelas kosong dan bungkus camilan, tanda tongkrongan sudah berlangsung lama.
Tika memang betah di luar rumah,Sejak beberapa bulan terakhir, pulang larut malam sudah jadi kebiasaan, Kadang alasan utamanya adalah rapat kecil soal acara yang ia bantu, tapi seringnya hanya nongkrong.
Di tongkrongan mereka, nama Tika dan Sandi sudah kayak paket hemat nggak pernah jauh. Mereka bukan tipe sahabat yang tiap hari chatting, tapi kalau nongkrong di kafe langganan, pasti ada mereka berdua.
Tika duduk di kursi pojok, gelas minuman dinginnya sudah setengah mencair. Malam itu suasana kafe ramai, tapi pikirannya entah ke mana. Sandi, yang duduk di sebelahnya, sibuk main ponsel karena kerjaan sambil sesekali ikut nimbrung obrolan teman-teman.
Jam hampir menunjuk sebelas malam, Tika tetap santai di kursinya, memutar sedotan di gelas.
"Nggak pulang, Tik?" tanya Sandi tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Ntar aja. Di rumah juga nggak ada yang seru."
Sandi menoleh sebentar. "Mama lo nggak nyariin?"
Tika nyengir tipis. "Pasti nyariin. Tapi kan gue nggak wajib angkat telepon tiap dia nelpon."
Sandi mematikan HPnya, lalu menatap Tika. "Lo sadar nggak sih, dari dulu lo selalu kabur dari rumah. Bukan cuma kabur fisik, tapi kabur hati. Lo betah di luar karena lo nggak mau hadapin orang di rumah."
Tika mendengus, "Lo ngomong kayak lo paling ngerti gue aja."
"Gue nggak harus ngerti semua soal lo. Tapi gue temen lo, Tik. Gue liat lo dari dulu sampai sekarang. Dan yang gue liat… lo makin jauh. Gue cuma takut nanti lo nggak punya tempat pulang."
Tika diam. Kata-kata Sandi selalu punya cara masuk tanpa ketok pintu dulu. Mereka baru berteman tapi seperti sudah lama berteman, jadi Sandi tahu kapan harus bercanda dan kapan harus serius.
Malam itu, mereka tidak banyak bicara lagi. Hanya duduk bersebelahan, memandangi jalanan lewat kaca kafe. Tapi entah kenapa, pulang rasanya nggak seberat biasanya bagi Tika.
Sejak itu, Sandi bukan cuma teman nongkrong. Ia jadi pengingat bahwa dunia luar memang menyenangkan, tapi rumah… tetap punya peran yang nggak bisa diganti.
Malam itu, jarum jam sudah lewat pukul sebelas. Tika masih duduk di kursi kafe bersama beberapa temannya. Gelas minumannya sudah kosong, tapi ia belum berniat pulang.
Ponselnya bergetar. Nama “Mama” muncul di layar. Tika sempat ragu mengangkat, tapi akhirnya ia geser tombol hijau.
"Tika di mana?!" suara mamanya langsung meninggi.
"Masih di luar, Ma."
"Luar? Jam segini?! Kamu pikir rumah itu apa?! Mama sama Papa udah capek lihat kelakuan kamu! Kalau kamu mau kayak gini terus, udah… terserah kamu! Mama nggak mau ngurusin kamu lagi!"
Suara itu menghantam dada Tika. Matanya panas, tenggorokannya tercekat.
"Ma, jangan gitu…" suaranya mulai bergetar.
"Udah! Mama udah capek! Jangan pulang kalau masih mau seenaknya!" telepon itu terputus begitu saja.
Tika menatap layar ponsel yang kini gelap. Tangannya gemetar. Air mata jatuh, tapi ia buru-buru menghapusnya tak ingin teman-temannya tahu. Di sela napasnya yang berat, ia mengetik cepat:
Ma, aku lagi ada proyek buat event sama temen-temen. Aku suka sama kegiatan ini. Pergaulanku sehat, Ma. Aku nggak ngelakuin hal buruk.
Aku bisa sukses di jalan ini. Kalau Mama kecewa sama aku… aku lebih kecewa sama Mama karena ngomong kayak tadi.
Aku cuma pengen didukung. Aku minta maaf… aku butuh dukungan Mama sama Papa.
Pesan terkirim.
Tika menunduk lama, membiarkan dadanya sesak sendirian. Tidak ada yang tahu ia menangis malam itu.
Sesampainya di rumah, pintu sudah tidak terkunci. Rumah sunyi. Tika melangkah pelan melewati ruang tamu, lalu berhenti.
Di ruang tengah, ia melihat mamanya sedang sholat malam. Suara lirih doa terdengar di sela isak yang tertahan. Tika duduk menunggu. Begitu mamanya selesai, ia langsung berdiri, memeluk erat dari belakang.
"Ma… maafin Tika…" suaranya pecah.
Mamanya terdiam sejenak, lalu membalikkan badan dan membalas pelukan itu.
Tika mulai bercerita. Ia jelaskan bahwa ia memang sering pulang malam karena terlibat di proyek acara bersama teman-teman yang menurutnya positif. Bahwa ia ingin mengejar kesuksesan lewat jalan ini, dan butuh restu keluarga.
Mamanya menatapnya lama, lalu mengangguk. "Kalau itu yang Tika mau… Mama izinin. Mama dukung apa pun yang bikin kamu berkembang."
Tapi dari tatapan mata itu, Tika tahu masih ada kecewa yang belum padam. Ia bisa merasakannya. Namun, keras kepalanya membuat ia memilih menerima ucapan itu begitu saja, seolah semua baik-baik saja.
"Makasih, Ma," ucap Tika sambil tersenyum tipis, meski dalam hati ia tahu izin itu datang bersama rasa khawatir yang belum sepenuhnya hilang.
Keesokan harinya
Tika sudah nongkrong lagi di kafe langganan.
.
.
.
.
Malam itu kafe favorit mereka ramai seperti biasa. Lampu kuning temaram memantulkan bayangan di meja kayu panjang yang dipenuhi laptop, kertas rundown, gelas kopi, dan sisa camilan. Tika duduk di ujung meja, masih sibuk membuka dokumen, padahal pembahasan proyek sudah selesai.
Satu per satu teman mereka pamit. Ada yang alasan ngantuk, ada yang harus kerja pagi. Hingga akhirnya, hanya Tika dan Sandi yang tersisa.
Sandi duduk di kursi seberang, mengaduk es teh yang sudah nyaris tanpa rasa. Ia menatap Tika beberapa saat sebelum akhirnya membuka suara.
"Kemarin lo pulang buru-buru. Ada apaan di rumah?"
Tika tidak langsung menjawab. Tangannya sibuk memutar sedotan plastik di gelas. "Gue dimarahin Mama. Parah banget, San. Sampe ngomong nggak mau ngurusin gue lagi. Mama sama Papa bilang udah capek liat kelakuan gue."
Sandi berhenti mengaduk. "Serius?"
"Iya. Gue sampe… nangis,San. Di luar lagi. Sendirian. Gue jelasin ke Mama kalau gue lagi sibuk sama proyek ini. Gue bilang pergaulan gue sehat, nggak ngelakuin hal buruk. Tapi tetep… Mama kecewa."
Sandi bersandar, menatap Tika dalam-dalam. "Tik… lu sadar nggak, lu udah jauh banget dari rumah? Rumah buat lu sekarang cuma halte. Tempat lu singgah sebentar buat tidur. Sedangkan tongkrongan ini tempat yang harusnya cuma halte malah lu jadiin terminal. Lu betah berlama-lama di sini, lupa kapan harus pulang."
Kata-kata itu membuat Tika terdiam. Napasnya terasa lebih berat.
"Lu pikir, lu cuma lagi ngejar passion lu, kan? Gue ngerti, Tik. Gue tau lu seneng banget sama ini semua. Tapi yang nggak lu sadar, lu bikin jarak sama orang rumah. Dan kalau jarak itu makin jauh, lama-lama lu nggak punya tempat pulang."
Tika menunduk, jemarinya menggenggam sedotan kuat-kuat. "Gue cuma… nggak mau ribut di rumah, San. Di luar tuh… lebih adem. Nggak banyak nuntut."
Sandi menggeleng pelan. "Lu tau nggak kenapa di luar lebih adem? Karena lu nggak punya ikatan sekuat di rumah. Di luar, orang nggak akan peduli seberapa telat lu pulang, selama nggak ngerepotin mereka. Tapi di rumah, orang bakal peduli, bakal cerewet… karena mereka sayang."
Tika menghela napas panjang. "Tapi mereka tuh… temen-temen gue. Udah kayak keluarga juga."
Sandi langsung menatapnya tajam. "Temen? Dimana pas lu lagi nangis sendirian kemarin? Kemana mereka waktu lu dapet telepon itu? Gue bukan mau ngejelek-jelekin, Tik. Pertemanan kalian keren, gue akuin. Tapi yang gue liat, kalian cuma saling butuh. Belum pernah susah bareng yang bener-bener susah."
Hening beberapa detik. Kafe yang tadinya terasa ramai, mendadak terdengar terlalu sunyi bagi Tika.
Sandi melanjutkan, suaranya kali ini lebih lembut tapi menusuk.
"Gini deh. Ajak Mama sama Papa makan di restoran favorit mereka. Lu yang traktir. Lihat gimana senyum mereka waktu diajak makan sama anaknya. Itu cara pelan-pelan ngerubuhin tembok yang udah lu bikin sendiri. Karena gue tau, di balik tembok itu, ada orang-orang yang lu sayang… tapi nggak pernah lu hampiri."
Tika menatap Sandi. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan.
"Gue nggak tau, San… bisa nggak gue mulai."
Sandi mencondongkan tubuh. "Bisa. Tapi kalau lu mau. Lihat diri lu, Tik. Lu kemana-mana sama temen, gas terus. 'Diamana ges?' tiap hari. Tapi sama orang rumah, lu kayak orang asing. Kalau terus begini, lama-lama yang lu panggil rumah… cuma jadi alamat di KTP."
Kata-kata itu menghantam tepat di dada. Tika tak sanggup membalas. Ia hanya menunduk, mengaduk sisa es di gelasnya. Untuk pertama kalinya, nongkrong terasa bukan lagi pelarian… tapi pengingat bahwa ia mungkin terlalu jauh dari tempat yang seharusnya ia jaga.
.
.
.
.
Keesokan Harinya
Tika berdiri di ambang pintu ruang keluarga sambil tersenyum kecil.
“Maa… Paa… besok atau lusa kita makan di restoran, yuk? Sekalian refreshing. Aku udah nemu tempat yang enak banget, suasananya cozy,” ucapnya, mencoba terdengar santai tapi penuh harap.
Mama yang sedang melipat baju menoleh sambil tersenyum tipis.
“Ah, nggak usah repot-repot, Tik. Makan di rumah aja lebih enak. Lagian mama lagi kepingin bakso” katanya sambil tertawa kecil.
“Tapi kan sesekali…,” Tika mencoba meyakinkan lagi.
Mama menggeleng pelan. “Nanti aja, ya. Sekarang kita beli bakso, makan bareng di rumah. Hemat. Tuh, papa juga pasti suka.” Tika melirik ke arah papa yang hanya duduk menonton TV.
Lelaki itu tak menanggapi, hanya sedikit mengangkat kepalanya, lalu kembali fokus ke TV. Namun Tika menangkap sesuatu di sana tatapan singkat, seolah mengatakan “terserah mama” dengan ekspresi datar yang khas.
Di dalam hati, Tika sedikit kecewa karena ajakannya ke restoran batal. Tapi entah kenapa, bayangan makan bakso bersama di rumah justru terasa… hangat. Ada rasa yang tak bisa ia tolak.
Tika mengangguk pelan. “Ya udah, kalau gitu Tika yang beli.”
Sebelum berangkat, ponakan kecilnya yang sedari tadi bermain di teras berlari menghampiri. “Tante Tika, kalau beli bakso, beliin aku es krim juga yaa…”
pintanya sambil tersenyum manis.
Tika terkekeh, menepuk kepala si kecil. “Oke, sekalian Tante ajak kamu beli sekarang.”
Perjalanan ke penjual bakso terasa biasa, tapi di hati Tika ada sedikit kehangatan yang mengalir. Mungkin karena ia tak sendiri ponakan kecilnya berjalan di sampingnya sambil bercerita tentang hal-hal sepele. Setelah membeli bakso hangat yang aromanya langsung memenuhi udara, mereka mampir sebentar ke kios kecil untuk membeli es krim favorit si kecil.
Sesampainya di rumah, Tika langsung menata mangkuk, menuangkan kuah panas, dan membagikan bakso satu per satu. Aroma gurih kuah bercampur wangi bawang goreng membuat ruang makan terasa hangat.
Saat itulah Mama berkata dengan suara penuh kebanggaan, “Ini yang beliin Tika, lho,” katanya sambil menoleh ke arah Kakak Tika yang baru saja pulang kerja.
Ada binar di matanya bukan sekadar soal bakso, tapi rasa bangga bahwa anaknya mau berbuat untuk keluarga.
Papa hanya duduk diam di ujung meja. Seperti biasa, raut wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi.
Tapi Tika menangkap sesuatu senyum kecil yang muncul sekilas, senyum yang sudah lama sekali tak ia lihat. Sebuah senyum tipis yang tanpa kata-kata justru terasa sangat berarti.
Mereka mulai makan bersama, Suara sendok beradu dengan mangkuk, tawa ponakan yang sibuk menghabiskan es krimnya, dan obrolan ringan di meja membuat suasana perlahan mencair.
Di hati Tika, ada sesuatu yang pelan-pelan runtuh. Dinding dingin yang selama ini ia bangun entah karena jarak, gengsi, atau rasa canggung mulai retak. Ternyata, momen sederhana seperti ini bisa membuatnya merasa dekat.
Satu mangkuk bakso, satu meja makan, dan orang-orang yang ia sayangi… cukup untuk membuatnya sadar, rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi tempat hatinya pulang.
.
.
.
.
Keesokan Harinya
Malam itu, Tika mengirim pesan singkat ke Sandi.
"Geser Yuk."
Sandi yang sedang tenggelam di pekerjaannya hanya bisa membalas,
"Lagi Meeting nih."
Alih-alih kesal atau ngambek, Tika justru mengetik balasan singkat,
"Oke… aku tunggu di basecamp, deh."
Biasanya kalau dapet jawaban kayak gitu, Tika cuma bakal bilang "oke" terus ngajak orang lain. Tapi entah kenapa hari itu memutuskan buat nungguin.
Malam pun mulai turun perlahan, Jam terus merayap hingga malam. Sandi mengira Tika akan betah menunggu sampai ia selesai, seperti biasanya. Tapi kali ini, Tika berdiri, dan berkata di Chat,
"San, aku pulang duluan ya. Next time aja. Udah malam."
Sandi kaget. "Serius pulang? Tumben, biasanya kan malah tahan sampai larut."
"Ya, kali ini nggak. Ada hal yang mau aku kerjain di rumah," jawab Tika sambil tersenyum singkat.
Sesampainya di rumah, Tika mengirim pesan, "Udah nyampe."
Sandi membalas cepat, "Masa sih? Nggak percaya gue."
Tika hanya terkekeh, lalu mengirim foto di meja belajar, laptop terbuka.
Beberapa detik kemudian, ponselnya berdering Sandi menelpon.
"Anjir, beneran lu udah di rumah. Kok tumben? Ada apa?"
Tika menarik napas, lalu bercerita.
Ternyata, beberapa hari sebelumnya, Sandi pernah menyarankan agar Tika meluangkan waktu makan bersama orang tuanya, sesuatu yang jarang ia lakukan karena sering di luar rumah. Dan hari itu, ia melakukannya. Mereka makan bersama, bercanda ringan, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Tika merasa… hangat.
"Aneh, ya. Kayak ada yang runtuh di dalam diri gue," ucap Tika lirih di telepon.
"Dulu gue mikir, mending di luar rumah aja biar nggak ribet. Tapi ternyata, duduk makan bareng mama papa tuh bikin hati gue adem."
Sandi diam beberapa saat, lalu tertawa kecil. "Mantap. Gue nggak nyangka lo bakal beneran nyoba, itu bagus. Berarti saran gue nggak sia-sia. Lu nggak harus selalu lari keluar buat cari nyaman, kadang nyamannya ada di rumah."
Malam itu, mereka ngobrol lama lewat telepon. Tidak ada topik berat, tapi justru di situlah kedekatan mereka terasa. Tika cerita tentang banyak hal yang selama ini nggak pernah ia bagi ke siapa pun mulai dari masalah kecil di kampus, kejadian lucu di jalan, sampai obrolan hangat bersama orang tuanya.
Sebelum menutup telepon, Tika berkata, "Nanti kalau ada waktu, kita nongkrong, ya. Banyak hal yang pengen gue ceritain langsung ke lu."
Sandi mengangguk, meski tak terlihat. "Siap. Gue tunggu, Tik."
.
.
.
.
POV Tika
Entah sejak kapan aku mulai membangun tembok itu. Bukan tembok yang terlihat oleh mata, tapi tembok yang hanya aku rasakan di hati, Tembok yang memisahkanku dari orang-orang, dari rasa hangat, dari kebiasaan sederhana yang dulu aku anggap sepele.
Awalnya aku pikir itu cara terbaik untuk melindungi diri menjaga jarak agar tak mudah terluka. Tapi ternyata, semakin tinggi tembok itu aku bangun, semakin sepi rasanya.
Tembok itu mulai retak. Bukan retak karena kelembapan atau usia bangunan, tapi retak karena sesuatu di dalam diriku berubah. Aku sadar, retakan itu mulai muncul sejak hari ketika aku memutuskan untuk membelikan bakso ini. Padahal sebelumnya, aku akan mencari seribu alasan untuk keluar, untuk terlibat, untuk “membuka pintu”. Tapi entah kenapa, ketika mama menolak ajakan makan di restoran dan menyarankan makan di rumah saja, hatiku terasa hangat. Sederhana sekali alasannya: “Beli bakso aja.” Dan aku setuju.
Saat itu, aku tak hanya membeli bakso. Aku mengajak ponakanku membeli es krim di warung dekat rumah. Dia bercerita macam-macam, dari film kartun yang ia tonton sampai teman barunya di sekolah. Aku hanya mendengar sambil sesekali tersenyum, tapi jauh di dalam hati, ada bagian kecil dari diriku yang ikut mencair.
Tembok itu, yang selama ini aku rawat dan perkuat, mulai keropos. Aku mulai bertanya-tanya, untuk apa aku memisahkan diriku dari kebahagiaan kecil seperti ini? Untuk apa aku menolak kehangatan yang sebenarnya selalu ingin aku rasakan?
Sejak hari itu, hal-hal kecil mulai tumbuh. Aku mulai pulang lebih awal beberapa kali. Tidak setiap hari, karena aku masih sering terjebak dengan kebiasaanku yang lama, Ada malam-malam ketika aku masih memilih larut di luar, seolah ingin membuktikan bahwa aku tetap bebas, Tapi ada juga malam ketika aku memilih pulang, hanya untuk duduk di teras rumah dan mendengar cerita mama tentang masakannya.
Aku belajar bahwa perubahan tidak datang sekaligus. Ia tumbuh seperti tunas yang keluar dari tanah pelan, rapuh, tapi pasti. Dan tunas itu perlu disiram, perlu dirawat. Kadang, aku masih takut. Takut kalau aku terlalu dekat, aku akan terluka lagi. Takut kalau tembok itu benar-benar runtuh, aku akan kehilangan perlindungan yang selama ini membuatku bertahan.
Tembok di dalam diriku kini penuh dengan retakan. Aku bisa melihat cahaya menembusnya. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak panik melihatnya runtuh perlahan. Aku tidak takut kehilangan tembok itu, karena aku mulai menyadari bahwa yang membuatku bertahan bukanlah dinding tebal, tapi orang-orang yang mau berdiri di sisiku.
Aku menarik napas panjang, lalu tersenyum, Mungkin ini bukan akhir dari perjalananku, Mungkin ini baru awal. Tapi untuk pertama kalinya, aku ingin melangkah tanpa terburu-buru, Aku ingin menikmati prosesnya membiarkan tembok itu runtuh sedikit demi sedikit, sambil melihat bunga-bunga kecil tumbuh di tanah yang dulu tertutup bayangan.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, aku tidak hanya punya rumah yang temboknya utuh, tapi juga hati yang utuh.
.
.
.
.
POV Tika – Untuk Mama dan Papa
Ma, Pa…
Kalau Tika bisa muter waktu, Tika mau banget balik ke masa kecil. Masa di mana masalah paling berat cuma rebutan remote TV sama Papa, atau dimarahin Mama gara-gara lupa cuci piring. Dulu, Tika pikir semua itu cuma drama kecil yang nggak penting. Sekarang, pas udah gede, baru sadar… yang nggak penting itu justru masalah yang Tika bikin-bikin sendiri.
Tika minta maaf… bukan cuma karena pernah ngomong kasar, atau pernah ngelawan. Tapi minta maaf karena sering banget nggak dengerin. Padahal Mama sama Papa nggak pernah kasih nasihat buat nyusahin, tapi karena sayang. Tika aja yang dulu ngerasa sok tahu, sok kuat, sok bisa ngadepin dunia sendirian.
Ma… Tika ingat betul, berapa kali Mama bilang, "Jangan pulang malam." Waktu itu Tika jawabnya cuma "Iya, Ma." tapi ujung-ujungnya tetep pulang larut. Dan tiap kali Mama nungguin di ruang tamu sambil pura-pura nggak tidur… itu nyesek banget kalau diinget sekarang. Karena ternyata Mama bukan cuma nunggu anaknya pulang, tapi lagi berdoa di hati supaya anaknya pulang dalam keadaan selamat.
Pa… Tika ingat dulu kita nggak banyak ngobrol panjang, tapi Papa selalu nunjukin sayang lewat cara yang nggak ribet. Kayak diam-diam ngecek motor Tika biar remnya nggak blong, atau nyiapin uang bensin di dashboard biar Tika nggak kehabisan di jalan. Tika kadang pura-pura nggak tahu biar nggak keliatan mellow, tapi sebenernya hati Tika anget banget.
Sekarang, Tika udah mulai coba berubah, Ma, Pa. Pelan-pelan. Nggak segampang itu, tapi Tika nyoba. Dulu Tika bangun tembok tinggi banget antara kita tembok ego, gengsi, sama rasa takut kelihatan lemah. Sekarang… tembok itu udah mulai Tika bongkar. Biar kita bisa lihat satu sama lain lagi tanpa penghalang.
Tika tau, nggak ada anak yang sempurna. Tapi Tika mau jadi anak yang bisa bikin Mama Papa bangga… nggak cuma di depan orang lain, tapi juga di dalam hati kalian sendiri. Kalau suatu saat Tika masih salah, tolong ingetin.
Jangan capek, Ma, Pa… karena Tika nggak akan pernah capek buat nyoba jadi lebih baik.
Terima kasih udah nggak pernah nyerah sama Tika. Terima kasih udah sabar nunggu walau Tika bandel setengah mati. Dan maaf banget kalau dulu Tika bikin Mama nangis diam-diam di kamar, atau bikin Papa pusing mikirin anaknya yang keras kepala.
Karena ternyata… rumah paling hangat itu bukan bangunan, tapi ada di dua orang: Mama dan Papa.
.
.
.
.
POV Wulan untuk Sandi
Kadang, lucu aja kalau diinget-inget… kita baru kenal beberapa bulan, tapi rasanya kayak udah temenan dari lama banget. Nggak ada rasa canggung, nggak ada batas, semuanya ngalir aja. Lu tuh tipe orang yang susah banget ditemuin di zaman sekarang baiknya nggak dibuat-buat, sikapnya tulus, dan kehadirannya selalu bikin suasana jadi rame dan hidup.
Gue inget, berapa kali lu dengan gampangnya bilang, “Udah sini ke kosan gue aja,” dan ujung-ujungnya itu jadi basecamp kita semua. Entah buat nongkrong sambil ketawa nggak jelas, ngobrolin masalah hidup, atau cuma diem sambil ngopi. Kadang gue mikir, lu tuh nggak cuma ngasih tempat buat kita ngumpul, tapi lu juga ngasih rasa nyaman yang jarang banget orang bisa kasih.
Lu nggak pelit nggak cuma soal traktiran atau ajak jalan-jalan anak-anak, tapi juga nggak pelit ilmu, nggak pelit nasehat. Lu itu yang paling tua di tongkrongan, tapi nggak pernah ngerendahin kita yang lebih muda, Justru lu jadi kayak “abang” sekaligus penasehat yang kita semua butuhin. Lu yang selalu kasih jalan biar kita bisa ikut kegiatan atau event, yang dorong kita buat keluar dari zona nyaman.
Sandi, kalau di kehidupan selanjutnya Tuhan ngasih gue kesempatan buat ketemu lu lagi, gue rasa nggak akan ada alasan untuk nggak jadi temen lu. Gue cuma mau bilang makasih bukan cuma karena lu baik atau karena lu sering nraktir, tapi karena lu jadi temen yang bikin gue nyaman buat cerita hal-hal yang jarang banget gue omongin ke orang lain. Hal-hal yang mungkin cuma sedikit orang tau, tapi lu dengerin tanpa nge-judge.
Lu tuh partner in crime gue juga, apalagi buat hal-hal yang nggak semua orang bisa lakuin bareng. Kita udah banyak banget ketawa bareng, kadang juga debat kecil-kecilan, tapi di ujungnya selalu ketemu lagi di tawa. Gue nggak tau gimana hidup tongkrongan kita tanpa lu rasanya pasti sepi.
Intinya, lu itu temen yang beneran temen. Bukan cuma di momen seneng, tapi juga di momen-momen susah. Makasih udah ada di situ, makasih udah jadi versi lu yang apa adanya. Gue bersyukur banget bisa kenal lu, San. Dan kalaupun nanti waktu bawa kita ke jalan masing-masing, gue harap lu tau… gue nggak akan pernah lupa sama semua momen ini.
Lu bukan cuma bagian dari tongkrongan. Lu bagian dari cerita hidup gue.