Kisah ini berawal dari perkenalanku dengan seorang gadis yang menambatkan cintanya di hatiku. Perkenalan yang tidak disengaja di depan sebuah kampus tempatku menuntut ilmu.
Namaku Yudha Pradana. Sore itu Kamis Wage, aku kembali ke kampus setelah menyelesaikan pekerjaan paruh waktu untuk mengambil kacamata minus ku yang tertinggal di perpustakaan pagi tadi. Aku sudah menghubungi mbak Wening, penjaga perpus untuk menyimpannya.
Saat aku keluar dari kampus hari sudah menjelang adzan Maghrib. Entah mengapa tiba-tiba angin sekelebat menimpa tubuhku. Bulu kudukku meremang seketika. Aku bergegas memacu motor bututku meninggalkan kampus.
Baru beberapa meter motorku meninggalkan gerbang kampus, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang meminta tolong. Ku Pelankan laju motorku demi mengetahui apa yang terjadi. Ternyata di depan sama beberapa orang pemuda sedang berkerumun. Apa yang mereka lakukan?
“He, ngapain, kalian?” Teriakku dengan lantang segera memarkir motor. Padahal aku sedikit gemetar karena kami bukan lawan yang seimbang. Mereka ada tiga orang.
Mereka berbalik menghadapku. “Wah wah wah, ada pahlawan kesiangan,” celetuk salah satu di antara mereka.
“Kesiangan?” Beoku. “Ini udah malam kali,” lanjutku. Aku melangkah maju dengan kaki gemetar. “Kalau berani satu lawan satu,” tentangku sembari menggulung lengan bajuku.
Aku merapalkan doa apa saja yang ku bisa di dalam hati. Hingga entah keajaiban datang dari mana, satu per satu akhirnya mereka dapat ku lumpuhkan.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanyaku mendekati seorang gadis yang diganggu tiga orang preman tadi.
“Tidak apa-apa kok, Mas,” sahut gadis itu.
“Kamu tinggal dimana? Ayo aku antar pulang,” tawarku.
Aku kembali memacu motorku pelan. Di jok belakangku sekarang ada Dinda duduk menyamping. Kami tadi sempat kenalan sebelum dia duduk di boncengan motor. “Kenapa malam-malam kamu masih di jalan?” Tanyaku sembari memegang kendali stang motor.
“Tadi bimbingan skripsi, Mas. Dosennya bisanya sore,” jawabnya.
“Oo … kamu sudah tingkat akhir? Kok kita gak pernah ketemu sebelumnya,” cicitku.
“Mungkin karena kita nggak satu fakultas, Mas,” timpalnya.
Kami sampai di tempat kostnya. “Terima kasih ya, Mas Yudha. Kalau tidak ada Mas Yudha aku enggak tahu lagi apa yang akan terjadi padaku,” ucapnya denda wajah sendu.
“Ssssttt … tidak akan terjadi apa-apa sama kamu, Dinda,” balasku mencoba meredam kesedihannya.
Aku memastikan dulu dia masuk ke dalam rumah sebelum pulang ke tempat kostku.
“Cari siapa, Mas?” Tiba-tiba saja ada ibu-ibu bertanya, posisinya tidak jauh dariku.
“Eee … Saya nganter Dinda, Bu,” sahutku gelagapan.
“Dinda?” Beonya seraya mengernyit.
“Iya, Bu. Dia udah masuk kok barusan. Saya permisi pulang, Bu,” pamitku seraya menganggukkan kepala.
Kulihat ibu tersebut masih kebingungan, tapi aku tidak peduli. Akupun segera meninggalkan tempat itu. Aku menghentikan motorku di depan sebuah mushola untuk melaksanakan sholat Maghrib yang sudah terlambat.
***
Keesokan paginya aku kembali ke tempat kost Dinda untuk menjemputnya. Kulihat dia sudah menunggu di depan gang. Saat di perjalanan aku bertemu dengan Prass sahabatku. Dia berkali-kali mengklakson ku.
“Oii, Yudha. Lo di sini, ngapain?” Tanyanya penasaran.
“Jemput teman, Bro,” sahutku sembari melirik ke belakang. “Nanti gue ceritain deh,” imbuhku langsung mempercepat laju motorku. Kulihat dari kaca spion Prass hanya geleng-geleng kepala.
Hari berganti hari, hubungan kami semakin akrab. Hingga suatu ketika aku memberanikan diri menyatakan perasaanku. Kami akhirnya jadian. Setiap ada kesempatan kami selalu bersama. Ke kantin, ke perpustakaan, makan di kafe, nonton di bioskop, kami selalu melakukannya berdua. Aku tak pernah absen untuk menjemput dan mengantarnya ke manapun.
“Mas, minggu depan aku mau pulang ke kampung,” ungkapnya suatu hari saat kami ketemu di kantin.
Di kantin, meja yang kami tempati entah mengapa tidak ada yang mau menempatinya selain kami berdua. Namun, aku tidak peduli. Yang penting aku bisa nyaman makan berdua dengan Dinda.
“Berapa lama kamu di kampung? Mas pasti akan merindukanmu, Sayang” Tanyaku.
“Mungkin sekitar dua mingguan. Ada saudara sepupu nikahan,” ungkapnya.
“Skripsimu sudah rampung?” Tanyaku lagi.
“Tinggal revisi dikit, udah di ACC kok,” sahutnya.
“Ya sudah, nanti kalau mau balik ke sini telpon aja. Mas jemput,” cetusku.
“Oke, sekalian Mas kenalan sama ayah dan ibu ya,” cetusnya dengan tersenyum. Manis sekali, rasanya ingin cepat-cepat ngarungin. Ehh … halalin.
“Iya, Sayang,” sahutku.
Seminggu kemudian dia benar-benar pergi. Aku mengantarnya sampai stasiun. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum. Dia bilang paling lama dua minggu dia berada di kampung halamannya. Namun, hingga sebulan dia tidak kembali juga.
Akhirnya aku memantapkan diri untuk menyusul ke kampung halamannya. Aku sudah sangat rindu sekali ingin bertemu dengannya. Dengan berbekal alamat yang ia tulis di sebuah kertas. Karena nomor ponselnya selalu di luar jangkauan. Mungkin di sana daerah terpelosok sehingga jaringan susah.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 5 jam, aku sampai di sebuah dusun. Aku bertanya kepada orang-orang yang aku temui di jalan. Mereka baik dan ramah hingga mau mengantarkan ku ke sebuah rumah milik pasangan bapak Pratikno dan ibu Wigati. Sepasang nama yang ditulis oleh Dinda di buku catatanku.
Di sinilah sekarang aku berada. Di sebuah ruang tamu yang sederhana. Di sini ada Pak Pratikno, Ibu Wigati dan kakak laki-laki Dinda yang bernama Ardi. Aku tersenyum saat melihat foto keluarga tersebut terpajang di dinding. Di foto tersebut ada foto Dinda yang mungkin masih seusia SMP.
“Jadi sebenarnya maksud kedatangan Nak Yudha ini apa?” Tanya Bu Wigati to point, tetapi tidak meninggalkan keramahannya.
“Sebelum saya menjawab pertanyaan ibu, bolehkah saya bertemu dengan Dinda, Bu?” Sahutku.
“Apa? Din…” Bu Wigati langsung tidak sadarkan diri sebelum menyelesaikan kalimatnya.
“Bu! Ibu!” Aku berseru.
Bu Wigati langsung dibawa ke kamar suami dan anak laki-lakinya. Aku duduk dengan gelisah duduk menunggu di kursi kayu jati tua ini. Tidak lama kemudian Ardi keluar kembali menemuiku.
“Maaf ya, Yudha. Ibu memang sering sakit-sakitan sejak kepergian Dinda,” ungkap Mas Ardi.
“Kepergian Dinda? Memangnya Dinda pergi kemana, Mas? Kenapa dia tidak mau menemuiku? Padahal dia yang menyuruhku datang menjemputnya,” cecarku dengan beribu rasa penasaran.
“Sabar, Yudha!” Pinta Mas Ardi. Pria yang mungkin usianya hanya terpaut beberapa tahun di atasku tersebut nampak menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan sebelum menjawab pertanyaan ku. “Dinda sudah meninggal lima tahun yang lalu,” ucapnya melanjutkan. Matanya nampak berkaca-kaca.
“Apa? Dinda … bukan Dinda yang aku cari kan, Mas?” Tanyaku tak percaya.
Mas Ardi nampak membuka dan mengutak-atik ponselnya lalu menyodorkan ke hadapanku. “Dinda menjadi korban kekerrasan sexxsual tidak jauh dari depan kampus tempat dia kuliah. Lihatlah dan baca berita itu!” Titahnya.
Aku meraih ponsel tersebut dan menggulir layarnya. Di sana jelas terpampang foto dindaku dengan judul teks ‘Gadis dengan inisial DA menjadi korban rudhapaksa beberapa orang prremann’. Aku tidak sanggup lagi membaca berita tersebut. Penglihatanku mulai kabur dan aku kehilangan kesadaran. Setelah sadar, Mas Ardi mengajakku untuk mengunjungi makam Dinda.
Aku duduk terpekur di samping gundukan tanah yang memang terlihat sudah lama. Kupersembahkan bacaan Yasin untuknya. Kuhadiahkan bacaan tahlil sebagai hadiah terakhir untuknya.
“Dinda, Mas Yudha tidak tahu apa maksudmu memilih Mas. Namun, Mas berdoa semoga kamu tenang di alam sana. Semoga kamu mendapatkan tempat terbaik di sisinya, aamiin… Terima kasih sudah hadir di hidup Mas. Mas mohon pamit ya, dek. Assalamualaikum.”
Sepulang dari kampung Dinda, aku pulang ke rumah orang tuaku. Selama seminggu aku mengurung diri di dalam kamar. Rasanya aku malu untuk berhadapan dengan orang tua, saudara dan teman-temanku.
Sore itu Prass datang mengunjungiku. Aku menceritakan semua yang ku alami kepadanya. Dan yang membuatku kaget, ternyata selama ini aku selalu jalan sendirian. Dia juga bilang sering melihatku ngomong dan tertawa sendiri. Duh, apa tanggapan orang lain terhadapku? Pasti mereka sudah menganggap ku gila.
Semoga kisahku ini bisa menjadi pelajaran buat semuanya.
Judul cerpen: Mengapa Aku yang Kau Pilih?
Jumlah kata : 1193
Genre : Horor Romantis
Ada pantun buat Ottan:
Tuan Muda Sehun pergi ke hutan,
Mencari bahan-bahan udud.
Selamat ulang tahun Ottan,
Semoga tercapai hasil maksud.
Cerpen ini ditulis untuk mengikuti Event B'day Ottan GC OPEN HEART