Di sebuah rumah tua di tepi hutan pinus yang selalu berkabut, hiduplah seorang pemuda bernama Elara.
Ia adalah seorang pelukis yang kesepian, yang kehilangan inspirasinya setelah kematian tunangannya, Maya, dalam kecelakaan tragis setahun lalu.
Setiap hari, Elara hanya bisa menatap kanvas kosong, dihantui bayangan Maya yang tersenyum.
Suatu malam, saat badai petir mengamuk di luar, Elara mendengar suara piano yang merdu dari ruang musik yang lama tak terpakai.
Ia memberanikan diri mendekat, dan melihat seorang wanita duduk di depan piano. Wanita itu bergaun putih panjang, dengan rambut hitam terurai menutupi sebagian wajahnya. Jari-jarinya menari di atas tuts piano, menghasilkan melodi yang indah namun Sendu.
Elara terpaku, merasa familiar dengan wanita itu. Ketika wanita itu menoleh, Elara terkejut melihat wajah Maya yang tersenyum lembut.
"Elara," bisik Maya, suaranya bagai angin sepoi-sepoi. "Aku kembali."
Elara menatap Maya, yang duduk anggun di depan piano. Cahaya bulan menembus jendela, menerangi wajahnya yang pucat. "Maya?" bisik Elara, suaranya bergetar.
Senyum manis terukir di bibirnya. "Elara, sayangku. Aku sudah menunggumu."
"Tapi ... bagaimana mungkin? Kau sudah ..." Elara tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Maya terkekeh pelan, suara yang dulu menenangkan kini terdengar seperti desiran angin dingin.
"Kematian hanyalah permulaan, Elara. Aku tidak bisa meninggalkanmu. Kita ditakdirkan untuk bersama selamanya."
Elara tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia mendekati Maya, menyentuh wajahnya dengan gemetar.
Kulit Maya terasa dingin seperti es, namun Elara tidak peduli. Ia memeluk Maya erat-erat, air mata kebahagiaan bercampur dengan kesedihan.
Sejak saat itu, Maya selalu menemani Elara. Mereka menghabiskan waktu bersama, tertawa, bercerita, dan mengenang masa lalu.
Elara kembali bersemangat melukis, dengan Maya sebagai inspirasinya. Lukisan-lukisan Elara menjadi semakin hidup dan indah, seolah-olah Maya benar-benar hadir di sana.
Namun, kebahagiaan Elara tidak berlangsung lama. Ia mulai merasakan keanehan pada diri Maya.
Maya menjadi semakin posesif dan cemburu. Ia tidak mengizinkan Elara bertemu dengan siapa pun, bahkan sekadar berbicara dengan tetangga.
Maya selalu ingin berada di dekat Elara, mengawasi setiap gerakannya.
Suatu malam, Elara bermimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat Maya berdiri di depan cermin, wajahnya berubah menjadi mengerikan. Mata Maya merah menyala, dan mulutnya menyeringai menakutkan.
Maya berkata, "Kau milikku, Elara. Selamanya."
Elara tersentak bangun, tubuhnya bermandikan keringat dingin. Ia menoleh ke samping, mendapati Maya tengah menatapnya dengan senyum yang teramat manis.
"Apa kau bermimpi buruk, sayang?" tanyanya lembut, nada suaranya bagai alunan melodi yang menenangkan.
Tangan Maya terulur, mengusap pipi Elara dengan sentuhan lembut. Namun, Elara merasakan ada sesuatu yang janggal. Kuku jari-jari Maya tampak lebih panjang dari biasanya, nyaris menyerupai cakar.
Elara menggenggam tangan Maya, merasakan dingin yang menusuk tulang.
"Sejak kapan kuku jarimu ... begitu panjang? Dan sepanjang ini," ucap Elara dengan nada ngeri yang tertahan.
Maya hanya tersenyum misterius, lalu bangkit berdiri. "Makanlah. Aku sudah membuatkan sarapan untukmu."
Elara mengikuti Maya dengan tatapan curiga. Di atas meja, telah tertata sepiring pasta dan segelas jus tomat yang tampak segar.
Maya berlalu begitu saja, meninggalkan Elara seorang diri. Dengan ragu, Elara meraih piring pasta dan memperhatikannya lekat-lekat.
Tiba-tiba, pasta itu berubah wujud menjadi gumpalan cacing yang menggeliat, berlumuran darah segar yang menjijikkan.
Jusnya pun tak luput dari perubahan mengerikan. Cairan merah itu kini tampak seperti darah kental yang pekat, dengan aroma anyir yang memualkan.
Elara terperanjat, refleks menjatuhkan piring dan gelas itu ke lantai. Suara pecahan yang nyaring memecah kesunyian, namun Maya tak kunjung kembali.
Sejak saat itu, Elara mulai ketakutan pada Maya. Ia mencoba menjauhi Maya, namun Maya selalu berhasil menemukannya. Maya semakin mengendalikan Elara, hingga Elara merasa seperti boneka yang tidak memiliki kehendak sendiri.
Suatu malam, Elara menemukan sebuah buku tua di loteng rumahnya. Buku itu berisi tentang ilmu hitam dan cara membangkitkan orang mati.
Elara terkejut menyadari bahwa Maya telah dibangkitkan dengan cara yang tidak wajar. Ia juga menemukan bahwa Maya membutuhkan energi kehidupan Elara untuk tetap hidup.
Jika energi Elara habis, Maya akan menghilang, namun Elara juga akan mati.
Elara menyadari bahwa Maya bukan lagi Maya yang dulu. Ia adalah arwah jahat yang menggunakan raga Maya untuk mengendalikan Elara. Elara harus menghentikan Maya sebelum terlambat.
Dengan keberanian yang tersisa, Elara menyusun rencana. Ia berpura-pura menuruti semua keinginan Maya, sambil mencari cara untuk mengembalikan Maya ke alam baka. Elara mempelajari mantra-mantra kuno dari buku tua itu, dan mempersiapkan ritual pengusiran arwah.
Pada malam bulan purnama, Elara mengajak Maya ke ruang musik. Ia memainkan melodi piano yang dulu sering mereka mainkan bersama.
Maya tersenyum, menikmati alunan musik yang indah. Saat Maya lengah, Elara mulai membaca mantra pengusiran arwah.
Maya terkejut dan marah. Wajahnya berubah menjadi mengerikan, matanya merah menyala, dan mulutnya menyeringai menakutkan.
"Apa yang kau lakukan, Elara!" jeritan Maya memekikkan telinga.
Maya mencoba menghentikan Elara, namun Elara terus membaca mantra dengan tekad yang kuat.
Ruang musik dipenuhi dengan energi mistis. Lampu-lampu berkedip-kedip, dan perabotan bergetar hebat.
Maya memegangi kedua telinganya. "Hentikan! Ini menyakitkan, Elara!"
Maya berteriak kesakitan, tubuhnya mulai memudar. Akhirnya, dengan satu teriakan terakhir, Maya menghilang menjadi debu.
Elara jatuh lemas di lantai, kehabisan tenaga.
"Maafkan aku. Kau bukan Maya kekasihku. Tempat kita sudah berbeda," isak Elara.
Ia merasa sedih dan kehilangan, namun juga lega karena telah berhasil mengalahkan arwah jahat yang merasuki Maya. Elara tahu bahwa Maya yang sebenarnya telah tenang di alam baka.
Sejak saat itu, Elara kembali menjadi dirinya sendiri. Ia melanjutkan hidupnya dengan semangat baru, mengenang Maya sebagai kenangan indah yang tidak akan pernah terlupakan.
Elara terus melukis, menghasilkan karya-karya yang menginspirasi banyak orang. Rumah tua di tepi hutan pinus itu tidak lagi berhantu, melainkan menjadi tempat yang damai dan penuh dengan cinta.
GENDRE CERPEN= Horor+Romance
CERPEN INI SAYA BUAT UNTUK EVENT GC OPEN HEART.