Aku tetap bersikukuh untuk membakar boneka itu, meskipun anakku menjerit-jerit sambil memeluk kakiku. Tangan mungilnya berusaha merebut kembali boneka itu dari tanganku.
"Lalla nggak salah apa-apa!"
Tangisannya pecah. suaranya melengking, memukul sesuatu dalam hatiku yang rapuh. Tapi aku tak bisa mengalah. Api di tong belakang rumah menyala, perlahan menyantap tubuh kain yang sudah aku siram minyak.
Tangan ku gemetar, aku takut... Aku takut boneka ini menyakiti nya. Jadi, meskipun aku tidak tega, aku harus melindungi nya, dari "𝘥𝘪𝘢."
___________
Boneka itu datang sebagai hadiah ulang tahun dari ibuku. Sebuah boneka kain sederhana, dengan dua pasang kancing sebagai mata dan bordiran benang merah untuk mulut nya.
Tapi kemudian, Ibuku meninggal dua minggu setelahnya karena stroke. Sejak saat itu, anakku, Mira dan boneka itu menjadi tak terpisahkan. Ia menamainya Lalla. Dan setiap malam, ia memeluknya erat saat tidur.
"Lalla baik, Ma. Dia adalah temanku." Katanya dengan polos.
Awalnya aku hanya tersenyum, sangat wajar jika seorang anak punya mainan kesukaannya sendiri. Tapi hari-hari berikutnya aku mulai merasa... Ada yang aneh.
Setiap sore, aku selalu meletakkan boneka itu kembali ke rak mainan. Tapi tiap malam, saat aku mengecek Mira, boneka itu sudah kembali ke pelukannya.
Awalnya kupikir Mira lah yang diam-diam mengambilnya kembali. Tapi waktu kutanya, dia hanya menggeleng kecil.
"Mira enggak ambil. Lalla yang jalan sendiri mau tidur bareng," aku hanya bisa tersenyum kaku. Itu hanya lelucon anak-anak, aku membisikkan hal itu pada diriku sendiri. Tapi... Mengapa tengkukku terasa dingin?
___________
Kejadian berulang setiap hari. Aku coba untuk mengunci rak mainan, tapi boneka itu tetap berpindah. Aku menyimpan boneka itu di atas lemari paling tinggi, aku masih berpikir Mira lah yang memindahkan nya. Jika setinggi ini, anak kecil sepertinya tidak bisa meraihnya, kan?
Tapi tetap saja, boneka itu lolos dan entah bagaimana sudah ada di ranjang anakku tiap malam.
Suatu malam, aku terbangun jam satu dini hari. Ada suara ketukan kecil dari kamar Mira. Seperti bunyi kaki mainan berdetak di lantai kayu. Lalu... terdengar bisikan samar.
Perasaanku tidak enak, aku segera masuk ke kamar Mira. Lampu remang-remang, Mira masih tertidur pulas. Tapi boneka itu... Ada di atas dadanya. Tangannya yang kecil dari kain itu seperti memeluk erat ke leher anakku.
Aku segera mengambilnya, tapi Mira kemudian menggeliat, membuka matanya lalu berkata dengan suara datar...
"Jangan sentuh dia."
Aku membeku, tapi beberapa detik kemudian, ekspresinya kembali normal, dan ia terlelap seperti biasa. Aku menyuruh diriku sendiri untuk berpikir logis. Mungkin aku berhalusinasi, aku hanya kelelahan.
Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa asing dengan anakku sendiri.
__________
Aku membuang boneka itu ke tong sampah. Tapi besoknya, boneka itu kembali... Duduk di ranjang Mira.
"Mira Nemu Lalla di halaman depan. Dia kedinginan," kata Mira dengan polos.
Aku tidak menjawab. Aku hanya berdiri di ambang pintu kamar, mencoba menenangkan ritme jantung ku yang tidak masuk akal.
Malam sebelum aku membuang boneka itu, aku bermimpi. Dalam mimpi, aku melihat kamar Mira. Aku bisa melihat diriku sendiri berdiri di pintu. Tapi mataku tidak melihatku. Mataku terpaku menatap sesuatu di atas kasur.
Di sana Lalla berdiri. Berdiri dengan kedua kakinya. Menatap Mira yang tertidur, seolah menyadari keberadaan ku, kepalanya berputar.
Menatapku dengan seksama, kemudian tersenyuman lebar.
Aku terbangun dengan peluh dingin. Nafasku terasa sesak, dan dari balik tembok, aku mendengar suara.
"Mama, Lalla pengen tidur sama aku malam ini juga..."
Aku tahu itu suara Mira, tapi dia tidak pernah berbicara dalam tidur.
__________
Puncaknya adalah malam ini, aku memutuskan untuk begadang, duduk di kursi ruang tengah, menunggu dalam diam. Rak mainan sudah aku kunci. Boneka itu ku simpan di dalam kotak terkunci di dapur.
Jam menunjukkan 01.43. rumah begitu sunyi. Bahkan kulkas pun berhenti bergetar.
Lalu aku mendengar suara kecil.
𝘒𝘭𝘪𝘬.
Itu suara gembok yang terbuka, aku tau suara itu.
Langkah kecil yang nyaris tak terdengar
Kutahan nafasku. Genggamanku pada pisau dapur menjadi lebih erat. Tanganku dingin. Jari-jariku seolah mati rasa
Lalu, langkah kecil dan ringan mulai terdengar. Suaranya lebih mirip kain yang di seret.
Lalu—
𝘒𝘳𝘪𝘦𝘦𝘦𝘬...
Pintu kamar Mira terbuka perlahan.
Aku bangkit.
Langkahku kaku saat mendekat. Aku bisa merasakan detak jantungku di telinga.
Dari ambang pintu, aku melihatnya.
Di lantai kamar, ada... Lalla.
Boneka itu.
Duduk.
Lalu—ia bergerak.
Tangannya yang kecil dari kain menyeret tubuhnya maju, pelan. Gerakan kainnya dengan lantai terdengar jelas. 𝘚𝘳𝘢𝘬... 𝘚𝘳𝘢𝘬... 𝘚𝘳𝘢𝘬...
Perlahan, tubuhnya yang lembek terus merayap naik. Mencoba menyentuh Mira.
"MI-RAAA!" Teriakku.
Aku langsung berlari menuju Mira. Menyambar Lalla, melemparkannya ke dinding. Bunyi kain menghantam dinding.
Mira terbangun karena teriakan ku, wajahnya basah dengan air mata seketika.
"JANGAN! MAAAMAAA!"
Dia menjerat. "Jangan sakiti Lalla! Dia nggak suka itu!"
Tapi aku tidak berhenti. Aku berjalan cepat ke arah boneka itu.
Tanganku gemetaran saat mengangkatnya.
Tubuhnya lembek. Tapi terasa... Hangat. Rasanya seperti menyentuh makhluk hidup.
Aku menaruhnya dia di lantai.
Lalu—
Kuhujamkan pisau ke tubuhnya.
Sekali.
Dua kali
Entah berapa.
Yang jelas Mira menjerat histeris di belakangku. Memukul-mukul punggungku sambil menangis.
"Lalla sakit, Mamaa—!"
Aku tidak menjawab. Aku sudah terlalu lama membiarkan mereka bersama.
Aku sudah membuat kesalahan mengabaikan semua keanehan itu.
Aku tidak bisa membiarkan ini lebih lama lagi.
Aku menggenggam boneka itu erat, tidak akan kubiarkan dia mendekati Mira lagi.
__________
Api menyala di tong logam belakang rumah.
Ku siram Lalla dengan minyak tanah.
Boneka itu mengerut. Kainnya gosong perlahan. Tidak ada gerakan atau jeritan darinya. Tapi baunya... Seperti rambut terbakar.
Mira duduk di tanah, menangis dalam diam. Aku memeluknya lama, mencoba menenangkannya, meskipun aku sendiri pun gemetaran.
Kuharap semuanya selesai.
Kuharap.
__________
Malamnya, Mira tidur tanpa bonekanya. Aku menemaninya sampai dia benar-benar terlelap. Kamar terasa lebih tenang. Ini membuatku lega.
Tapi saat aku keluar kamar, aku mendengar suara samar dari lemari.
𝘛𝘶𝘬.... 𝘛𝘶𝘬....
Bisikan kecil menyusui.
"Bolehkah Lalla tidur di sini malam ini...?"
Aku membeku.
Aku tidak berani untuk menoleh.
Lalu aku sadar.
Boneka itu bukan satu-satunya yang ada di rumah ini.
GENRE CERPEN = Horor + Thriller Psikologis
CERPEN INI SAYA BUAT UNTUK EVENT GC OPEN HEART