Di sebuah rumah bergaya klasik milik Karin yang terletak di pusat kota, suara tawa dan obrolan ramai terdengar dari ruang tengah. Hujan baru saja reda, menyisakan bau aspal basah yang menyeruak dari jendela yang sedikit terbuka.
Karin, Maura, Mike, Arya, Kenan dan Kinan duduk melingkar di lantai sambil menikmati teh hangat dan kue buatan Maura. Mereka sedang merencanakan liburan yang sudah lama tertunda.
"Jadinya, kita mau liburan kemana?" tanya Karin sambil memainkan sendok di cangkirnya.
"Eummm..." Kinan berpikir sejenak. "Gimana kalau kita liburan ke Yogyakarta saja?"
"Boleh juga, di sana banyak spot foto yang bagus dan keren. Yang lain bagaimana?" sahut Maura sambil mengangguk.
"Aku setuju..."
"Aku juga..."
"Yogya,mantap," sambung Mike, Arya, Kenan bersamaan.
"Baiklah, berarti fix ya kita liburan ke Yogyakarta," ucap Kinan.
"Tapi kita akan berangkat pakai apa?" tanya Maura.
"Kalau menurutku lebih baik kita pakai kereta malam saja. Biar lebih seru, dan hemat waktu juga, " jawab Karin.
"Ide bagus itu," timpal Arya. "Kereta malam tuh punya vibesnya sendiri."
"Setuju... berarti kita berangkat besok malam ya?" Tawar Kinan.
Semua serempak menjawab, "Setuju!"
Sesaat ruangan kembali hening. Di luar, angin bertiup lebih kencang, membuat tirai jendela perlahan berkibar. Jam dinding di ruang tamu berdetak tiga kali, padahal seharusnya baru pukul lima lebih sepuluh.
Kenan sempat melirik ke arah jam itu, lalu bergumam pelan, "Jamnya... error, ya?"
Tak ada yang menjawab gumaman Kenan. Mereka terlalu bersemangat untuk perjalan besok... tanpa tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah hidup mereka selamanya.
**********
Hari berikutnya, pukul 18:45 WIB.
Stasiun utama kota sudah ramai oleh penumpang. Lampu-lampu kuning menggantung redup dari langit-langit platform, memberikan nuansa nostalgia yang aneh namun hangat dan sedikit suram.
Enam sahabat itu tiba tepat waktu, masing-masing membawa ransel dan koper, wajah mereka tampak antusias, namun samar-samar terlihat lelah setelah menyiapkan persiapan yang singkat.
"Keretanya udah siap berangkat," kata Mike sambil menunjuk layar informasi. "Kereta Taksaka Malam, jalur 3."
Mereka berjalan bersama menuju jalur itu. Kinan sempat menoleh ke kanan dan melihat ada kereta tua berwarna kusam di jalur 7. Tak ada cahaya di dalamnya, jendelanya terlihat buram seperti dilapisi debu yang pekat.
"Kereta itu... nggak ada orang ya?" gumam Kinan lirih.
"Ah, itu mungkin udah lama gak dipakai," jawab Arya santai. Tapi entah kenapa Kinan merasa ada yang janggal dengan kereta itu, seolah-olah kereta itu menatap balik.
Mereka akhirnya naik ke gerbong 5, kursi ekonomi premium. Interiornya cukup nyaman, lampu-lampu putih lembut memantul dari kaca jendela. Para penumpang lain pun sudah menempati kursinya.
Pukul 19:00 WIB peluit panjang ditiup. Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun, menembus malam yang semakin pekat.
**********
Satu jam perjalanan berlalu...
Karin tertidur di pundak Maura. Mike sedang asyik mendengarkan musik dengan earphone-nya. Arya sibuk membaca novel horor yang baru dibelinya tadi siang. Kenan menonton sesuatu di tabletnya, sedangkan Kinan, hanya menatap jendela yang tak terlihat satupun pemandangan. Hanya warna hitam yang terlihat, seolah mereka bergerak di lorong tak berujung.
Tiba-tiba...
Lampu di gerbong berkedip sekali. Lalu dua kali. Kemudian mati.
"Hah? Listrik mati?" bisik Maura yang terbangun.
"Tenang, mungkin cuma gangguan," ujar Mike sambil melepas earphone-nya.
Tapi dalam gelap itu, terdengar suara berat dan terputus-putus dari speaker kereta.
"Perhatian... kereta ini... akan keluar... dari jalur... harap tetap di tempat..."
Arya sontak saja langsung berdiri mendengar hal itu. "Keluar dari jalur?! Maksudnya apa?!"
Lampu menyala kembali, tapi suasananya berubah. Kursi-kursi yang tadinya penuh penumpang kini kosong... kecuali mereka berenam.
Kenan perlahan berdiri. Suaranya parau.
"Guys... ini... bukan jalur ke Yogyakarta..."
********
Kereta terus melaju… tapi tidak seperti biasa. Jendela-jendela hanya menampilkan dinding batu yang kasar dan kelam. Seolah mereka tengah menyusuri lorong bawah tanah yang tak pernah berujung.
Maura menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. “Apa ini… kita masuk terowongan?”
“Mustahil,” ujar Mike cepat. “Aku sering ke Yogyakarta. Seharusnya belum ada terowongan sejauh ini.”
Karin berjalan perlahan ke depan, membuka pintu sambungan gerbong. Gerbong berikutnya… kosong. Lampunya berkedip. Di lantainya, ada sesuatu yang menggores — seperti bekas cakaran panjang.
“Aku nggak suka ini,” gumamnya pelan.
“Coba kita ke gerbong masinis,” usul Arya. “Mungkin bisa dapat penjelasan.”
Enam sahabat itu menyusuri gerbong satu per satu. Semuanya kosong. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada petugas, tidak ada penumpang, bahkan tidak ada suara roda besi di rel. Seakan kereta ini tidak sedang bergerak di atas dunia nyata.
Sesampainya di gerbong masinis, mereka menemukan pintu terkunci. Tapi yang membuat mereka merinding—di kaca pintu itu, ada bekas tangan berdarah. Dan di bawahnya, tertulis sesuatu dalam tulisan miring seperti dicakar:
“Kalian tidak seharusnya naik kereta ini.”
Kinan mundur pelan. “Apa maksudnya ini…?”
Tiba-tiba—
BRAKK!!
Suara keras dari arah belakang. Mereka semua menoleh. Lampu di gerbong padam total. Suara langkah berat bergema, mendekat... perlahan…
Tap… tap… tap…
“Lari!” teriak Mike.
Mereka berbalik dan berlari kembali melewati sambungan gerbong. Nafas terengah, tubuh gemetar. Tapi suara itu terus mengikuti—semakin cepat, semakin dekat. Sesekali terdengar bunyi besi diseret, atau suara berdecit seperti kuku di lantai.
Saat mereka memasuki gerbong awal tempat mereka duduk, lampu kembali menyala. Tapi gerbong itu kini… berubah.
Kursi-kursinya hangus terbakar sebagian, jendelanya retak, dan… tubuh seseorang tergeletak di lorong tengah. Seragam petugas kereta, wajahnya tak utuh, seolah dicakar habis.
Karin menutup mulutnya, ingin menjerit.
“Ini…” Arya menatap lemas, “ini bukan lagi dunia kita.”
Lalu, suara dari speaker terdengar lagi. Kali ini lebih jelas, dan sangat pelan.
“Satu per satu… kalian akan kembali menjadi milik kami…”
****
Di gerbong itu langsung terasa sunyi.
Hanya suara detak jantung mereka sendiri yang terdengar di dalam gerbong yang kini hangus sebagian.
Asap tipis mengepul dari lantai kayu yang hangus. Tubuh petugas kereta yang terbujur di tengah lorong perlahan mengeluarkan suara… menggeram.
“Dia... masih hidup?” bisik Maura, setengah berharap.
Tapi harapan itu hancur saat tubuh petugas itu menjambak Mike dan menyeretnya ke bawah kursi.
“MIKE!!” teriak Kenan, langsung menghampiri dan menarik Mike sekuat tenaga.
Tubuh mayat itu mencengkeram, matanya putih sepenuhnya, mulutnya mengeluarkan suara seperti logam beradu—bukan manusia, bukan arwah, tapi sesuatu yang dikendalikan.
Arya berani mendekat dan menghantamkan koper keras ke kepala makhluk itu. Dentuman keras membuat kepala itu retak, dan tubuhnya kembali tak bergerak. Tapi tubuh Mike sudah penuh cakaran.
“Apa ini… zombie? Hantu?!” Karin panik.
Kinan mengunci pintu gerbong.
“Dengar!” katanya keras. “Ini bukan kejadian biasa. Ini bukan mimpi! Kita harus berpikir tenang.”
Semua terdiam, kecuali Mike yang masih terengah, darah mengalir dari pundaknya.
Kinan menatap mereka satu per satu. “Ada sesuatu yang belum kalian tahu. Tentang... kereta ini.”
Mereka semua menatap Kinan dengan bingung dan marah. “Apa maksudmu?!”
Kinan menarik napas panjang. “Setahun lalu, ada kereta malam yang mengalami kecelakaan di jalur pegunungan di dekat Yogya. Jalur itu... bukan jalur komersil biasa. Tapi karena gangguan sinyal, kereta itu salah masuk rute—dan masuk ke jalur tua yang sudah ditutup sejak tahun 80-an. Semua penumpangnya hilang. Tidak ditemukan satu pun jasadnya sampai sekarang.”
Maura memucat. “Kinan… kau serius?”
“Aku... satu dari orang yang ikut dalam investigasi relawan waktu itu,” lanjut Kinan pelan. “Tapi waktu kami sampai… tidak ada kereta. Hanya jejak besi hangus, dan... tumpukan koper kosong.”
Kenan menatapnya tajam. “Lalu kenapa kamu nggak cerita sebelumnya?”
“Aku pikir itu hanya legenda urban… sampai sekarang.”
Tiba-tiba…
Tok… tok… tok…
Ada suara ketukan… dari balik jendela.
Padahal mereka sedang di dalam kereta yang melaju cepat. Jendela itu menghadap ke luar, ke terowongan hitam. Dan dari balik kegelapan itu, terlihat sepasang tangan pucat merayap naik ke kaca. Lalu wajah—tanpa mata, hanya rongga kosong—muncul dan menyeringai.
“Aku nggak mau mati di sini…” gumam Karin.
Tapi saat ia mundur, Maura berteriak, menunjuk ke langit-langit.
Darah mulai menetes dari celah ventilasi.
Dan... salah satu dari mereka menghilang saat lampu kembali mati.
*****
Lampu kembali menyala. Tapi...
“KENAN?!”
Karin berteriak panik. Sosok Kenan tak lagi ada di antara mereka.
“Dia berdiri di belakangku tadi! Aku yakin!” Maura menangis, tubuhnya gemetar.
Mike yang masih terluka memaksakan diri berdiri, wajahnya penuh kecemasan dan rasa bersalah. “Kita harus cari dia. Jangan biarkan siapa pun sendirian!”
Kinan menghampiri jendela. Tak ada tanda-tanda kehidupan di luar. Terowongan masih terus berjalan. Tidak pernah berhenti. Tidak pernah berganti.
“Tempat ini... seperti lingkaran. Perjalanan yang tidak akan selesai. Kecuali... kita temukan jalan keluar dari dalam,” gumamnya lirih.
Arya menyipitkan mata. “Kamu tahu terlalu banyak, Kinan. Dari tadi kamu kayak udah siap menghadapi ini semua. Jangan-jangan…”
Kinan menatap tajam. “Apa maksudmu?”
“Jangan-jangan, kamu sudah tahu bahwa kereta ini adalah jebakan!” tuduh Arya. “Kamu yang usul ke Yogyakarta. Kamu juga yang usul naik kereta malam!”
“Arya, stop!” bentak Karin. “Ini bukan waktunya saling tuduh!”
Tapi Mike perlahan angkat tangan. “Tunggu… aku inget sesuatu.”
Mereka semua menoleh padanya.
“Sebelum naik kereta, aku sempat lihat Kinan ngobrol dengan pria tua di peron. Pakai seragam petugas kereta zaman dulu. Aku pikir dia cuma petugas museum... Tapi sekarang kupikir, dia bukan manusia biasa.”
Wajah Kinan memucat.
“Aku nggak tahu dia siapa... tapi dia yang ngasih aku tiket ini,” ujarnya lirih sambil mengeluarkan tiket lusuh dari saku jaketnya.
Tiket itu berbeda dengan milik mereka semua. Tiket Kinan… bertuliskan “One Way Ticket — Midnight Line”. Tidak ada tujuan. Tidak ada nomor gerbong.
Dan di bawahnya, ada ukiran samar:
“Tebus dosa dengan perjalanan, atau jadi bagian dari kereta selamanya.”
“Apa maksudnya ini… Kinan?” bisik Maura.
Kinan terduduk lemas. “Aku… punya adik. Namanya Kiano. Dia meninggal tahun lalu. Kami harusnya liburan bareng... tapi aku yang maksa dia naik kereta malam saat itu.”
Semua membisu.
“Dia hilang dalam kecelakaan kereta yang sama yang kusebut tadi,” lanjut Kinan, suaranya pecah. “Sejak itu... aku dihantui. Lalu pria itu muncul... dan bilang kalau aku bisa menebusnya. Tapi aku nggak tahu... bahwa kalian semua akan ikut terseret.”
Arya mendekat. “Jadi… ini semacam... perjanjian?”
Kinan mengangguk. “Kalau aku bisa membawa kembali satu nyawa yang hilang dari kereta ini, aku bisa keluar. Tapi… ternyata tidak semudah itu.”
Tiba-tiba, dari langit-langit, tangan hitam dengan kuku panjang mencengkeram pundak Mike dan menyeretnya ke atas, masuk ke balik ventilasi berdarah.
“MIIIIKE!!” Karin berteriak.
Tapi dia telah hilang.
Lampu padam. Alarm kereta berdentang pelan.
“Perjalanan akan segera berakhir. Penumpang tersisa: empat.”
****
Lampu kereta kembali menyala—tapi kini dengan cahaya merah samar, seperti senter dalam ruang darurat.
Suara alarm yang semula berdentang pelan kini berubah menjadi dengungan rendah yang membuat telinga berdengung.
Empat orang tersisa: Karin, Maura, Arya, dan Kinan.
Mereka saling berpandangan. Luka batin, ketakutan, dan kelelahan tampak jelas di wajah mereka. Tapi belum ada waktu untuk menangis. Belum ada ruang untuk histeria.
“Lihat itu…” bisik Maura, menunjuk ke pintu di ujung gerbong.
Sebuah pintu besi yang sebelumnya tak ada. Tertutup rapat, dengan tulisan timbul di atasnya:
"PERON TERAKHIR — HANYA UNTUK MEREKA YANG SIAP MENGHADAPI KEBENARAN."
Kinan perlahan maju, tangannya gemetar saat memutar kenop pintu.
Saat pintu terbuka, mereka disambut oleh lorong panjang dengan lantai batu tua dan dinding bata yang dipenuhi ukiran nama-nama… nama para penumpang yang hilang. Nama Mike dan Kenan sudah ada di sana. Perlahan… cahaya merah dari atap menyorot satu nama lagi yang baru terukir:
Karin.
Karin terdiam. Napasnya tercekat. “Kenapa… namaku di sini?”
Langkah kaki terdengar dari balik lorong. Bukan satu, tapi banyak. Ratusan. Seperti kerumunan yang bergerak… menuju mereka.
Dari kegelapan, sosok-sosok berkerudung hitam muncul. Wajah mereka tidak terlihat. Tapi dari bawah jubah itu, tangan-tangan kurus dan kuku-kuku tajam mencuat, seakan haus akan jiwa.
“Lari!” seru Arya.
Mereka bertiga—Karin, Maura, dan Arya—lari ke dalam lorong, sedangkan Kinan tertinggal. Tapi ia tidak mengejar. Ia berdiri diam di ambang pintu, menatap mereka dengan mata kosong.
“Kinan, AYO!!” teriak Maura.
Tapi Kinan hanya tersenyum samar.
“Aku yang memulai semua ini. Mungkin… aku juga yang harus mengakhirinya.”
Kinan berbalik. Menatap sosok-sosok kegelapan yang mendekat.
“Ambil aku,” katanya pelan. “Lepaskan mereka…”
Tepat sebelum makhluk-makhluk itu menyergapnya, Kinan merogoh sakunya dan melempar tiket lusuh itu ke udara. Tiket itu terbakar perlahan di udara, lalu meledak menjadi cahaya terang.
Seketika, suara dentang berhenti.
Sosok-sosok bayangan menghilang.
Dan pintu gerbong terakhir… tertutup rapat dari dalam.
Karin, Maura, dan Arya terjatuh di lantai peron kecil yang gelap. Tapi ini bukan bagian dari kereta lagi. Mereka berada di dalam ruangan kosong, dengan satu papan pengumuman tua bertuliskan:
“Selamat datang kembali. Tiket Anda telah ditebus.”
Tak ada suara. Tak ada cahaya.
Hingga perlahan… cahaya matahari pagi menyusup dari celah atap yang pecah.
Mereka terbangun di sisi rel, berdekatan dengan puing-puing tua sebuah kereta terbengkalai. Tak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali burung gagak yang bertengger di atas rangka besi.
Arya perlahan berdiri. Maura menangis, menggenggam tangan Karin yang masih hidup.
“Tiga dari kita selamat…”
Karin menatap rel panjang yang mengarah ke kegelapan. “Dan satu… menebus kita semua.”
GENRE CERPEN:
HOROR + ACTION
CERPEN INI SAYA BUAT UNTUK EVEN GC OPEN HEART