Seni Melukis dan Senyum Draco
Beberapa minggu berlalu setelah kemenangan tim voli yang penuh drama. Kaki Aya Parker masih dibalut, tapi ia sudah bisa berjalan perlahan dengan tongkat. Semangat di kelas Thousands of Memories tidak pernah pudar, justru semakin erat. Momen itu mengajarkan mereka arti persahabatan dan dukungan.
Pagi itu, kelas sedang memasuki jam pelajaran Seni. Ruangan dipenuhi aroma cat air dan minyak. Guru mereka, Professor Albus Dumbledore, menugaskan mereka untuk melukis potret diri.
"Anak-anak," kata Professor Dumbledore dengan senyumnya yang khas. "Tugas kalian sederhana: lukis potret diri kalian. Biarkan kuas berbicara tentang siapa diri kalian sesungguhnya."
Semua siswa mulai sibuk dengan kanvas dan cat mereka. Hermione Granger tampak serius melukis dirinya dengan tumpukan buku, sementara Fred Weasley dan George Weasley justru melukis diri mereka sedang melakukan prank.
Cho Chang melukis dirinya dengan seragam tim voli, menunjukkan kebanggaannya. Di sebelahnya, Luna Lovegood melukis dirinya dengan dikelilingi oleh hewan-hewan imajinatif.
Aya, dengan tongkatnya, duduk di bangku. Ia kesulitan melukis. Tiba-tiba, George Weasley menghampirinya.
"Sini, biar aku bantu," kata George sambil mengambil kuas dari tangan Aya.
"Enggak usah, George," kata Aya. "Aku bisa sendiri."
"Aku tahu, kamu bisa," jawab George, nadanya lembut. "Tapi sesekali, biarin aku jadi pahlawanmu, ya?"
Aya hanya tersenyum. Ia membiarkan George membantunya melukis potret dirinya. George melukis potret Aya dengan seragam tim voli, kakinya diperban, namun ia tersenyum. Di sekelilingnya, George melukis teman-teman mereka yang sedang bersorak.
"Kenapa kakiku diperban?" tanya Aya, bingung.
"Karena itu bagian dari dirimu sekarang," jawab George. "Itu bukti perjuanganmu. Dan semua teman kita bangga sama itu."
Di sisi lain, Draco Malfoy sibuk melukis potret dirinya. Biasanya, Draco akan melukis dirinya dengan ekspresi angkuh. Tapi kali ini, ia melukis dirinya dengan senyum tipis, mirip seperti saat ia tersenyum di ulang tahunnya.
Pansy Parkinson yang duduk di sebelahnya, melihat lukisan itu. "Wah, Draco! Tumben kamu melukis dirimu tersenyum?"
Draco menoleh ke arah Pansy. "Kenapa? Lo pikir gue gak bisa senyum?"
"Bukan begitu! Tapi... ini aneh. Tapi bagus," kata Pansy.
Draco lalu menatap Aya dan George yang sedang tertawa. Di lukisannya, ia juga melukis dirinya yang sedang memegang spanduk bertuliskan nama Aya, meskipun spanduk itu berukuran sangat kecil.
Melihat lukisan Draco, Pansy tersenyum. Ia tahu, Draco yang dulu dingin kini sudah berubah. Ia menemukan kehangatan dalam persahabatan di kelas Thousands of Memories.
Di akhir pelajaran, semua siswa mengumpulkan lukisan mereka. Professor Dumbledore tersenyum melihat semua hasil karya. Ia melihat persahabatan, perjuangan, dan tawa di setiap lukisan.
"Luar biasa, anak-anak," kata Profesor Dumbledore. "Kalian semua berhasil melukiskan diri kalian dengan jujur. Dan saya sangat senang, karena di setiap lukisan, saya bisa melihat satu hal yang paling indah: persahabatan."
Draco dan Masalah Geng Motor
Beberapa minggu setelah pelajaran seni, Draco Malfoy memang terlihat lebih santai di kelas. Namun, di luar kelas, ia masih memiliki masalah lama yang belum terselesaikan, yaitu dengan geng motor sekolah yang dipimpin oleh seorang siswa kelas XII bernama Marcus.
Suatu sore, saat pulang sekolah, Draco berjalan sendirian di area parkir. Tiba-tiba, ia dihadang oleh Marcus dan beberapa anggota gengnya.
"Wih, si Malfoy. Udah lama enggak kelihatan," sapa Marcus dengan nada mengejek. "Tumben jalan kaki, mobil lo kempes?"
Draco mendengus. "Bukan urusan lo, Marcus. Minggir!"
"Santai, Bro," kata Marcus sambil menyeringai. "Gue denger, lo sekarang akrab banget sama teman-teman lo, ya? Udah enggak sombong lagi. Bagus, deh. Tapi jangan lupa, lo tetep musuh gue."
Saat Marcus hendak memukul Draco, tiba-tiba Hermione Granger muncul. Hermione yang melihat kejadian itu langsung berteriak.
"Hentikan! Apa-apaan ini?!" teriak Hermione, suaranya lantang.
Marcus dan gengnya terkejut melihat Hermione. Mereka tidak menyangka ada yang berani melawan mereka.
"Oh, ada si pintar juga di sini," kata Marcus. "Lo mau jadi pahlawan, Hermione?"
"Aku bukan mau jadi pahlawan!" balas Hermione. "Aku cuma enggak mau ada keributan di sekolah. Kalau kalian ada masalah, selesaikan dengan baik-baik!"
Draco, yang terkejut melihat Hermione membelanya, hanya terdiam. Ia merasa malu, namun juga terharu.
"Mendingan lo pergi, Hermione. Ini urusan cowok," kata Marcus.
"Aku enggak akan pergi!" tegas Hermione. "Kalau kalian berani, lawan aku dulu!"
Melihat keberanian Hermione, Marcus dan gengnya terdiam. Mereka tidak menyangka, Hermione yang dikenal pintar dan pendiam, bisa seberani itu.
Tiba-tiba, terdengar suara Harry Potter dan Ron Weasley yang datang.
"Woi! Ada apa ini?!" teriak Ron.
"Jangan macem-macem sama teman-teman kita!" tambah Harry, wajahnya terlihat serius.
Melihat Harry dan Ron datang, Marcus dan gengnya langsung pergi. Mereka tidak mau berurusan dengan banyak orang.
Setelah geng motor itu pergi, Ron menghampiri Hermione. "Lo enggak apa-apa, Mione? Gila, berani banget lo!"
"Aku enggak apa-apa, Ron," jawab Hermione. "Aku cuma enggak mau ada yang berantem."
Draco menghampiri Hermione. "Kenapa... kenapa lo belain gue?" tanyanya dengan suara pelan.
Hermione tersenyum. "Kamu teman kita, Draco. Kita harus saling bantu, kan?"
Draco hanya terdiam. Ia menatap Hermione, Harry, dan Ron yang kini berdiri di sisinya. Ia merasa sangat bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka. Ia tahu, ia tidak sendirian lagi.