Di lorong-lorong SMK Kesehatan “Bhakti Husada” yang wangi antiseptik dan alkohol, ada sebuah cerita lama yang terus berputar, seolah tak pernah usang. Cerita tentang Risa dan Danu. Mereka adalah pasangan legendaris di angkatan 2024, si ketua OSIS yang tegas dengan si anak band yang cuek. Semua murid tahu kisah mereka, mulai dari cara mereka pandang-pandangan di ruang UKS, hingga momen saat mereka harus putus di hari kelulusan.
Tiga tahun berlalu, dan takdir punya cara unik untuk mempertemukan mereka lagi. Risa kini menjadi guru muda di sekolah itu. Wajahnya yang dulu ceria, sekarang memancarkan aura dewasa dan profesional. Ia mengajar mata pelajaran Asuhan Keperawatan, menularkan ilmunya dengan penuh passion. Di sisi lain, ada Danu, yang tak disangka-sangka kembali ke sekolah itu sebagai guru Bimbingan Konseling (BK). Jaket kulit favoritnya sudah diganti dengan kemeja rapi, tapi senyumnya yang dulu sering membuat Risa salah tingkah, masih sama.
Pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terjadi di ruang guru. Risa sedang sibuk menyusun RPP saat Danu masuk membawa setumpuk formulir. Ruangan itu mendadak hening, hanya ada suara detak jarum jam yang terasa begitu keras. Mereka berpandangan, dan dalam sekejap, semua kenangan masa lalu menyeruak kembali. Obrolan mereka dulu di kantin, janji-janji yang tak sempat ditepati, hingga alasan putus mereka yang sebenarnya sederhana: masa depan.
Awalnya, mereka mencoba bersikap profesional. Risa menyapa Danu dengan formal, "Selamat pagi, Pak Danu." Danu membalasnya dengan senyum canggung, "Pagi, Bu Risa." Namun, seiring berjalannya waktu, profesionalisme itu mulai luntur. Mereka sering kali tak sengaja bertemu di perpustakaan, di kantin, atau bahkan saat piket jaga di gerbang sekolah. Percakapan ringan tentang siswa berubah menjadi obrolan nostalgia tentang masa lalu. Mereka membahas guru-guru killer, makanan favorit di kantin, hingga lagu yang dulu sering Danu ciptakan untuk Risa.
Api cinta yang dulu mereka kira sudah padam, kini kembali menyala. Risa sering kali mencuri pandang ke arah Danu saat ia sedang serius memberikan konseling. Hati kecilnya berbisik, "Dia memang pantas menjadi guru BK." Di sisi lain, Danu sering kali tertawa melihat cara Risa menjelaskan materi, gestur-gestur kecil yang ia ingat saat mereka masih remaja.
Puncak dari semua ini adalah saat malam pentas seni sekolah. Risa bertugas sebagai panitia, sedangkan Danu didapuk menjadi juri. Di tengah hiruk pikuk panggung, Danu menghampiri Risa yang sedang kelelahan. Mereka duduk di bangku belakang, di bawah rembulan yang terang benderang. Malam itu, di bawah bintang yang sama seperti saat mereka berjanji akan terus bersama, Danu mengakui perasaannya.
"Risa," katanya, suaranya pelan dan bergetar, "Aku tahu ini gila. Tapi, aku tidak bisa bohong. Aku masih mencintaimu." Risa terdiam, menatap mata Danu yang memancarkan kejujuran. Air mata mengalir di pipinya, air mata kebahagiaan. "Aku juga, Danu," jawabnya lirih. "Aku juga."
Kisah cinta mereka yang dulu terputus di ambang pintu masa depan, kini kembali bersemi di koridor masa kini. Mereka membuktikan bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar mati, hanya beristirahat untuk waktu yang lama, menunggu waktu yang tepat untuk kembali. Mereka kini adalah dua guru yang mengajarkan lebih dari sekadar ilmu keperawatan dan konseling; mereka mengajarkan bahwa CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) bukan hanya mitos, melainkan sebuah realita manis yang bisa terjadi kapan saja, bahkan di tempat yang paling tidak terduga.