Kadang kala, ketika dunia begitu bising. Ketika hanya terdengar suara teriakan yang saling bersahutan. Ketika rumah tak lagi terasa seperti rumah.
Aku akan membuka pintu belakang rumah ku diam-diam—tanpa sepengetahuan orang rumah. Dibelakang rumah, terbentang taman bunga yang begitu indah. Tanahnya begitu lapang di penuhi rerumputan, dan berbagai macam bunga.
Ada juga pepohonan-pepohonan yang begitu lebat buahnya, dan rindang dedaunannya. Ketika lapar, aku akan memanjat pohon untuk sekedar mengambil beberapa buah untuk ku makan—di sini begitu menyenangkan.
Di sini, aku tak perlu merasa takut setiap saat. Aku bebas bermain sesukaku, namun bolehkah? Aku merasa bahagia disini?
Aku takut, kalau semua ini hanyalah khayalan belaka.
Suatu hari, ketika aku sedang makan di meja makan. Ayah dan bunda bertengkar hebat, teriakan mereka saling bersahutan. Wajah ayah terlihat merah padam, sedangkan bunda nampak menahan tangisnya.
Dirumahku, meja makan menyatu dengan dapur. Lalu disamping dapur, terdapat pintu belakang rumah. Mataku menatap lekat pintu itu, lalu beralih pada ayah dan bunda yang masih asik melontarkan argumen mereka.
Dengan langkah pelan, aku turun dari kursi, dan berjalan ke arah pintu belakang rumah. Ku putar gagang pintu perlahan, begitu pintu terbuka, terbentang taman bunga yang begitu menawan. Ku langkahkan kaki—meninggalkan dunia yang membuatku luka.
Sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah lamaku, aku menoleh ke belakang—menatap ayah dan bunda yang masih saja asik bertukar kata. Sejenak aku merasa ragu untuk melanjutkan langkah kakiku.
"Hei, mau gak, kamu main sama aku?"
Tanyanya riang, mataku meliar kesana-kemari mencari asal suara itu.
Lalu, cahaya lembut mulai menyelimuti tubuhku, cahaya lembut itu membentuk gumpalan. Muncullah anak perempuan, dengan rambut dikuncir dua—ia melayang mengelilingi ku dengan sayap kecilnya itu—apa dia itu peri?
Suaraku mengendap di udara, seperti bisikan angin yang tersesat. Dengan ragu aku bertanya "Siapa... kamu?".
"Hai, aku peri penjaga taman bunga ini, mulai sekarang aku yang akan menemanimu bermain! Disana juga ada anak-anak lainnya, ayo kesana!"
Katanya riang, sambil mengulurkan tangan, sebagai kode untuk ikut bersamanya.
Aku ragu sejenak, mataku kembali melirik kedalam rumah. Mungkin, karena aku yang terlihat ragu-ragu begitu, peri kecil itu terus berusaha mengajakku pergi bersamanya.
"Ayo kita bermain, disana banyak sekali teman-teman seusiamu. Ada juga wahana permainan yang seru loh! Kalau lapar, kamu tinggal bilang, nanti aku bawakan makanan kesukaan mu! " Katanya berusaha meyakinkan ku.
"Kau tau... Disana tak ada lagi rasa sakit... " Sambungnya kemudian.
Lalu, akupun menoleh kearahnya.
"Benarkah? Aku tak perlu merasakannya lagi? Tak perlu menahan tangis? Tak perlu lagi? "
Tanya ku penuh penasaran, entah mengapa, aku harap ia mengatakan 'iya'.
Peri kecil itu mengulurkan tangannya padaku, tanpa sadar aku langsung menerima uluran tangannya itu.
"Kau berhak berbahagia... "Kata peri itu pelan, nyaris berbisik.
Akhirnya, anak lelaki itu bisa merasakan bahagia yang sesungguhnya, tanpa rasa sakit. Ia bisa menjadi anak-anak yang sesungguhnya, ketika ia berbuat suatu hal yang salah, ia tak lagi langsung dimarahi, melainkan diarahkan. Disana, ia mendapatkan asuhan dari dua orang dewasa, yang sudah ia anggap sebagai kedua orang tuanya.
Ia juga memiliki teman bermain—yang selama ini hanyalah mimpinya belaka.
Sementara itu, kedua orangtua anak itu, tengah menangis tersedu-sedu. Mereka menangisi kepergian sang buah hati tercinta...
Sebenarnya yang terjadi pada malam itu...
Ketika tengah makan malam bersama diruang keluarga, sang ayah berkata bahwa ia ada dinas di luar kota, jadi untuk sementara waktu ia tak bisa pulang. bundanya tentu tak langsung percaya saja, sebab berulang-ulang kali sang suami berkata dinas keluar kota, akan tetapi justru kerap kali ia melihat suaminya itu jalan dengan perempuan lain.
Sang bunda menatap mata suaminya penuh rasa akan kekecewaan, lalu berkata "Kapan pulang? Beneran tugas dinas keluar kota? Bukan kencan dengan perempuan lain bukan?"
"Kau ini! Aku tuh kerja untuk menafkahimu dan anak kita! Kenapa kau berbicara seakan-akan aku itu selingkuh darimu?!"
Sepasang suami-istri itu bertengkar begitu hebat di meja makan, mereka bahkan tak peduli dengan putra mereka yang masih makan disana. Melihat ayahnya hendak memukul bundanya, ia langsung turun, dan mencegah ayahnya itu.
Ia berdiri didepan bundanya, berusaha menjadi tameng sang bunda. Ia berhasil melindungi bundanya, agar tak kena tamparan dari sang ayah. Sayangnya, karena tamparan yang begitu kuat, dan ia yang masih berumur lima tahunan tak kuat menahan tamparan itu. Ia terpental jauh, dan menubruk tembok, darah mulai mengalir dari kepalanya.
Dan anak kecil itu, menutup mata untuk selamanya. Meninggalkan dunia yang telah lama melukainya...
—Tamat—