Langit sore itu berwarna jingga keemasan. Awan tipis menari lembut di atas cakrawala, seolah melukis kanvas terakhir sebelum malam menjatuhkan tirainya. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin dan bisikan kenangan yang belum usai.
Kita duduk berdampingan di tepi pantai. Tak ada musik, tak ada keramaian. Hanya detak jantung kita, debur ombak, dan waktu yang berjalan lambat.
Aku menatap mentari yang perlahan tenggelam, sementara kamu—diam-diam—menatapku. Dan untuk sesaat, keheningan melanda kita berdua.
“Kamu tahu,” katamu, suaramu tenang, nyaris berbisik. “Senja selalu bikin aku ingin jatuh cinta… pada orang yang sama setiap hari.”
Aku menoleh, mencari arti di balik sorot matamu. Dan di sana—aku melihatnya. Perasaan yang sama seperti yang kurasa. Hangat, dalam, dan tak pernah berubah.
“Dan orang itu… siapa?” Tanyaku pelan, meski dalam hati aku sudah tahu jawabannya.
Kamu tersenyum. Tak menjawab dengan kata, hanya menggenggam jemariku. Eratanmu lembut tapi pasti. Dan aku paham. Tanpa ucapan, kamu telah menjawab semuanya.
Matahari semakin tenggelam, menyisakan cahaya emas yang membias di permukaan laut. Waktu berjalan pelan, tapi detik-detik bersamamu selalu terasa terlalu cepat.
“Kalau senja besok datang lagi,” katamu, “masih mau duduk di sini… bersamaku?”
Aku mengangguk.
“Selama matahari masih terbit, aku akan selalu kembali untuk senjamu.”
Kamu tertawa kecil, kemudian berdiri. Mengulurkan tangan dengan senyum yang selalu kurindukan.
“Ayo pulang. Senja ini milik kita. Tapi malam… akan penuh cerita baru.”
Aku menggenggam tanganmu, melangkah bersamamu meninggalkan pantai, dengan hati yang tak pernah sehangat ini.
Di tengah senja itu, aku dan kamu bukan sekadar dua orang biasa. Kita adalah satu kisah yang bahkan waktu pun tak mampu melupakan.
Dan mungkin... jika esok tak ada lagi senja, aku tetap akan duduk di tepi pantai ini— menunggumu, seperti dulu.