Nadine cuma ingin healing bareng pacarnya ke luar negeri. Tapi siapa sangka, niat makan malah berakhir di restoran penuh pelayan tampan—yang cuma pakai apron! Ray, si pacar sabar dengan roti sobek, hampir gila sendiri. Apakah roti sobek bisa mengalahkan pesona para oppa ber-apron?
---
📝 Ray-Nadine
Liburan ke luar negeri bersama pacar? Kedengarannya menyenangkan.
Setidaknya begitu pikir Nadine, yang antusias menyusun itinerary, outfit of the day, hingga target kuliner selama trip mereka di Thailand.
Ray, pacarnya, hanya bisa pasrah. Ia memang sudah terbiasa dengan spontanitas Nadine. Tapi tetap saja, ada hal-hal yang tidak pernah bisa diprediksi.
Seperti hari ini.
Nadine menunjuk sebuah restoran bergaya modern di sudut jalan dengan semangat tinggi.
"Ehh, kita ke sana yuk!" serunya.
Belum sempat Ray menjawab, Nadine sudah menarik tangannya dengan semangat seperti anak kecil yang melihat toko mainan.
Namun begitu mereka melangkah masuk, Nadine langsung berteriak histeris—bukan karena takut, tapi terlalu bahagia.
Ray? Rasanya ingin langsung pingsan saat itu juga.
"Ayo pulang," bisik Ray dengan nada genting. Ia menarik lengan Nadine dan buru-buru menutup mata gadis itu dengan telapak tangannya.
"Enggak, nanti aja! Aku mau lihat mereka dulu! Ihh cakepnya!" Nadine berseru dengan mata berbinar seperti habis menang undian dan dapat dollar.
Restoran itu bukan tempat biasa. Interiornya modern dan wangi, tapi bukan itu yang menarik perhatian Nadine. Melainkan... para pelayannya. Mereka semua laki-laki, tampan, tinggi, kulit putih mulus—dan hanya mengenakan apron tanpa atasan!
Ray ingin menangis di pojokan.
Dengan berat hati, ia duduk di bangku seberang Nadine. Matanya menatap kosong ke arah meja. Tapi Nadine? Sibuk menatap para pelayan seperti fans K-Pop ketemu idol.
"Astaga... astaga," desah Nadine begitu salah satu pelayan menghampiri mereka.
Pelayan itu tersenyum sopan, menyodorkan menu dengan gaya bak model fashion show. Nadine dengan senyum noraknya langsung membuka dompet, seolah-olah ini investasi masa depan.
Mereka pun mulai memesan makanan. Nadine tidak ragu memesan banyak hal yang bahkan namanya sulit dia ucapkan. Yang penting bisa lebih lama duduk di sana.
Ray memandangi kekasihnya dengan wajah frustasi.
"Astaga, Nad... Kamu nggak puas lihat aku? Gak cukup kah? Aku tampan, tinggi, putih, mata sipit juga, dan—yang paling penting—punya roti sobek, juga kayak mereka!" omel Ray, nada suaranya campur aduk antara cemburu dan putus asa.
Nadine malah tertawa terbahak-bahak.
"Lucunya pacarku," ucapnya manis, lalu mencubit pipi Ray gemas.
"Tenang, kamu tetap nomor satu di hatiku. Cuma... yaa, boleh lah cuci mata dikit-dikit. Kan di luar negeri."
Ray hanya bisa menatap langit-langit dan berdoa semoga makanannya cepat datang.
Kalau tidak, dia takut roti sobeknya ikut meleleh karena panasnya kecemburuan.
*****
Setelah 30 menit bertahan di tengah badai para oppa ber-apron, kesabaran Ray akhirnya habis.
Ia berdiri dari tempat duduk, membenarkan kerah kemejanya dengan gaya dramatis, lalu berkata dengan lantang.
"Permisi, saya mau pinjam apron satu! Saya juga punya roti sobek, bahkan isi cokelat!"
Seketika restoran hening. Nadine melongo. Para pelayan saling pandang, sementara salah satu manajer tertawa kecil.
"Apa kamu... yakin, Sir?" tanya si manajer sambil menahan tawa.
Ray mengangguk dengan penuh tekad.
"Demi cinta. Demi roti sobekku yang tersakiti."
Dan akhirnya, Ray pun muncul dari balik dapur restoran dengan apron pinjaman, dada tegak dan senyum percaya diri.
Nadine langsung menjerit sambil menutup muka,
"Aduh astaga Ray! Jangan beneran dong! Hahaha!"
Tapi saat dia mengintip—melihat Ray tampil bak pelayan impian versi lokal—tiba-tiba hatinya tersentuh.
"Eh… Ray… kamu lucu juga sih gitu."
Ray mendekat, duduk di depan Nadine, dan berkata dengan gaya ala drama Korea,
"Masih kurang ganteng? Atau sudah cukup untuk tutup mata dari yang lain?"
Nadine tertawa sambil menepuk meja.
"Udah, udah, kamu menang! Gak ada yang ngalahin roti sobek isi cinta kayak kamu!"
Ray pun tersenyum bangga.