Langit siang itu biru bersih, dihiasi awan tipis yang melayang pelan seperti pikiran Ayla yang penuh tapi tetap tenang. Ia berjalan menyusuri lorong kelas, menggenggam buku catatan dan beberapa lembar uang kas yang belum terkumpul sepenuhnya.
Ia bertugas sebagai bendahara kelas, pekerjaan yang katanya mudah. Tapi tidak dengan perasaan yang menyertainya — terutama saat harus mendekati Raka, teman sekelas yang… entah sejak kapan menjadi pusat dari diam-diamnya Ayla.
Hari itu, seperti biasa, Ayla mengumpulkan uang kas. Saat sampai di meja Raka, cowok itu sedang bersandar santai.
“Rakaa, kas!” kata Ayla, nada suaranya sedikit tinggi, seperti biasanya saat memanggil atau menagih. Bukan manja, bukan lembut, hanya gaya khas Ayla — to the point dan jelas.
Raka menoleh, lalu tangannya tetap berada di saku, kayak lagi nyari uang di dalamnya.
“Aduuh... gak ada deh kayanya,” jawabnya dengan ekspresi seolah-olah bingung sendiri.
Ayla mengangkat alis. “Kalo gak ada ya udah, gapapa, nanti aja,” ucapnya sambil mencatat di buku kas, nada suaranya datar tapi santai terdengar mengerti.
Tiba-tiba, Raka mengeluarkan tangan dari saku. Bukan membawa uang — melainkan membentuk jari jempol dan telunjuk menjadi simbol hati kecil, mengarah ke Ayla.
Ayla langsung melotot kecil, ekspresi setengah bercanda. “Ih apaan sih! Enggak lucu tau!” katanya sambil pura-pura ngambek, membalikkan badan, tapi masih berdiri di tempat.
Raka tertawa pelan, lalu mengeluarkan uang sungguhan dari saku lainnya dan menyodorkannya ke arah Ayla. “Nih... bayar beneran. Takut ditagih mulu.”
Ayla mengambil uang itu tanpa komentar, mencatatnya cepat-cepat di buku. Tapi dari sudut matanya, ia tahu pipinya hangat — bukan karena panas siang hari, tapi karena seseorang yang entah kenapa, selalu berhasil bikin hari biasa jadi berantakan sedikit lebih indah.
---
Beberapa hari setelahnya, Ayla mulai merasa lebih banyak diam. Ia tetap tertawa, tetap mengobrol, tetap menulis rapih di papan kas, tapi pikirannya seperti menjauh dari percakapan sehari-hari.
Raka masih sama — suka bercanda, suka menyeletuk tiba-tiba saat guru menerangkan, dan kadang melirik ke arahnya sambil iseng. Tapi sejak hari itu, Ayla jadi lebih berhati-hati. Ia merasa dirinya terlalu mudah senang hanya karena jari kecil yang membentuk hati.
Ia tidak ingin berharap, tapi juga tidak tahu cara menutup rapat perasaan.
Malam harinya, di kamar yang sepi, Ayla membuka akun Instagram Raka. Bukan untuk melihat foto-fotonya, tapi entah kenapa, ia seperti ingin tahu apakah cowok itu memang... seperti itu ke semua orang.
Tapi yang ia lihat justru satu video pendek. Raka menari kecil di depan pintu kelas — ekspresi konyol khasnya — dengan tulisan teks melayang di bawahnya:
“Entah sampai kapan aku terus terjebak mencintaimu, padahal aku tahu kamu tidak mungkin mencintaiku.”
Ayla menatap lama. Jantungnya sempat diam sejenak. Lalu kembali berdebar pelan.
Mungkinkah...?
Tapi ia cepat-cepat menggeleng. “Ah, mungking dia lagi diam-diam suka sama seseorang, itu pasti" gumamnya, seolah dirinya bisa mengendalikan isi hati semudah menghapus notifikasi.
---
Besoknya, saat istirahat, Ayla duduk sendirian di bangku dekat lapangan basket. Tangannya memainkan tali tas, sementara matanya mengikuti lompatan bola yang dilempar oleh beberapa anak cowok — salah satunya Raka.
Mala duduk di sebelahnya, menggigit potongan roti isi dan ikut mengamati mereka.
“Kamu tahu nggak,” ujar Mala tiba-tiba, “Raka itu lucu juga ya. Aku kira dulu cuek banget.”
Ayla mengangguk singkat. Lalu diam. Ada percikan kecil yang terasa aneh, tapi ia tahan. Ia tidak berhak merasa cemburu. Ia bahkan tak yakin dengan rasa sendiri.
Mala menoleh. “Kamu gak apa-apa?”
“Enggak,” jawab Ayla cepat. “Cuma mikir tugas sejarah.”
Padahal yang ia pikirkan adalah... bagaimana perasaan bisa muncul begitu saja, lalu berlarian di kepala tanpa izin. Dan lebih dari itu — bagaimana perasaan itu bisa begitu pelan berubah jadi takut kehilangan, padahal belum pernah benar-benar dimiliki.
---
Sore itu, Ayla kembali menulis. Bukan tugas sekolah, tapi isi hati. Kali ini lebih tenang, lebih dewasa:
“Aku tidak sedang menanti balasan. Aku hanya ingin tahu, apakah rasa ini bisa tinggal tanpa menyakiti siapa-siapa.”
Ia menutup buku itu pelan. Kali ini tak ada air mata, hanya ada senyum kecil. Ia tahu bahwa menyukai seseorang dalam diam bukan kelemahan. Tapi keberanian — untuk tetap merasa, meski tak diungkapkan.
Dan entah sampai kapan, Ayla akan terus menyimpan rasa itu seperti halaman yang ia lipat rapi di antara buku kas kelas.
---