Aroma Kopi dan Kenangan yang Kembali
Hujan sore itu turun dengan enggan, membasahi jalanan Jakarta yang tak pernah sepi.
Di sebuah kafe kecil di bilangan Kemang, Raihan menyesap kopi hitamnya, matanya menerawang ke luar jendela. Lima tahun berlalu sejak ia memutuskan untuk meninggalkan gemerlap ibu kota, mencari ketenangan di desa terpencil. Namun, sebuah undangan reuni SMA berhasil membawanya kembali, dan ironisnya, juga menyeretnya kembali ke masa lalu yang pernah ia kubur dalam-dalam.
Pintu kafe terbuka, dentingan lonceng kecil mengiringi masuknya seorang wanita. Raihan nyaris tersedak kopinya. Waktu seolah berhenti berputar. Aroma lavender samar-samar menyeruak, aroma yang begitu ia kenal.
Diandra.
Senyumnya masih sama, secerah mentari pagi. Matanya yang cokelat jernih menatap sekeliling, mencari seseorang.
"Raihan?" Suaranya lembut, membelai telinga Raihan seperti melodi indah yang sudah lama tidak ia dengar.
Raihan berdiri, jantungnya berpacu tak karuan. "Diandra," sapanya, suaranya sedikit serak. Ia mengulurkan tangan, dan Diandra menyambutnya.
Sentuhan itu, meskipun singkat, mampu membakar kembali bara yang telah lama padam di hati Raihan.
Diandra duduk di hadapannya, "Aku tidak menyangka kamu akan datang." Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
"Begitu juga aku." Raihan menjawab, menatap mata Diandra yang memancarkan kehangatan. "Bagaimana kabarmu?"
"Baik," Diandra menghela napas pelan. "Kesibukan kantor membuatku kadang lupa waktu." Ia tertawa kecil, tawa yang dulu selalu mampu menenangkan badai dalam diri Raihan. "Kamu sendiri? Kabarnya sekarang jadi petani sukses di desa?"
Raihan tersenyum. "Kurang lebih begitu. Hidup di sana lebih tenang, jauh dari hiruk pikuk." Ia menyesap kopinya lagi, mencoba menutupi kegugupannya. "Kamu masih bekerja di bidang arsitektur?"
Diandra mengangguk. "Ya. Setelah lulus, aku langsung bergabung dengan perusahaan itu." Ia meraih gelas air putihnya. "Kadang aku merindukan masa SMA, ya. Waktu itu rasanya semua begitu sederhana."
Sore itu, obrolan mereka mengalir lancar, seperti sungai yang menemukan jalannya kembali setelah kemarau panjang.
Mereka mengenang masa lalu, tawa dan canda yang pernah mereka bagi, juga kesalahpahaman yang akhirnya memisahkan mereka.
Raihan teringat betapa dulu ia adalah badai yang bergolak, sedangkan Diandra adalah samudra yang luas, selalu mampu menampung segala gelisah hatinya.
"Aku minta maaf atas semuanya, Diandra," ucap Raihan, menatap serius ke arah Diandra. "Aku tahu aku dulu kekanakan."
Diandra tersenyum lembut. "Sudahlah, Raihan. Itu semua sudah berlalu. Kita berdua masih sangat muda waktu itu." Ia mengulurkan tangannya, menyentuh punggung tangan Raihan yang bertumpu di atas meja.
Sentuhan itu seperti percikan api yang membakar kembali kayu bakar yang kering, menimbulkan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuh Raihan.
"Tapi, aku menyesal." Raihan menunduk, urat nadinya menonjol di lehernya, menunjukkan betapa besar penyesalannya. "Menyesal telah melepaskanmu."
Hening sejenak. Hanya suara rintik hujan yang terdengar samar dari luar kafe. Diandra menarik napas dalam-dalam. "Aku juga..." Bisikannya nyaris tak terdengar. "Aku juga merindukanmu, Raihan."
Mata Raihan memancarkan kelegaan. Ia mengangkat kepalanya, menatap Diandra dengan sorot mata yang penuh harap. Wajahnya yang biasanya kaku kini melunak, seolah beban berton-ton terangkat dari pundaknya.
"Diandra." Raihan menggenggam tangan Diandra erat. "Bisakah kita... Bisakah kita mencoba lagi?"
Diandra menatap Raihan, ada keraguan di matanya, namun juga ada secercah harapan. Ia melihat kejujuran di sorot mata Raihan, ketulusan yang tak pernah ia ragukan. Perlahan, senyum terukir di bibirnya, senyum yang mampu mengusir mendung di hati Raihan.
"Aku akan pikirkan," jawab Diandra, nadanya sedikit menggoda. Namun, genggaman tangannya yang semakin erat pada tangan Raihan sudah menjadi jawaban yang paling jelas.
Raihan tersenyum.
Aroma kopi yang hangat, diiringi rintik hujan dan secangkir kenangan, kini terasa lebih manis dari biasanya.
Cinta yang dulu terhenti, kini menemukan jalannya untuk bersemi kembali, lebih matang, lebih kuat, dan siap untuk menghadapi badai apa pun yang mungkin datang di masa depan.