Langit pagi itu tampak biasa saja. Tak ada yang istimewa. Di halaman sekolah, bendera merah putih berkibar dengan angkuhnya. Para siswa berdiri tegak mengikuti upacara bendera, tapi Alya tetap menatap kosong ke depan. Di dalam hatinya, ia merasa semua ini hanya formalitas belaka.
“Ngapain sih harus hormat bendera tiap hari Senin? Zaman udah maju, bukan 1945 lagi,” gumamnya pelan.
Kata-kata itu tak sengaja terdengar oleh Pak Harun, guru sejarah. Ia hanya menatap Alya sekilas tanpa berkata apa-apa. Namun, dari sorot matanya, tampak kekecewaan yang tak terucap.
Setelah pulang sekolah, Alya masuk ke kamarnya dengan malas. Ia melepas dasi merah putih dan melemparkannya ke atas meja. Di kamarnya yang sunyi, terpajang foto hitam putih seorang pria tuakakeknya yang telah lama wafat. Seorang veteran perang.
Sejak kecil, ia sering mendengar cerita ayahnya tentang bagaimana sang kakek bertempur melawan penjajah. Tapi entah kenapa, cerita itu baginya terdengar membosankan. Ia merasa semua itu hanya masa lalu yang tak lagi relevan.
Sampai sore itu, ketika ia membersihkan lemari tua milik almarhum kakeknya, Alya menemukan sesuatu, sebuah buku lusuh bertuliskan “Catatan Perang dan Cinta”.
Dengan rasa penasaran, ia duduk dan mulai membacanya.
- “17 Agustus 1947. Hari ini kami bertempur habis-habisan. Peluru menembus udara, darah mengalir di tanah yang katanya merdeka. Aku ingat wajah Lestari, gadis yang kujanjikan akan kujadikan istri setelah perang usai. Tapi pagi ini, aku meninggalkannya tanpa pamit. Demi tanah ini, demi merah putih di dadaku...”
Alya terdiam. Halaman demi halaman, ia menyelami kehidupan kakeknya yang penuh luka. Cinta yang tertunda, sahabat yang gugur, malam-malam penuh doa agar Indonesia benar-benar bebas. Setiap kata dalam buku itu seperti menampar rasa apatisnya selama ini.
Air mata jatuh tanpa ia sadari.
Esoknya, saat upacara bendera dimulai, Alya berdiri paling depan. Tangannya terangkat tinggi saat memberi hormat. Pandangannya tajam menatap bendera yang perlahan naik ke tiang. Di dadanya, buku catatan kakek disimpan rapat, seperti pusaka yang tak ternilai.
Pak Harun melirik ke arahnya dan tersenyum kecil. Perubahan itu tak perlu dijelaskan, cukup dilihat dari caranya berdiri tegak, tenang, dan penuh hormat.
Di rumah, sang ayah menatap Alya yang sibuk menempel foto kakeknya di dinding kamar. Dengan lembut, ia berkata, “Ayah tahu kamu butuh waktu. Tapi Ayah percaya, kamu akan paham kenapa kita harus mencintai negeri ini.”
Alya menoleh dan tersenyum tipis.
“Sekarang aku ngerti, Yah. Merdeka itu bukan cuma bebas dari penjajah. Tapi juga bebas dari kebencian dan ketidaktahuan. Dan aku baru mulai merdeka hari ini.”
Tamat