Kapan Aku Dikhitankan?
Bau harum masakan Ibu selalu menjadi penanda paling ampuh bahwa hari telah sampai pada puncaknya. Sore itu, aroma tumis kangkung dan ikan goreng merebak dari dapur, menari-nari menembus sekat rumah mungil itu. Rumah yang diwariskan oleh Mbah buyut, ayah dari kakeknya Adly, ya seperti itulah pemuda cilik itu biasa dipanggil. Sedari tadi ia berkutat dengan buku pelajaran di meja belajar, sontak menghela napas panjang. Bukan karena lelah, melainkan karena kebahagiaan yang samar-samar menyeruak.
Rumah itu begitu sepi. Hanya Adly dan Ibunya yang menghuninya. Sedangkan kakak Perempuannya tinggal di asrama pondok pesantren sementara ayahnya jarang sekali pulang. Dia berjuang mencari nafkah untuk dua keluarga, keluarga Adly dan keluarga pokoknya. Yah, Eva ibunya Adly memang istri kedua dari ayahnya yang dinikahinya secara siri. Entahlah,sangat disayangkan memang. Mengapa Eva rela menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Sampai Adly sebesar itu pun, ia belum masuk dalam daftar kartu keluarga. Sementara kakak Perempuannya diikutkan dalam kartu keluarga Bude, adiknya Mbah Kung.
Adlyzaq Faiz Abdurrahman itu nama panjangnya, biasa dipanggil Adly. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, mereka berdua berkumpul di meja makan. Di sinilah tempat di mana ia bisa berkeluh kesah dengan sang ibu.
"Bu, tadi di madrasah mata pelajaran Fiqih membahas tentang khitan," ucapnya di sela suapan. โKapan aku dikhitankan, Bu? Satu kelas tinggal aku yang belum khitan. Aku malu, Bu,โ Adly menambahkan dengan suara memelas.
Eva menghela nafas sejenak sebelum menanggapi permintaan sang putra. โMaafkan ibu, Nak. Ibu belum punya uang untuk biaya pendaftaran khitan kamu,โ ucapnya.
โKata Bu guru ada program sunat gratis dari Lazisnu, Bu,โ timpal Adly.
โIbu bicarakan sama ayah dulu ya, Nak. Sekarang kamu habiskan makan kamu dulu, setelah itu istirahat. Besok kan kamu akan mewakili madrasah untuk ikut lomba catur tingkat kabupaten,โ tutur Eva lembut.
Adly hanya menurut, tetapi hatinya memendam kekecewaan yang teramat dalam atas jawaban sang ibu. Padahal ia sudah sangat ingin disunat, tetapi orang-orang di sekitarnya seakan-akan tidak ada mendukung. Sambil menghela napas ia masuk ke dalam kamar.
Adly membaringkan tubuhnya terlentang di di atas tempat tidur. Matanya menerawang ke atas menembus langit-langit kamar yang tersusun dari anyaman bambu. Ia seperti memikirkan sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan ia lakukan keesokan harinya.
Usianya sudah mendekati akil baligh. Bahkan teman laki-laki sekelasnya sudah ada yang tumbuh jakun dan bulu halus di area tertentu. Suara mereka juga sudah membesar. Mungkin juga sudah tumbuh benih-benih perasaan terhadap lawan jenis. Lalu bagaimana ia akan menghadapi gadis pujaan hatinya kalau ia belum sunat.
Padahal teman-temannya ada beberapa yang ikut sunat masal, keluarga mereka juga baik-baik saja dan mampu sebenarnya. Sementara dirinya yang berasal keluarga yang boleh dibilang kurang mampu, orang tuanya seakan-akan gengsi untuk mendaftarkannya khitan gratis.
***
Deru mesin jahit yang bersahutan terkadang membuat telinga kita berdenging. Di sinilah Eva mengadu nasib dengan menggunakan tenaganya sebagai tenaga packing di sebuah konveksi. Upahnya tidak seberapa, tetapi ini lebih baik daripada tidak mempunyai pekerjaan apapun. Peluh yang menetes di dahinya yang gempal serta debu yang berterbangan tak menyurutkan tekadnya.
Siang hari Eva pulang ke rumahnya untuk sholat dan makan siang, lalu kembali lagi ke tempat kerja. Jarak rumahnya dengan tempat kerja memang hanya terpaut tiga rumah. Sore hari ia pulang sekitar pukul empat sore. Seperti biasanya, ia akan memasak sayuran yang ia beli dari tukang sayur keliling. Sesekali ia melirik ke ruang dalam, tidak ada suara Adly seperti biasanya.
โSudah hampir malam, kenapa Adly belum pulang?โ gumamnya.
Ibu muda yang usianya belum genap 30 tahun itu mengusap kedua tangannya dengan kain lap. Lalu bergegas meninggalkan dapur. Diraihnya ponsel butut yang tergeletak tidak berdaya di atas meja. Ia hendak menghubungi guru pendamping yang tadi pagi menjemput Adly untuk berangkat mengikuti lomba catur tingkat kabupaten.
โAdly sudah saya turunkan di depan rumah tadi siang sekitar pukul dua, Bun,โ begitulah suara yang terdengar dari seberang sana.
โAstaghfirullah, lalu di mana Adly sekarang, Pak?โ Terdengar nada kepanikan dari kalimat Eva.
โAdly tadi terlihat kurang konsentrasi saat main, Bun. Sehingga ia kalah di babak kedua. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya?โ Pak Sam sang guru pendamping malah bertanya balik.
โEmm โฆ Maaf, Pak. Saya buru-buru mau mencari Adly karena sudah mau masuk waktu Magrib. Terima kasih atas informasinya ya, Pak. Assalamualaikum,โ Eva mengakhiri sambungan teleponnya.
Eva dengan panik langsung keluar rumah. Ia mendatangi rumah buleknya yang berada tepat di samping rumahnya. Eva mencari anak laki-lakinya hingga pukul sembilan malam. Ia sudah menanyakan ke semua teman-teman Adly juga ke tetangganya. Semuanya menjawab tidak tahu. Akhirnya ia kembali pulang ke rumah dengan tangan kosong.
โApa mungkin Adly digondol genderuwo?โ gumamnya.
Dengan langkah gontai ia memasuki rumahnya. Lalu berjalan menuju ke kamar Adly. Saat ia membuka pintu suasana kamar nampak gelap. Karena lampu kamar memang belum dinyalakan. Eva pun menekan saklar. Danโฆ
Pyar
Seketika ruangan menjadi terang karena Eva sudah membeli token listrik, eh. Bukan, bukan itu fokus Eva sekarang. Kini mata Eva terbelalak melihat tubuh anak bungsunya tidur terlentang di atas kasus springbed tanpa penyangga itu.
โAdly?โ ucap Eva tercengang.
โIbu, aku mimpi sunat. Pestanya meriah banget,โ celoteh Adly. โKapan aku disunat, Bu?โ lanjutnya bertanya. Eva hanya mengelus dada.