---
## **Sampai Di Sini, Tapi Tak Pernah Selesai**
*(Cerpen oleh: \[skyforz])*
Angga duduk di tepi tempat tidur, kamar sempitnya diselimuti bayangan sore yang mulai redup. Di tangannya, sebuah ponsel memutar ulang satu foto lama: dirinya dan Ana di depan gerbang SMK 1 Pandeglang. Masih remaja, masih tersenyum penuh harap.
Kini, mereka tak lagi di titik itu. Tak lagi saling sapa setiap pagi. Tak lagi duduk berdekatan di kantin. Yang tersisa hanyalah kenangan yang diam-diam masih tumbuh di dalam dirinya.
---
### **I**
Dulu, semuanya sederhana. Pertemuan pertama yang tak disengaja di gerbang sekolah: Angga terburu-buru turun dari motor dan tak sengaja menyenggol seorang gadis yang sedang menenteng buku tebal dan kantong plastik berisi bekal.
"Eh, maaf, maaf banget!" kata Angga spontan.
Gadis itu mengangguk pelan. Tak marah. Hanya menatap sejenak, senyum kecil di sudut bibirnya.
“Gak apa-apa, kok.”
Itu saja. Tapi sejak saat itu, hidup Angga berubah.
Namanya Ana, jurusan Kimia. Satu angkatan, beda dunia. Ana pendiam dan teratur, sementara Angga lebih santai dan cuek. Tapi setiap kali mereka saling pandang di lorong sekolah, ada sesuatu yang bergerak. Tak terdengar, tapi terasa.
Mereka mulai kenal lewat Instagram, saling balas story. Lalu chat berlanjut jadi obrolan panjang. Malam-malam terasa lebih ringan ketika ada notifikasi dari Ana.
*"Ga, kalo lo disuruh milih, lebih milih disayang atau sayang?"*
*"Sayang. Karena kalau gue sayang, gue bakal bikin dia ngerasa disayang juga."*
Ana membalas dengan emoji senyum dan mata berkaca-kaca. Angga tahu, hatinya sedang pelan-pelan jatuh.
---
### **II**
Hari-hari berlalu. Ana semakin dekat. Mereka sering titip makanan di kantin, saling kirim playlist lagu mellow, dan duduk bareng saat pelajaran kosong.
El, sahabat Angga, sering menggoda mereka.
“Buset, tiap malam cengengesan mulu. Lo naksir ya?”
Angga cuma nyengir. “Enggak, cuma... nyaman aja ngobrol sama dia.”
Tapi di dalam hati, Angga tahu: ini bukan sekadar nyaman. Ini rasa yang tumbuh pelan tapi dalam.
Suatu hari, Ana berkata, “Aku baru aja putus sama Ardi. Capek, kayak... gak pernah dimengerti.”
Dan malam itu, Angga tak banyak bicara. Ia cuma bilang:
“Gue gak janji bisa nyembuhin, tapi kalau lo capek, gue di sini.”
Ana membalas, “Makasih, Ga. Serius deh... kamu beda.”
Kalimat itu membuat Angga begadang semalaman. Membayangkan: bagaimana kalau Ana jadi miliknya?
---
### **III**
Tapi hidup tak pernah semulus imajinasi remaja.
Beberapa minggu kemudian, pesan dari Ana makin singkat. Balasan jadi satu-dua kata. Senyum yang biasanya muncul di sekolah kini terasa jauh.
Angga mulai curiga. Dan akhirnya, Ana mengaku:
“Ardi minta balikan. Aku gak tahu harus gimana.”
Angga menatap layar ponsel. Dada seperti diremas. Tapi yang ia ketik hanya:
“Kalau itu bisa bikin kamu bahagia, aku terima.”
Dan sejak saat itu, semuanya berubah. Ana kembali ke pelukan masa lalu. Dan Angga—ia harus berpura-pura kuat, walau hatinya retak perlahan.
---
### **IV**
Hari-hari berlalu tanpa Ana.
Angga mencoba fokus ke sekolah. Tapi kantin jadi sunyi, obrolan malam berubah jadi layar sepi. Ia sering termenung, memutar voice note lama. Salah satunya:
“Ga, makasih ya, kamu udah bikin aku bisa ketawa tiap malam.”
Kata-kata itu masih hidup. Tapi sosoknya sudah pergi.
Di satu malam, El mencoba menghibur Angga. Mereka duduk di parkiran, minum kopi sachet dan ngobrol soal tugas. Tapi pikiran Angga masih tertinggal di balik layar ponselnya.
"Lo tau gak, Ga?" kata El tiba-tiba.
"Orang yang paling sering bikin kita ketawa... bisa juga yang paling bikin kita nangis."
Angga cuma tertawa miris. Karena kalimat itu terlalu pas.
---
### **V**
Setelah lulus, hidup membawa mereka ke arah yang berbeda. Ana kuliah di luar kota. Angga memilih kerja di bengkel jaringan, kota sebelah.
Mereka tak lagi saling kabar. Hanya sesekali melihat story. Kadang Angga masih iseng ketik “Ana” di kolom chat. Tapi tak pernah dikirim. Apa gunanya? Orang yang sudah memilih pergi, tak bisa ditahan dengan kenangan.
Di satu malam ulang tahun Ana, Angga coba kirim voice note.
“Selamat ulang tahun ya, Na. Semoga kamu bahagia, di mana pun dan sama siapa pun.”
Tak ada balasan. Tapi kali ini, Angga tidak menunggu.
---
### **VI**
Di malam sunyi itu, Angga membuka galeri. Ia melihat satu foto: mereka berdua di depan gerbang sekolah, senyum lebar dan mata yang penuh harapan.
Lalu ia menutup mata. Dalam bayangannya, Ana masih berdiri di sana. Masih menatapnya. Masih menunggu. Tapi saat ia dekati, sosok itu perlahan menghilang. Seperti kabut yang memudar oleh cahaya pagi.
Bukan karena cinta mereka tak cukup kuat. Tapi karena waktu tak lagi berpihak.
Dan kini, di kamar kecilnya, Angga berbisik sendiri:
> “Mungkin kita hanya ditakdirkan saling temukan, bukan untuk saling memiliki.”
---
### **VII**
Malam itu, Ana juga melihat foto yang sama. Di laptopnya, ada folder bertuliskan *‘SMK Days’*. Ia membuka satu video: Angga menertawakannya saat makan mi pakai sumpit terbalik.
Ana tersenyum. Lalu menangis.
Di buku catatan kecil, ia menulis:
> "Aku pernah bahagia bersamanya. Tapi waktu tak pernah bertanya apakah aku masih ingin tinggal."
---
### **Akhir yang Tenang**
Cinta mereka tak gagal. Hanya berakhir lebih cepat dari rencana. Mereka tak saling membenci. Hanya memilih jalan yang berbeda.
Dan mungkin, suatu hari nanti, di sebuah kota, mereka akan bertemu lagi. Tapi kali ini, sebagai dua orang dewasa yang mengerti: cinta tak selalu harus memiliki.
Karena beberapa rasa memang diciptakan untuk singgah, bukan menetap.
> **“Sampai di sini... tapi tak pernah selesai.”**
---
siapa yang sama kisah percintaan nya!