---
Di sebuah kampung terpencil yang dikelilingi hutan tebal, tinggal seorang gadis remaja bernama Nurin. Selepas kematian ibunya secara misteri, Nurin tinggal bersama neneknya yang pendiam dan sering termenung di tepi jendela.
Satu malam, ketika hujan lebat mencurah-curah dan angin menderu seperti menangis, Nurin ternampak sebuah cermin antik di loteng rumah. Bingkai cerminnya berukir wajah-wajah kecil yang seperti sedang merenung ke arah orang yang melihatnya.
Nenek pernah berpesan,
> “Jangan pernah panggil nama sendiri di hadapan cermin itu. Apalagi tiga kali.”
Tapi malam itu, dorongan ingin tahu mengatasi rasa takut.
Nurin berdiri di depan cermin. Cahaya petir menyambar dari luar.
Perlahan-lahan dia berkata:
“Nurin… Nurin… Nurin…”
Sunyi.
Tapi pantulan di cermin tidak bergerak sama seperti dia.
Nurin mengangkat tangan. Pantulan kekal kaku.
Dia melangkah ke belakang. Tapi dalam cermin, “Nurin” itu melangkah ke depan.
Matanya gelap. Senyumannya miring.
Cermin tiba-tiba retak. Suara garau membisik:
> “Akhirnya, aku bebas…”
Petir menyambar lagi. Lampu terpadam.
Dan sejak malam itu, tiada siapa pernah jumpa Nurin lagi.
Hanya neneknya yang duduk di tepi jendela… dan kini, cermin itu tertutup dengan kain hitam.
---