Inan pindah ke kos baru di daerah belakang kampus karena ingin suasana yang lebih tenang. Kosannya sederhana—hanya 6 kamar, 2 lantai, dan cukup jauh dari jalan utama. Yang bikin Inan langsung setuju saat pertama lihat adalah harganya murah dan kamar paling pojok lantai atas itu punya jendela besar langsung menghadap kebun kosong.
Sempurna, pikir Inan.
Hari pertama, semuanya normal. Pemilik kos ramah, tetangga kamar jarang terlihat. Tapi sejak malam kedua… ada sesuatu yang terasa aneh.
Jam 2 pagi, Inan terbangun. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena… bisikan.
Suara perempuan. Pelan.
“Inan…”
Inan duduk tegak. Menyalakan lampu. Tak ada siapa-siapa.
Ia pikir itu hanya halusinasi. Tapi keesokan malamnya, bisikan itu datang lagi. Kali ini lebih jelas.
"Jangan lihat ke jendela..."
Inan membeku.
Pelan-pelan, ia menoleh ke arah jendela…
Tirai bergoyang padahal jendela tertutup rapat.
Besoknya, Inan cerita ke ibu kos.
Tapi perempuan paruh baya itu hanya
menatapnya lekat-lekat.
“Kamar itu… sudah tiga bulan kosong.”
Inan bingung.
“Tapi saya tinggal di situ sekarang.”
Ibu kos menggigit bibirnya.
“Itu kamar anak saya. Dia hilang, waktu hujan deras. Ada yang bilang dia melompat dari jendela. Tapi kami tak pernah temukan tubuhnya…”
---
Malam berikutnya, hujan turun deras. Petir sesekali menyambar.
Inan tak bisa tidur.
Lalu… bisikan itu kembali.
“Lihat aku, Inan…”
Dengan perlahan, Inan mendekati jendela. Tirai terbuka sendiri.
Dan di luar, di antara pohon basah dan lumpur, ada sosok perempuan berdiri.
Bajunya putih kusam, wajahnya samar, tapi senyum lebarnya tampak jelas.
Inan mundur. Tapi kakinya kaku.
Perempuan itu mengangkat tangannya… menunjuk ke arah Inan.
Lalu… tiba-tiba berada di balik jendela.
Tangannya menyentuh kaca. Mulutnya bergerak:
"Sudah kubilang… jangan lihat ke jendela."
Keesokan harinya, kamar Inan kosong.
Tak ada yang tahu ke mana dia pergi.
Tapi ibu kos bersumpah dia mendengar seseorang berbisik dari balik jendela kamar Inan malam itu:
"Sekarang… giliranku tinggal di sini.”
---
END.