Aku kembali ke rumah nenek setelah hampir sepuluh tahun tidak menginjakkan kaki di sana. Rumah itu masih berdiri kokoh di pinggir kota, dikelilingi pohon besar yang akarnya menjalar seperti tangan-tangan tua.
Nenekku meninggal sebulan lalu. Karena aku satu-satunya keluarga yang tersisa, aku ditugaskan untuk mengurus rumahnya sebelum dijual.
Rumah itu sepi. Terlalu sepi.
Suara langkahku menggema di lorong kayu yang berdebu. Setiap sudut seperti membeku dalam waktu. Dan kamar nenek… masih seperti dulu. Tirai renda, ranjang kayu ukir, dan satu benda yang membuatku menggigil sejak kecil: lemari tua besar di sudut kamar.
Aku selalu merasa ada yang salah dengan lemari itu. Bahkan dulu, aku ingat pernah mengadu ke nenek.
"Di dalamnya ada yang ngintip, Nek…"
"Itu cuma bayanganmu, Sayang," jawab nenek sambil tersenyum aneh. "Jangan dibuka. Jangan pernah buka, ya?"
Dan aku menuruti. Selalu.
Tapi malam itu, rasa penasaran menang.
Aku duduk di depan lemari tua itu, menatap ukiran bunga yang sudah lapuk di pintunya. Bau kayu tua bercampur aroma kapur barus menguar dari sela pintu.
Tanganku gemetar saat menyentuh gagangnya.
Perlahan… aku tarik pintunya terbuka.
Kosong.
Hanya beberapa baju tua dan gantungan berdebu.
Aku menghela napas lega.
Tapi kemudian...
aku mendengar suara dari dalam lemari.
"Tolong… keluarkan aku…"
Suara perempuan. Pelan. Parau.
Aku mundur. Jantungku berdegup kencang.
Suara itu lagi.
"Aku masih di sini… kamu bukan aku…"
Aku membanting pintu lemari dan lari keluar kamar. Tapi saat berbalik ke arah cermin besar di lorong, aku melihat bayangan diriku sendiri… tersenyum… di balik pintu lemari.
Aku berdiri terpaku.
Dan saat aku menyentuh wajahku sendiri, aku sadar—wajah yang kulihat di cermin bukan wajahku.
---
Keesokan harinya, tetangga menemukan pintu rumah nenek terbuka. Tidak ada siapa-siapa di dalam. Hanya ada lemari tua… yang kini tergembok rapat dengan ukiran baru di pintunya:
“Satu keluar, satu harus menggantikan.”
---
END.