pada usiaku 30 tahun, aku kembali merasakan degup-degup remaja.
Namaku mira. Seorang dosen, ibu dari dua anak, dan janda sejak lima tahun lalu. Hidupku cukup tenang, cukup stabil, dan cukup sepi. Aku tidak pernah benar-benar merasa kesepian, tapi tidak bisa kupungkiri bahwa setiap malam, ada ruang kosong di sebelah tempat tidur yang tak pernah terisi lagi dan kehangatan yang sudah lama tak lagiku rasakan.
Hingga suatu hari, hadir sosok yang tak kusangka: rizal, mahasiswa magister di kampus tempatku mengajar. Usianya 25 tahun. Terlalu muda? Mungkin. Tapi dia tak pernah memperlakukanku seperti seseorang yang lebih tua. Baginya, aku perempuan. Biasa saja. Tapi itu yang membuatku merasa hidup.
Awalnya, hanya diskusi ilmiah. Lalu bertumbuh jadi percakapan di luar jam kuliah. Lalu makan siang, lalu kopi sore, lalu...
"Bu mira, boleh jujur?"
"Silakan, rizal."
"Saya selalu menunggu mata kuliah Ibu setiap minggu. Bahkan, saya pernah berharap hari Senin cepat datang, hanya karena tahu bisa bertemu Ibu."
Aku tertawa. "Kamu lucu."
"Saya serius."
Dan matanya,tak berbohong.
Sejak malam itu, aku mulai memikirkan rizal lebih dari seorang mahasiswa. Bahkan aku mulai peduli pada potongan rambutnya, pada pilihan bajunya, pada ekspresi wajahnya saat duduk di barisan ketiga kelas, memandangku diam-diam.
Namun hidup tidak sesederhana perasaan. Di usiaku, segala keputusan bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang anak-anak, reputasi, karier, dan masa depan yang sudah kurancang sejak lama.
"Kenapa kamu suka aku, zal? Bukankah banyak perempuan seusiamu yang lebih cantik dan segar?"
"Karena Ibu dewasa, hangat, dan tidak berpura-pura. Saya merasa aman,diperhatikan dan dihargai."
Aman. Kata itu menamparku. Karena sejak lama, aku sendiri belum merasa aman dalam tubuhku sendiri. Aku terlalu lama membungkam hasrat, terlalu lama memendam luka, terlalu takut untuk membuka diri.
Aku menghindari Rizal beberapa waktu. Tapi rasa itu justru semakin tumbuh. Di tengah senja, saat aku duduk di beranda rumah sendirian, aku berharap dia ada di sana. Membuat teh hangat. Menyapa pelan. Menatapku seolah aku satu-satunya perempuan di dunia.
Malam ini Rizal datang ke rumah, tanpa banyak kata dan tanpa diundang. Ia hanya duduk dan menemaniku menonton hujan.
"Saya tidak menuntut Ibu menjawab sekarang. Saya hanya ingin Ibu tahu, saya di sini kalau Ibu siap untuk membuka hati lagi."
Aku menatapnya. Ada kejujuran di sana. Ada keberanian. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun menjadi janda, aku merasa ingin membuka pintu yang telah lama kukunci.