Salsabilah mengerjapkan mata. Bukan, ini bukan lagi kamar lamanya yang serba krem dengan pemandangan jendela gedung-gedung tinggi. Ini kamar bergaya kuno, kasur kayu berukir, dan aroma melati semerbak. Yang lebih aneh, badannya terasa ringan, jauh lebih muda dari umurnya yang terakhir. Ia bangkit, mendekati cermin kuningan, dan terkesiap. Wajah yang terpantul adalah wajahnya di usia dua puluhan, dengan pipi masih gembil dan mata berbinar.
"Aku... aku kembali?" gumamnya tak percaya.
Ingatan terakhirnya adalah suara sirine ambulans dan rasa sakit yang menghantam. Kini, ia ada di tubuhnya yang muda. Tapi bukan itu saja kejutannya. Otaknya tiba-tiba dipenuhi ingatan tentang sebuah novel, sebuah cerita yang entah bagaimana, kini terangkai dengan kehidupannya.
Novel itu berjudul "Cahaya Rembulan di Balik Awan", kisah romansa klise tentang seorang pahlawan wanita yang berjuang melawan takdir dan menemukan cinta sejati. Dan Salsabilah, dalam novel itu, adalah karakter yang mati muda, meninggalkan dua anak yang kemudian menjadi... karakter sampingan.
Jantung Salsabilah berdebar kencang. Dua anaknya! Putra sulungnya, Damar, yang digambarkan sebagai anak pandai namun rapuh, kehilangan segalanya setelah kematiannya dan tenggelam dalam kesedihan. Putri bungsunya, Kirana, yang manis namun pemalu, tumbuh menjadi sosok yang minder dan selalu merasa tidak cukup. Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka bukan sekadar karakter sampingan! Mereka darah dagingnya!
Salsabilah segera bertindak. Ia mulai mengamati Damar dan Kirana. Damar yang berumur 10 tahun, sudah menunjukkan kecerdasannya, selalu membaca buku tebal. Kirana, 7 tahun, suka sekali menggambar dan menyanyi, tapi seringkali menyembunyikan karyanya. Mereka persis seperti deskripsi di novel.
"Damar, sini Nak," panggil Salsabilah suatu sore.
"Kamu suka belajar, kan? Kita cari buku-buku yang lebih menantang yuk. Mama akan bantu kamu jadi yang terbaik."
Ia mulai mendampingi Damar belajar, bukan hanya pelajaran sekolah, tapi juga berbagai keterampilan baru. Ia mendorong Damar untuk ikut lomba, memberinya semangat setiap kali ia ragu. Melihat Damar yang mulai bersemangat dan berani mencoba hal baru, hati Salsabilah menghangat.
Untuk Kirana, Salsabilah punya pendekatan berbeda. Ia memuji setiap gambar Kirana, meminta Kirana bernyanyi untuknya, dan bahkan mengajaknya tampil di acara keluarga kecil.
"Kirana, kamu punya bakat luar biasa. Jangan sembunyikan indahmu," bisik Salsabilah lembut.
Perlahan, Kirana mulai tersenyum lebih lebar, suara nyanyiannya semakin lantang, dan ia tak lagi malu menunjukkan gambarnya.
Tapi ada satu hal lagi yang mengganjal. Yogi Candra, ayah dari anak-anaknya. Dalam novel, Yogi digambarkan sebagai pria yang sibuk dan acuh tak acuh, hanya peduli pada pekerjaannya. Setelah kematian Salsabilah, ia semakin menjauh dari anak-anak.
Salsabilah tahu ini adalah tantangan terbesarnya. Suatu malam, ia memberanikan diri berbicara dengan Yogi.
"Yogi, aku tahu kamu sibuk. Tapi anak-anak... mereka butuh kamu. Mereka butuh sosok ayah yang kuat dan selalu ada."
Yogi terdiam. Mungkin karena ini pertama kalinya Salsabilah bicara blak-blakan.
Ia menatap Salsabilah dengan tatapan campur aduk.
"Aku... aku tidak tahu harus bagaimana," akunya pelan.
Salsabilah meraih tangan Yogi. "Kita hadapi ini bersama. Kita bangun keluarga kita lagi, jadi keluarga yang utuh, yang kuat."
Sejak saat itu, perlahan namun pasti, Yogi mulai berubah. Ia mulai meluangkan waktu untuk Damar dan Kirana. Membantu Damar mengerjakan PR, mengajak Kirana bermain di taman. Suatu sore, mereka bahkan piknik bersama. Melihat Yogi tertawa lepas bersama anak-anak, Salsabilah tahu, ia berhasil.
Keluarga kecil ini mulai menemukan iramanya. Damar tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, berprestasi, dan percaya diri. Ia bahkan mulai tertarik pada bisnis keluarga, membantu Yogi mengembangkan usahanya. Kirana menjadi gadis remaja yang ceria, penuh bakat, dan tidak lagi minder. Ia bahkan memberanikan diri untuk tampil di panggung besar, menyanyikan lagu ciptaannya sendiri.
Tantangan tentu saja tidak berhenti. Ada saja masalah yang datang. Tapi kali ini, mereka tidak menghadapinya sendirian. Yogi yang sudah lebih peka, selalu menjadi sandaran. Damar yang cerdas selalu bisa diandalkan untuk mencari solusi. Dan Kirana, dengan semangatnya, selalu bisa menghibur suasana. Mereka adalah satu tim yang solid.
Salsabilah memandang ketiga orang yang paling ia cintai itu. Mereka bukan lagi karakter sampingan dalam sebuah novel. Mereka adalah protagonis dalam cerita mereka sendiri, cerita yang ia tulis ulang dengan cinta dan perjuangan. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia memang terlahir kembali, tapi yang paling penting, ia berhasil membalikkan keadaan, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh keluarganya. Dan kali ini, mereka akan hidup bahagia, selamanya.