Aku bukan perempuan yang kau bawa ke pesta dansa.
Aku adalah bayangan di antara dua peluru.
Nama kodeku: 09-Selene.
Tugasku: merayu Kolonel Arsen Varga, mencuri data dari tangannya... dan lenyap sebelum fajar.
---
Malam itu, pesta militer diadakan di villa perbatasan. Para petinggi bersulang, berdansa, tertawa. Tapi aku hanya mencari satu wajah—wajah yang terukir dalam dokumen misi dan layar hologram.
Kolonel Varga.
Berseragam hitam, mata setajam pecahan kaca, dan senyum yang bisa membunuh lebih dari peluru.
Aku menghampirinya di bar. Mengenalkan diri sebagai Alira, jurnalis dari utara. Ia tak percaya sepenuhnya—tapi ia tertarik. Kami berdansa. Aku tertawa di waktu yang tepat. Ia menawarkan anggur merah. Aku menolaknya, lalu meminum dari gelasnya langsung.
Itu jebakan. Tapi dia tetap meminum sisanya.
Dalam dua malam, aku sudah menginap di rumah peristirahatannya. Tugas utama: ambil akses retina-nya saat ia tertidur.
Tugas tambahan (yang tak tertulis tapi selalu ada): jangan jatuh cinta.
Gagal.
---
"Apa kau percaya pada kebetulan?" tanyanya malam itu, saat kami duduk berdua di beranda, menyaksikan lampu-lampu pos militer berkedip dari kejauhan.
"Tidak," jawabku jujur. "Aku dilatih untuk tidak percaya pada apa pun."
Ia menatapku lama. "Lalu kenapa kau menatapku seperti itu?"
Aku menahan napas. Karena kalau aku jawab…
Tugasku selesai.
Tapi hatiku, hancur.
---
Aku menyelesaikan misiku malam itu.
Scan retina berhasil. File berhasil dikirim ke markas.
Tinggal satu langkah terakhir: hilang.
Tapi aku tak bisa.
Bahkan ketika sirine berbunyi, pasukan menyisir bangunan, dan namaku terdengar di radio sebagai "mata-mata wanita—prioritas tangkap hidup-hidup", aku tetap berdiri di depan pintunya.
Kolonel Varga menatapku, mata dinginnya kini bergetar.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanyanya lirih.
Aku tak menjawab.
Hanya satu air mata jatuh…
Dan satu kata pelan yang kubisikkan sebelum kabur ke hutan malam:
"Maaf."
---
Epilog:
Aku masih hidup. Mereka menarikku dari misi, membekukan identitasku.
Tapi setiap malam, aku kembali ke balkon dalam mimpi.
Menemani seorang pria yang dulu jadi target, tapi kini jadi satu-satunya hal yang tak bisa kutembak mati:
Perasaanku sendiri.
---