Di balik blazer hitam dan wajah tenangnya, Nadra menyimpan badai yang tidak pernah diceritakan pada siapa pun. Ia bukan wanita sempurna, tapi ia punya satu hal yang tak bisa digadaikan: harga diri.
Dunia korporat tak pernah ramah pada perempuan seperti Nadra—terlalu cerdas, terlalu tegas, terlalu... jujur. Di usia 30, ia adalah kepala divisi audit di sebuah perusahaan besar. Tapi gelar itu tidak datang dari koneksi, melainkan luka dan keringat.
Sore itu, Nadra dipanggil direktur utama. Ruangan dingin itu seakan menelanjangi keheningan. Di atas meja: satu berkas hasil audit. Angka-angka yang menunjukkan penyimpangan besar. Pelakunya: anak dari pemilik perusahaan.
“Kalau kamu setia sama perusahaan ini,” kata direktur, “tutup saja temuan ini. Kita selesaikan internal.”
Nadra menatap pria itu. Matanya tak berkedip. Dulu, mungkin ia akan ragu. Tapi sekarang, ia tahu siapa dirinya.
“Pak,” ucap Nadra pelan, “setia itu bukan tutup mata. Kalau saya diam, saya pengkhianat pada setiap karyawan jujur yang kerja siang malam tanpa main curang.”
“Pikirkan kariermu, Nadra. Kamu bisa dipindahkan. Bahkan dikeluarkan.”
Ia menarik napas. Tenggorokannya kering, tapi suaranya bulat.
“Kalau karier saya harus dibayar dengan keadilan, saya akan pulang hari ini juga dengan kepala tegak.”
Nadra keluar dari ruangan itu. Tangannya gemetar. Ia tahu ini mungkin akhir dari pekerjaannya. Tapi sesuatu dalam dadanya terasa damai—untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia membela kebenaran, bukan sistem.
Beberapa hari kemudian, temuan itu bocor ke media. Nadra dipecat. Tapi yang terjadi setelahnya adalah kejutan yang tak pernah ia harapkan.
Ribuan komentar membanjiri media sosial. Banyak perempuan muda menuliskan:
“Kami bangga padamu, Mbak Nadra. Terima kasih sudah mewakili kami.”
“Kami butuh lebih banyak wanita seperti kamu.”
Seorang investor etis menghubunginya, menawarkan kerja sama untuk membangun lembaga audit independen yang bersih, transparan, dan berpihak pada kebenaran. Nadra tidak hanya mendapat pekerjaan baru—ia mendapat misi baru.
Kini, Nadra bukan sekadar wanita karier. Ia jadi simbol. Bukan karena ia sempurna, tapi karena ia berani berdiri saat orang lain memilih duduk diam.
Dan di suatu malam, saat ia menatap pantulan dirinya di kaca, ia berbisik lirih:
> "Aku bukan perempuan yang kuat karena tak pernah jatuh. Tapi karena aku memilih untuk tetap berdiri, bahkan saat dunia ingin aku tunduk."
---
Bagian 2: Musuh di Balik Pujian
Tiga bulan setelah pemecatan Nadra, namanya makin dikenal. Ia sering diundang jadi pembicara soal etika di dunia kerja. Di depan panggung, Nadra bicara lantang tentang keberanian, kejujuran, dan tanggung jawab moral. Tapi di balik panggung, hidupnya tidak seindah kutipan yang dibagikan netizen.
Pekerjaan barunya di lembaga audit independen ternyata penuh ranjau. Kali ini, klien mereka bukan sembarang perusahaan—tapi yayasan amal besar milik pejabat tinggi. Saat Nadra menyelidiki laporan keuangan, ia menemukan bahwa sebagian dana bantuan untuk anak-anak yatim justru digunakan untuk membeli properti atas nama kerabat pejabat itu.
“Ini lebih kotor dari yang aku bayangkan,” bisik Nadra pada tim kecilnya.
Salah satu rekannya, Fian—seorang pria muda idealis—menatap Nadra penuh semangat. “Kita harus bongkar ini. Bukti kita kuat.”
Tapi dua hari kemudian, Fian ditemukan tak sadarkan diri di apartemennya. Komputernya hilang. Ponselnya rusak. Pihak rumah sakit bilang itu kecelakaan. Nadra tidak percaya.
Rasa takut mulai merayap. Ia sadar, kali ini lawannya bukan perusahaan swasta—tapi kekuasaan. Dan kekuasaan bisa lebih kejam dari uang.
Di tengah ketakutan, Nadra menerima pesan anonim di email:
> “Kau pikir dunia berubah hanya karena kau berteriak di panggung? Kau tidak tahu permainan sebenarnya.”
Malam itu, Nadra menangis sendirian. Ini bukan tentang pekerjaan lagi. Ini tentang nyawa. Ia bisa berhenti sekarang, diam, dan hidup tenang. Tapi wajah Fian yang belum sadar, serta ribuan anak yang haknya dicuri, terus menari di benaknya.
Esok paginya, ia bangkit. Ia menghubungi pengacara, wartawan investigasi, dan mantan jurnalis idealis yang dulu pernah mengangkat kisahnya. Ia tahu, ini bukan perjuangan satu orang. Ini pertempuran bersama.
Dalam konferensi pers yang penuh kamera, Nadra berdiri dengan suara mantap:
> “Jika saya diam, saya sama saja dengan mereka yang mengambil dari anak-anak yang tak punya apa-apa. Saya tidak akan mundur. Kebenaran mungkin kalah dalam berita hari ini, tapi ia akan menang dalam sejarah.”
Sorotan kamera tak bisa menyembunyikan gemetar di tangannya. Tapi di balik getar itu, ada nyala api yang tak padam: keyakinan.
---
Bagian 3: Nyawa yang Dipertaruhkan
Dua hari setelah konferensi pers, Nadra pulang larut. Rumahnya gelap, sepi, dan hawa dingin terasa menusuk. Saat ia membuka pintu, langkahnya terhenti.
Foto keluarganya tergeletak di lantai. Kacanya pecah. Di atas meja, secarik kertas:
> “Berhenti sekarang. Atau keluargamu jadi taruhan.”
Tangannya gemetar. Ini bukan sekadar ancaman. Ini peringatan nyata. Nadra segera menghubungi adiknya, Ibu Sari, satu-satunya keluarganya yang masih tinggal di kota. Tidak diangkat. Ia menelpon berulang kali, lalu memutuskan meluncur langsung ke rumahnya.
Sesampainya di sana, rumah dalam keadaan terkunci. Tapi dari balik jendela, Nadra melihat adiknya duduk diam di ruang tamu. Wajahnya pucat. Tangannya menggenggam foto keluarga yang sama.
“Ada yang datang tadi siang,” gumam Ibu Sari pelan. “Mereka tidak menyentuhku… tapi mereka meninggalkan pesan untukmu. Katanya, kamu sedang bermain api.”
Nadra memeluk adiknya erat. Malam itu, untuk pertama kalinya, Nadra bertanya pada dirinya sendiri:
> “Apa benar aku kuat? Atau aku hanya keras kepala yang membawa orang-orangku ke dalam bahaya?”
---
Pagi harinya, Nadra menghilang dari publik. Ia tak muncul di kantor. Wartawan mulai bertanya-tanya. Beberapa media mulai menulis:
"Apakah Nadra menyerah?"
"Pahlawan palsu? Di mana Nadra sekarang?"
Tapi mereka tak tahu, Nadra tak lari. Ia bersembunyi demi strategi.
Ia menghubungi Damar, teman lama semasa kuliah yang kini menjadi penyelidik independen. Damar pernah jatuh karena membongkar mafia tanah—dan kehilangan pekerjaannya. Tapi ia tetap berdiri.
“Aku butuh bantuannya,” kata Nadra.
Damar hanya menjawab dengan senyum kecil, “Kupikir kamu tak akan pernah minta bantuan. Tapi kamu datang—berarti ini serius.”
Mereka menyusun rencana diam-diam. Nadra mengumpulkan semua data yang tersisa, memverifikasi fakta, lalu menyerahkan pada Damar dan satu jaringan whistleblower yang aman. Kali ini, ia tidak bertarung sendiri.
---
Dua minggu kemudian, laporan lengkap tentang penyalahgunaan dana dan rekam jejak intimidasi itu muncul di portal berita investigasi nasional. Disertai video kesaksian dan bukti dokumen asli, lengkap dengan kronologi peran para pejabat.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah lembaga itu, ketua yayasan yang sangat berkuasa—turun dari jabatannya dan diselidiki.
---
Nadra muncul di publik lagi, kali ini bukan sebagai pengacara atau pembicara, tapi sebagai simbol harapan.
Dalam wawancara live, jurnalis bertanya:
> “Apa yang membuat Anda tetap berdiri, bahkan saat keluarga Anda terancam?”
Nadra tersenyum. Tatapannya tajam, tapi lembut.
> “Karena ketika kita membiarkan ketakutan menguasai, maka yang jahat menang tanpa harus bertarung. Aku tidak ingin anak-anakku kelak hidup dalam dunia seperti itu.”
---
Bagian 4: Dari Panggung ke Meja Kekuasaan
Nama Nadra kini tak hanya dikenal di kalangan aktivis dan media, tapi juga mulai dibisikkan di meja-meja rapat para politisi. Ia dianggap “berbahaya”—bukan karena senjata, tapi karena kata-kata dan integritasnya.
Suatu malam, ia menerima undangan makan malam pribadi dari Bu Sinta Nurhalimah, mantan menteri yang sekarang memimpin partai reformis.
"Aku ingin kamu maju jadi calon legislatif tahun depan," kata Bu Sinta langsung, tanpa basa-basi. “Suaramu sudah didengar. Tapi jika kamu di luar sistem, kamu hanya bisa menekan. Kalau kamu di dalam, kamu bisa mengubah."
Nadra menatapnya. Ia menghormati Bu Sinta. Tapi ia juga tahu: politik bukan sekadar panggung idealisme—itu juga permainan kekuasaan.
“Apa tidak cukup kalau aku terus di luar, tetap bebas bicara, tanpa beban afiliasi?”
Bu Sinta menggeleng. “Selamanya kamu akan jadi tamu yang sopan di rumah orang lain. Kalau kamu ingin mengatur isi rumah itu, kamu harus punya kunci pintunya.”
---
Malam itu Nadra duduk di balkon apartemennya. Angin malam mengusik rambutnya, tapi pikirannya lebih gaduh dari angin mana pun.
Masuk ke sistem? Bukankah itu seperti melangkah ke kandang harimau? Tapi jika ia tidak masuk, apakah perubahan hanya akan sebatas suara lantang tanpa kuasa?
Ia membuka pesan dari Fian, yang kini sudah siuman dan menjalani terapi.
> "Kita butuh kamu di kursi pengambil keputusan. Jangan biarkan sistem diisi oleh orang yang tak peduli. Kalau kamu tidak maju, siapa yang akan kita percaya?"
Nadra menutup layar ponselnya. Ia tahu, ini bukan soal ambisi. Ini soal perjuangan yang berkembang bentuknya.
---
Tiga minggu kemudian, Indonesia diguncang berita baru:
> “Nadra resmi bergabung dengan Partai Reformasi Rakyat. Siap maju sebagai caleg dari dapil Jakarta Selatan.”
Media sosial terbagi dua. Ada yang memujinya karena berani melangkah. Ada pula yang mencibir:
“Akhirnya tergoda juga kursi kekuasaan.”
“Ternyata hanya topeng.”
Tapi Nadra tetap tenang. Ia tidak membalas satu pun komentar. Karena ia tahu, kebenaran tidak perlu menjelaskan dirinya kepada orang yang sudah memutuskan untuk tidak mendengar.
Ia mengumpulkan tim muda, merancang visi misi yang konkret. Tanpa janji manis. Hanya rencana nyata.
> “Aku tidak datang membawa slogan. Aku datang membawa bukti bahwa suara kecil bisa melawan raksasa. Dan kalau kalian beri aku tempat, aku akan bawa suara kalian masuk ke ruang yang selama ini tertutup rapat.”
Dan di hadapan relawan, ia berkata dengan nada mantap:
> “Aku tidak datang untuk menyelamatkan negeri ini sendirian. Aku datang untuk memastikan, bahwa setiap suara jujur punya tempat di panggung kekuasaan.”
---