"Tidak ada nasib baik untukmu, Maria," Nyai Lastri mendekrit putri satu-satunya, keturunannya dengan Tuan Durven van Haan.
"Itu karena ibu mau saja menjadi Nyai," Maria meratapi nasibnya menjadi anak Bastaarden dari keturunan bangsa Netherlands. Tak diakui bangsa ayahnya dan bangsa ibunya pun tak sudi akan keberadaan dirinya.
Apa yang bisa Maria lakukan menjadi anak perempuan dari rahim Nyai?
"Apa maksudmu begitu?" Nyai Lastri langsung mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan Maria. "Lebih baik menjadi Nyai, tapi tidak perlu memikirkan kemiskinan seperti pribumi lainnya,"
Maria tertawa miris mendengar ucapan ibunya, bangga menjadi seorang Nyai dari Tuan Netherlands. Bagi Maria, itu bukan kebanggaan, akan tetapi sebuah neraka lain yang tercipta bukan dari Tuhan.
"Ibu tahu, kamu sedang menjalin cinta dengan anak Priyai," ucapan Nyai Lastri membuat Maria terdiam, mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Apa yang kamu harapkan? Dinikahi? Dicintai? Atau menjadi gundik seorang Priyai?"
Nyai Lastri menarik tangan Maria dengan kasar, memaksanya berdiri di depan cermin besar yang ada di kamar miliknya. "Lihat dirimu! Para Priyayi itu tidak akan pernah menerima dirimu. Sadarlah, Maria!"
Maria terdiam mendengar setiap kata yang terus terlontar dari ibunya. Menyakitkan tapi memaksa untuk tetap sadar dalam harapan yang semu. "Aku sadar, Bu. Dan aku sadar, aku juga tidak bisa dinikahi pria Netherlands," ucapnya menyayat hatinya sendiri, sebulir air mata telah jatuh tanpa ia sadari. "Tidak ada tempat untuk aku yang seorang anak Bastaarden,"
Nyai Lastri terdiam, sorot matanya melunak mendengar ucapan pilu Maria. Seolah ia sadar akan perbuatannya akan hidup Maria yang harus menanggung.
"Aku tidak berani bermimpi menjadi istri seorang pria manapun, tapi aku tidak mau menjadi gundik ataupun suhian," Maria tak mampu membendung lagi kesedihannya, ia meratapi nasibnya menjadi seorang anak Bastaarden. "Aku memang mencintai anak Priyai itu, Bu, tapi aku tak berani bermimpi menjadi istrinya,"
Nyai Lastri masih terdiam. Di balik pantulan cermin itu, Nyai Lastri bisa melihat dirinya yang terlihat hina. Karena keegoisan dirinya, Maria harus menanggung segalanya. Tak diakui sebagai seorang keturunan Netherlands dan tak juga diterima oleh pribumi.
Sungguh malang nasib seorang anak Bastaarden.
————⚜️⚜️⚜️————
Maria memakai kebaya sederhana berwarna cokelat, kontras dengan kulit putih susunya dan mata biru hanzelnya. Langkah kakinya bergerak cepat —sedikit berlari menuju tempat dimana yang sudah disepakati untuk bertemu seseorang. Ya, Maria sedang menemui kekasih hatinya, anak seorang Priyai, Raden Saleh Bahar Noegroho.
"Maaf sudah membuatmu menunggu, Mas," Maria berdiri di depan Saleh yang sudah menunggunya sedari tadi. Pria itu memakai surjan sederhana.
"Tidak apa, Maria." Saleh memeluk gadis itu, mengobati lara rindunya yang sudah lama tidak bertemu.
Sungguh untuk bertemu dengan Maria amatlah sulit. Apalagi dia disibukkan dengan masa belajarnya.
"Aku juga merindukanmu, Mas," Mari membalas pelukan dari Saleh, menumpahkan rasa rindu dan gundahnya.
"Aku ingin kamu bersiap-siap, Maria," ucap Saleh yang sudah melepaskan pelukan mereka, menggenggam tangan mungil Maria. "Aku akan bekerja di Batavia. Sekolahku akan segera usai."
Maria terdiam. Menatap lekat pada mata hitam legam Saleh. "Mas,"
"Iya?" Sunggingan senyum Saleh pudar kala menyadari raut wajah Maria yang terlihat muram. "Ada apa? Katakan padaku,"
Maria menunduk, menatap kedua jemari mereka yang saling bertaut. "Mas..."
"Ya?"
Rasa hening dari keduanya terasa begitu menyesakkan. Beberapa kali Saleh menelan ludahnya sendiri, menunggu dengan sabar apa yang ingin Maria sampaikan.
"Akan lebih baik jika kamu tidak melamarku," Maria tercekat dengan kata-katanya sendiri. Air matanya tak bisa dibendung lagi kala kalimatnya sendiri menyayat hatinya. "Mas —"
"Kenapa kamu berkata begitu, Maria?"
Maria masih mencoba menenangkan hatinya, air matanya tak kunjung usai kala tangannya yang lain mengusap punggung tangan Saleh yang masih bertautan dengan tangannya. "Kita... Kita tidak mungkin bersama,"
"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu? Aku mencintaimu dengan tulus," kelakar Saleh yang tak terima dengan perkataan Maria. "Apa kamu meragukan cintaku?"
Maria menggeleng dengan pipi yang semakin basah akan air mata laranya, "Tidak. Tidak, Mas," sanggah Maria. "Tidak ada yang salah dengan cintamu. Semua salah itu ada padaku sendiri." Maria tak mampu lagi membendung air matanya. Ia tarik tangan Saleh yang bertautan dengannya ke dalam dekapan dadanya. Ia tak sekuat itu untuk menyakiti kekasih hatinya, tautan cintanya.
"Setelah aku bekerja di Batavia. Kita pergi kesana, menjalani hidup baru, Maria. Bersama-sama," jelas Saleh, mengusap pundak Maria yang masih terguguh. "Aku hanya ingin menikah denganmu, Maria,"
Maria menggeleng cepat sebagai tak sependapat dengan apa yang dikatakan Saleh, kekasih hatinya. Maria tahu dengan jelas apa yang akan terjadi pada Saleh jika nekad menikahinya. Bukannya hanya menjadi musuh orangtuanya, akan tetapi menjadi cibiran orang-orang. Bagaimana bisa pria ningrat menikahi seorang gadis bastaarden?
"Bagaimana bisa, kamu yang seorang ningrat harus menikahi gadis bastaarden sepertiku?" Nelangsa Maria, tangannya mengusap pipi Saleh. "Kamu pantas mendapatkan gadis dari keluarga terpandang, Mas, tapi itu bukan aku," sambungnya.
Dan, di hari itu, sepasang kekasih menangis nasib mereka yang begitu tragis. Cinta mereka terhalang akan strata sosial yang membelenggu, apalagi Maria yang seorang Bastaarden, tidak akan pernah diterima di kalangan sosial manapun. Dia akan selalu dianggap sebagai manusia hina dan haram dari rahim gundik.
"Lepaskan aku," pinta Maria lirih, mengusap kembali pipi Saleh. Ia akan mengingat setiap detail rupa sang kekasih untuk ia simpan dalam hati terdalamnya. "Lupakan aku dan jalani hidupmu yang seharusnya, Mas Saleh,"
"Bagaimana bisa kamu memintaku seperti itu?" tanya balik Saleh nelangsa, ia pun ikut menangisi cintanya pada Maria.
Perempuan berdarah campuran pribumi dan Eropa itu memilih untuk melepaskan dirinya begitu saja. Tidak mungkin bisa Saleh melepaskannya begitu saja.
Saleh menangkup kedua pipi putih pucat Maria, kali ini tak ada lagi semburat semu kemerahan di sana. "Apa kamu pernah memikirkan aku, apa aku mau melepasmu atau tidak, Maria?" desis Saleh serak.
Mereka begitu dekat dan intim, seru napas yang saling bertaut membuat hawa panas menyapu wajah. "Aku tidak akan mungkin bisa melepasmu dan menikahi perempuan lain,"
Maria memejamkan mata sejenak, "Duniamu bersinar begitu indah, mana mungkin aku mengotorinya?"
"Maria,"
"Aku juga. Aku juga sangat mencintaimu, Mas," sambar Maria dan mengecup pelan bibir Saleh. "Tapi kehidupanmu tidaklah bersamaku." Maria melepas tangkupan tangan Saleh pada wajahnya, mengecup pelan kedua tangan kekasihnya.
"Maafkan aku," ucap Maria lirih dan meninggalkan Saleh yang masih tertegun dengan keputusan Maria.
Gadis yang amat ia cintai itu memilih menyerah akan keadaan yang akan mencekik mereka suatu saat nanti. Maria memilih tak ingin berjuang akan cinta bersamanya.
Saleh menangisi segalanya. Cintanya. Kekasih hatinya dan luka yang tak akan pernah bisa ia sembuhkan. Bagaimana bisa dia hidup tanpa Maria yang selalu ia impikan menjadi wanita tercinta dalam seluruh hidupnya?
————⚜️⚜️⚜️————
Tuan Durven van Haan memberikan Maria pada teman lamanya, Tuan Henz de Niemeijer sebagai gundik. Wanita yang tak akan pernah dinikahi seumur hidupnya, hanya akan menjadi wanita simpanan yang ingin dilayani. Demi keselarasan politik, mereka melakukan hutang budi. Dan, disini lah Maria menjadi objek balas budi.
Nyai Lastri mendadani Maria bak wanita Netherlands yang anggun, dengan gaun peach penuh renda-renda dan rambut yang digulung indah.
"Jangan kecewakan Vader, Maria!" bisik Nyai Lastri setelah merapikan pakaian Maria.
"Apa ibu bahagia?"
Nyai Lastri terdiam mendengar pertanyaan Maria. Bahagia? Sudah lama sekali seseorang menanyakan kebahagiaannya.
Apa dia bahagia?
Nyai Lastri menegakkan badannya bak wanita ningrat, berdeham sebentar sebelum menjawab pertanyaan Maria. "Tentu saja. Apa yang membuat ibu tak bahagia sekarang?"
Nyai Lastri menatap Maria yang sedang menatapnya diam. Tidak diragukan akan kecantikan putrinya itu. Dia bahkan lebih cantik dibandingkan gadis-gadis bangsawan Netherlands seumurannya di lingkungan sosial Tuan Durven.
Akan tetapi, nasibnya yang menjadi anak Bastaarden tak bisa membuatnya menjadi gadis anggun yang dicintai di lingkup sosial.
"Maria senang mendengarnya. Ibu bahagia," ucapnya lirih, setetes air mata luruh membasahi pipi putih pucatnya.
Entah kenapa hati nurani Nyai Lastri terusik mendengar ucapan putrinya, seolah bongkahan batu besar menyeruak masuk, memberinya rasa tak nyaman.
"Apa yang kamu ucapkan itu," kilah Nyai Lastri untuk menepis rasa aneh yang menyeruak itu. "Sebentar lagi Tuan Henz akan datang. Beri dia kenikmatan yang akan membuatmu menjadi perempuan kesayangan."
Maria hanya diam kala Nyai Lastri mengoceh dan sudah berdiri di ambang pintu kamar peraduan untuk Maria dan Tuan Henz. "Jangan pernah berpikir kami ini begitu jahat padamu, Maria," katanya yang kemudian menutup pintu kamar peraduan, meninggalkan Maria sendirian.
Tanpa sepengatahuan orangtuanya, Maria telah mengenggam botol kaca kecil berwarna cokelat. Botol itu berisi cairan putih dengan aroma yang menyengat.
Maria membuka genggamannya dan menatap dalam diam botol itu.
Tidak akan pernah ia biarkan dirinya dimiliki oleh siapapun. Hatinya telah berpaut erat dengan cinta Saleh. Akan baiknya jika dia tak memberikan dirinya pada siapapun itu.
"Maafkan aku," gumamnya yang membuka tutup botol kaca itu. "Mas Saleh, maafkan aku." Maria memejamkan matanya, sembari tangannya mulai mengarahkan botol kaca itu ke dalam mulutnya, membiarkan cairan itu masuk ke dalam mulutnya. Maria mengernyit sesaat sebelum ia mulai terbatuk-batuk.
Maria terjatuh di atas lantai tegel yang dingin. Maria mulai batuk hebat dengan sensasi rasa panas yang mulai membakar dadanya. Darah terus keluar dari mulutnya, memuntahkannya tanpa henti.
Dalam kesakitan itu, Maria mencoba mengingat sosok Saleh saat pertama kali ia bertemu. Pria itu yang memakai beskap hitam khas pria ningrat berjalan bersama dengan teman-temannya, bersundau gurau.
Mari memejamkan mata kala tangannya meremas hebat dadanya yang terasa terbakar, bulir-bulir air mata terus menyeruak keluar.
Kekasih hatiku,
Tidak akan pernah padam cintaku padamu.
Dan tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan dirimu di dalam jiwaku yang hina ini.
Hiduplah dengan bahagia, dan biarkan aku seperti ini selamanya, menyimpan cintaku dalam jiwaku yang lenyap.
—IamEsthe—